Ada Apa di Bulan Sya'ban (Bagian Pertama)
Daras AkhlakPendahuluan
Artikel ini merupakan ringkasan dan saduran kitab yang berjudul Madza fi Sya‘ban karya al-Sayyid Muhammad b. ‘Alwi al-Maliki al-Hasani—selanjutnya disebut Abuya. Sebagaimana terlihat dari judulnya, kitab itu berisi hal-hal yang berkaitan dengan bulan Sya‘ban, mulai dari beberapa peristiwa penting yang terjadi pada bulan itu, hingga amal-amal saleh yang sudah semestinya kita lakukan dalam rangka memakmurkannya. Penulis sengaja menyadurnya bukan menerjemahkannya, karena—setidaknya—dua hal. Pertama, menyadari dan mengingat keterbatasan kemampuan penulis dalam hal penerjemahan. Bahwa proyek penerjemahan membutuhkan pengetahuan dan skill khusus, bukan sekadar pengalihan suatu bahasa ke bahasa lain. Kedua, agar lebih leluasa menuliskan pokok-pokok pemikiran yang ada di sana, tanpa harus terikat pada aturan kebahasaannya. Oleh karena itu, bila Anda mendapati keterangan-keterangan musykil di sini, sila merujuk langsung ke sana.
Pengantar: Pengertian Sya‘ban dan Kaidah Kemuliaan Zaman
Abuya menjelaskan bahwa penamaan bulan ke-8 Hijriah ini dengan “Sya‘ban” adalah karena dari bulan inilah kebaikan yang berlimpah bercabang-cabang (yatasya‘abu). Dengan kata lain, istilah “Sya‘ban” berasal dari kata sya‘aba yang kemudian diikutkan timbangan (baca: wazan) tasya‘aba. Tetapi Abuya juga menukilkan tiga pendapat lain. Pertama, berasal dari kata sya‘a yang berarti “jelas”, yakni ia dinamai Sya‘ban karena “kejelasannya”—sayangnya tidak dijelaskan lebih lanjut terkait “kejelasan” di sini. Kedua, berakar dari kata al-Syi‘b yang berarti sebuah jalan di gunung. Tegasnya, ia dinamai Sya‘ban karena ia merupakan jalan (menuju) kebaikan-kebajikan. Ketiga, berasal dari karta al-Sya‘b yang berarti penampalan, pembetulan. Hal ini karena pada bulan itu Allah SWT menambal, menghibur, menyembuhkan hati yang patah.
Selanjutnya Abuya menjelaskan sebuah kaidah penting tentang kemuliaan zaman. Bahwa kemuliaan zaman-waktu-masa itu disebabkan oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di sana. Peristiwa-peristiwa itulah yang menjadi dasar sebuah zaman memiliki “keistimewaan”. Bila peristiwa itu besar-penting-mulia, maka demikian pula zaman-waktu-masa yang mewadahinya. Tidak hanya itu, bila keterikatan sebuah masyarakat dengan suatu peristiwa itu kuat, maka kuat pula keterikatannya dengan zaman-waktu-masa yang mewadahinya.
Sebagai contoh, bulan Ramadan misalnya, ia sedemikian mulia karena peristiwa agung yang terjadi di sana, yakni turunnya Al-Qur’an. Ketika seorang muslim atau komunitas muslim menyadari, memahami, terikat dan terpengaruh oleh betapa agungnya peristiwa itu, maka ketika itu pula ia akan memuliakan bulan Ramadan. Pun demikian dengan bulan Sya‘ban. Namun, tentu saja cara memuliakan bulan tersebut boleh jadi berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Tetapi maksud atau motif dasarnya sama.
Pengalihan Kiblat
Berkenaan dengan peristiwa penting yang terjadi di bulan Sya‘ban, yang disebut pertama kali oleh Abuya adalah pengalihan kiblat (tahwil al-qiblah), yakni dari Bayt al-Maqdis ke Ka‘bah. Perintah pengalihan kiblat itu terekam dalam surah al-Baqarah [2]: 144 berikut ini:
Baca Juga : Kiai Muda dan Pengarusutamaan Ekoteologi Islam
Sungguh, Kami melihat wajahmu (Nabi Muhammad SAW) sering menengadah ke langit. Maka, pasti akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai. Lalu, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Di mana pun kamu sekalian berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab benar-benar mengetahui bahwa (pemindahan kiblat ke Masjidilharam) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.
M. Quraish Shihab, pakar tafsir mutakhir asli Nusantara itu menjelaskan bahwa melalui ayat di atas Allah menyampaikan kepada Nabi Muhammad SAW bahwa Dia mengetahui keinginan, isi hati, atau doa beliau agar kiblat segera dialihkan ke Makkah, baik sebelum adanya informasi dari Allah tentang sikap orang-orang Yahudi bila kiblat dialihkan, lebih-lebih sesudah adanya informasi itu.
Di samping itu, sebagaimana diterangkan oleh Abuya, ayat di atas juga merupakan saksi atas kebenaran firman-Nya dalam surah al-Dhuha ayat ke-5, “Sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu sehingga engkau rida.” Lebih lanjut, terkait hal ini, al-Sayyidah ‘Aisyah diriwayatkan pernah berkata kepada Nabi SAW, “Aku tidak melihat Tuhanmu melainkan Dia bergegas (mewujudkan) keinginanmu.” (HR. al-Bukhari)
Kemudian, berkenaan dengan detail waktu turunnya ayat di atas, Abuya mengutip pernyataan Abu Hatim al-Busti, “Kaum muslimin salat menghadap Bayt al-Maqdis selama 17 bulan dan tiga hari. Hal itu karena kedatangannya—Nabi SAW—di Madinah adalah pada hari Senin, 12 Rabi‘ al-Awal, dan Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkannya menghadap ke Ka‘bah pada hari Selasa, pertengahan bulan Sya‘ban.”
Terangkatnya Amal (Raf‘ al-A‘mal)
Keistimewaan lain bulan Sya‘ban ialah terangkatnya amal, yakni—bila boleh penulis bahasakan—dilaporkannya catatan amal seluruh makhluk yang mukallaf kepada Allah SWT. Ia merupakan pengangkatan teragung dan terluas cakupannya (al-raf‘ al-akbar wa al-awsa‘). Terkait hal ini, ada sebuah hadis marfu‘ dari Usamah b. Zayd RA. Ia bertanya kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau (sering) berpuasa di sebuah bulan, sebanyak engkau berpuasa di bulan Sya‘ban.” Nabi SAW menjawab:
Itu adalah bulan yang dilalaikan oleh orang-orang, terletak antara Rajab dan Ramadan. Itulah bulan dimana amal-amal diangkat kepada Tuhan semesta alam. Dan aku senang (apabila) amalku diangkat, aku dalam keadaan berpuasa.
Baca Juga : Islam Pesisir, Budaya Lokal dan Peran Tasawuf
Abuya lalu menggarisbawahi bahwa pengangkatan amal ini tidak secara khusus terjadi di bulan Sya‘ban saja. Tetapi, sebagaimana keterangan-keterangan dalam hadis Nabi, pengangkatan itu juga terjadi pada waktu-waktu lain. Tentu hal ini tidaklah kontradiktif, karena masing-masing pengangkatan mempunyai hikmah-hikmah tersendiri.
Kemudian Abuya menuliskan beberapa pengangkatan amal yang terjadi di waktu-waktu lain tersebut. Pertama, pengangkatan amal yang dilakukan oleh seorang hamba di siang dan di malam hari. Beliau menukilkan sebuah hadis marfu‘ yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Musa al-Asy‘ari, bahwa Nabi SAW bersabda:
Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak tidur dan tidak layak baginya tidur. Dia merendahkan dan meniggikan timbangan amal (al-qisth). Diangkat kepada-Nya amal (seorang hamba di) malam hari sebelum amal (di) siang hari, dan (diangkat kepada-Nya pula) amal (seorang hamba di) siang hari sebelum amal (di) malam hari. Hijabnya adalah cahaya. Seandainya Dia menyingkapnya—hijab itu—niscaya cahaya dan keagungan-Nya membakar seluruh makhluk-Nya.
Abuya menjelaskan lebih lanjut maksud pengangkatan amal pada hadis di atas dengan mengutip penjelasan al-Munawi. Menurutnya, pengangkatan amal seorang hamba di siang hari itu terjadi pada permulaan malam hari, sedangkan pengangkatan amal di malam hari terjadi pada permulaan siang hari. Hal ini dikarenakan para malaikat yang bertugas mencatat amal-amal hamba-Nya akan naik ke langit pada permulaan malam dengan membawa catatan amal di siang hari. Demikian pula, mereka akan naik ke langit pada permulaan siang dengan membawa catatan amal di malam hari.
Penjelasan al-Munawi ini, menurut Abuya, mengisyaratkan pada sebuah hadis marfu‘ yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, dari Abu Hurairah. Bahwa Nabi SAW bersabda:
Saling silih berganti kepada kalian para malaikat di malam hari dan para malaikat di siang hari. Mereka berkumpul (bertemu) pada salat fajar dan salat ashar. Kemudian mereka yang bermalam di sisi kalian, naik ke langit lalu ditanya oleh Tuhan mereka—dan Dia Lebih Mengetahui daripada mereka—“Bagaimana kalian meninggalkan hamba-hamba-Ku?” Mereka menjawab, “Kami meninggalkan mereka sedangkan mereka dalam keadaan salat, dan kami mendatangi mereka sedangkan mereka dalam keadaan salat.”
Hadis senada yang diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah juga dinukil oleh Abuya melalui al-Mundziri dalam al-Targhi wa al-Tarhib-nya. Setelah itu, Abuya mengingatkan, “Maka pahami-yakinilah, wahai seorang mukmin, bahwa sesungguhnya ada para malaikat malam dan para malaikat siang yang senantiasa membersamaimu. Mereka memperhatikan dengan saksama amal-amalmu dan menaikkkannya kepada Tuhan Yang Maha Mulia dan Maha Agung itu.”
Kedua, pengangkatan amal “segera” (al-raf‘ al-fauri). Hal ini merujuk pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dan Ahmad dari ‘Abd Allah b. al-Sa’ib. Bahwa Nabi SAW salat empat rakaat setelah tergelincirnya matahari dan sebelum salat dzuhur. Kemudian beliau bersabda:
Baca Juga : Resepsi Pernikahan Bukan Kewajiban, Kenali Pilihanmu
Sesungguhnya itu adalah waktu terbukanya pintu-pintu langit. Maka aku senang amal salehku terangkat pada waktu itu.
“Dalam hadis ini terdapat penjelasan tentang keutamaan salat sunah qabliyah dzuhur,” demikian tulis Abuya.
Setelah mengutip hadis senada yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam al-Mu‘jam al-Kabir dan al-Mu‘jam al-Wasith-nya, Abuya menukil sebuah nasehat dari al-Syekh ‘Abd Allah Siraj al-Din, “Maka hendaknya seorang muslim berusaha semaksimal mungkin melaksanakan salat qabliyah dzuhur setelah tergelincirnya matahari, dan hendaknya ia memanfaatkan sebaik mungkin waktu itu dengan berdoa; sungguh itu adalah doa yang mujab (dikabulkan), karena pintu-pintu langit terbuka pada waktu itu. Tidak layak bagi seorang mukmin pada waktu itu tersibukkan oleh dunia dan penghancurnya yang fana, dan mengabaikan untuknya kebaikan-kebaikan, doa-doa, keharuman-keharuman dan keberkahan-keberkahan yang bermanfaat baginya, baik dalam kehidupan dunia maupun setelah kematian.”
Ketiga, pengangkatan amal mingguan (al-raf‘ al-usbu‘i). Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda:
Amal-amal diperlihatkan pada setiap hari Kamis dan Senin. Maka Allah ‘Azza wa Jalla mengampuni pada hari itu setiap orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, kecuali orang yang terdapat kebencian antara dirinya dengan saudaranya. Dikatakan, “Tangguhkanlah dua orang ini sampai keduanya berbaikan, tangguhkanlah dua orang ini sampai berbaikan.”
al-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis serupa dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda:
Amal-amal diperlihatkan pada hari Senin dan Kamis, maka aku senang bila amalku diperlihatkan sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.
Baca Juga : Perjalanan Umrah: Cara Orang Hadir di Tanah Suci (Bagian Kesepuluh)
Masih ada beberapa hadis serupa yang dinukil oleh Abuya, sila rujuk langsung ke sana. Tetapi yang jelas, setelah menukil beberapa hadis itu Abuya menuliskan, “Dari hadis-hadis yang mulia ini, seorang muslim mengetahui-memahami keutamaan dua hari ini: Senin dan Kamis. Maka hendaknya ia menjauhkan dirinya dari dendam dan kebencian, agar pengangkatan amal-amal salehnya tidak terhalangi; dan hendaknya pada dua hari itu ia memperbanyak amal saleh dan ucapan yang lembut. Karena sesungguhnya hari-hari itu mempunyai “hukum-hukum” dan kekhususan-kekhususan tersendiri. Ia adalah wadah-wadah yang menampung apa saja yang mengalir di sana. Maka janganlah memenuhi wadah-wadah hari-harimu, wahai orang yang berakal, kecuali dengan sesuatu yang dapat mendekatkanmu kepada Tuhanmu. Karena akan datang suatu hari kepadamu di mana wadah-wadah ini dibuka, setelah sebelumnya tertutup, yakni saat kematianmu. Pada hari itu, nampak dan memancarlah seluruh isi yang dikandung oleh wadah-wadah itu, baik ucapan-ucapan, amal-amal, maupun tingkah lakumu. Jika yang keluar itu baik lagi saleh, niscaya bau harumnya akan semerbak di mana-mana. Engkau pun senang, gembira, aman dan berseri-seri karenanya. Tetapi bila ia buruk lagi tercela, niscaya bau busuknya juga akan semerbak ke mana-mana, kegelapan-kegelapannya menaungimu dan terbongkarlah seluruh keburukanmu pada hari yang agung itu. Engkau pun sedih dan merana. Allah SWT berfirman: Itulah hari ketika semua manusia dikumpulkan (untuk dihisab), dan itulah hari yang disaksikan (oleh semua makhluk) (Surah Hud [11]: 103).”
Penutup
Ada dua peristiwa penting yang terjadi pada bulan Sya‘ban—yang tersebut pada artikel sederhana ini. Pertama, peristiwa pengalihan kiblat dari Masjid al-Aqsha (Bayt al-Maqdis) ke Masjid al-Haram (Ka‘bah). Kedua, terjadinya pengangkatan amal teragung dan terluas cakupannya. Dan bahwa pengangkatan amal ini bukanlah satu-satunya. Masih ada beberapa pengangkatan amal yang terjadi di waktu-waktu lain, seperti pengangkatan harian (awal siang dan awal malam), pengangkatan kilat (setelah tergelincirnya matahari dan sebelum salat dzuhur), dan pengangkatan mingguan (Senin dan Kamis). Wallahu A‘lam.
Sumber Rujukan
‘Abd al-Ra’uf al-Munawi, Faidh al-Qadir: Syarh al-Jami‘ al-Shaghir, Vol. 2 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1972), 276-277.
Al-Sayyid Muhammad b. ‘Alwi al-Maliki al-Hasani, Madza fi Sya‘ban (Tt.p: Tn.p, 1424), 5-10.
Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Jami‘ al-Shaghir fi Ahadits al-Basyir al-Nadzir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 114.
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 29, 900.
Majd al-Din Abi al-Sa‘adat al-Mubarak b. Muhammad al-Jazari Ibn al-Athir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Athar (Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1421 H), 751.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 1 (Tangerang: Lentera Hati, 2017), 418.