(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Memahami Rukun Islam (4)

Daras Fikih

Dengan mengharap rida Allah SWT dan ilmu yang bermanfaat dan berkah, mari sejenak membaca surah al-Fatihah kepada penulis kitab Safinah al-Naja yang sedang kita kaji bersama. Untuk al-Syekh Salim bin Sumair al-Hadhrami, al-Fatihah.

  

Sebelumnya patut diketahui bahwa di sini penulis tidak hendak mengkaji Puasa Ramadan dari aspek pengamalannya, seperti syarat wajib puasa, syarat sahnya puasa, hal-hal yang membatalkan puasa dan lain sebagainya. Karena materi-materi tersebut dijelaskan secara rinci oleh al-Syekh Salim dalam bagian akhir kitabnya. Puasa Ramadan sebagai Rukun Islam yang keempat ini mari kita kaji secara global saja, seperti definisi puasa, asal usul penamaan Ramadan dan waktu disyariatkan Puasa Ramadan. Dengan memahami hal-hal ini, semoga wawasan kita semakin bertambah.

  

Definisi Puasa

  

Kita perlu mengingat terlebih dahulu “hadis Jibril” yang penulis kutipkan (terjemahkan) di artikel sebelumnya, Memahami Rukun Islam (1). Di sana, Nabi SAW menyatakan bahwa Rukum Islam yang keempat adalah, “Engkau berpuasa (tashuma) di bulan Ramadan.” Sederhananya, kita perlu menyadari bahwa istilah “Puasa Ramadan” adalah terjemahan dari bahasa Arab yang berbunyi Shaum Ramadhan.

  

Nah, secara bahasa, shaum itu berarti menahan diri dari apapun itu, baik perbuatan atau tingkah laku, maupun pembicaraan. Penggunaan kata shaum untuk makna kebahasaan ini dikenal secara luas dalam bahasa Arab. Kuda yang menahan diri dari melakukan perjalanan misalnya, disebut sebagai sha’im. Udara atau angin yang tenang dan tergelincirnya matahari di siang hari, disebut sebagai shaum. Karena pada waktu itu, angin tidak berhembus dan matahari tidak bergeser sedikit pun; berada di titik tengah peredarannya. Demikian juga dengan orang yang tidak berbicara sepatah kata pun disebut sebagai sha’im; dan lain sebagainya.

  

Sedangkan secara istilah, shaum berarti menahan diri yang khusus, dengan bentuk yang khusus, dan dengan niat yang khusus (imsak makhshush ‘ala wajh makhshush bi niyyat makhsushah). Tentu, penjelasan mengenai kekhususan-kekhususan yang disematkan pada “menahan diri” di sini didapati di dalam pembahasan mengenai puasa. Tetapi secara umum dapat digambarkan dalam sebuah kalimat, “Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, sejak terbitnya fajar (waktu shubuh) hingga tenggelamnya matahari, dengan niat yang khusus.” Maksud dari yang disebutkan terakhir ini, menurut al-Syekh Muhammad al-Amin al-Harari adalah niat mendekatkan diri kepada Allah SWT.

  

Mengapa dinamakan Ramadan?

  

Kita ketahui bahwa “Ramadan” adalah sebuah nama dari bulan kesembilan menurut Tahun Hijriah. Sebagai bulan yang mulia dan dimuliakan, tentu penamaan itu menyimpan banyak rahasia. Dari titik tolak inilah para ulama berijtihad, berusaha memahami dan menawarkan pemahaman kepada umat Islam terkait asal usul atau hikmah penamaan “Ramadan” itu. Tentu sebagai pelajar, kita tidak bermaksud men-tarjih, pendapat mana yang paling benar; na‘udzu billaah. Tetapi cukuplah bagi kita membaca, memahami dan mendeskripsikan masing-masing pendapat. Persoalan mana yang benar atau sesuai, kita kembalikan pada kecondongan hati masing-masing. Toh pada dasarnya pendapat-pendapat itu saling melengkapi, sebagaimana yang terbaca nanti, insya Allah.


Baca Juga : Diaspora Muslim Indonesia di Belanda dalam Mengurangi dan Mencegah Islamophobia

  

Pertama, bahwa bulan kesembilan Tahun Hijriah dinamakan Ramadan karena pada bulan itu cahaya matahari sedang berada pada titik terpanas. Ada dua argumen penting yang dijadikan landasan oleh pendapat ini. Pertama, secara bahasa, istilah Ramadan berasal dari bahasa Arab yang berbunyi ramidha-ramdhun. Artinya, (kurang lebih) “Sangat panasnya terik matahari.” Kedua, mereka (orang-orang Arab itu) terbiasa menamai sesuatu sesuai dengan sifat yang melekat pada dirinya. Nah, berhubung di bulan kesembilan itu panas matahari terasa sangat menyengat, mereka namailah bulan itu dengan bulan Ramadan. Oleh karena itu, bulan Ramadan berarti, “Bulan di mana terik mataharinya sangat panas.”

  

Kedua, dinamakan Ramadan karena terbakarnya dosa-dosa pada bulan itu (li ramdh al-dzunub fihi). Pendapat ini juga membangun argumennya dari makna kebahasaan. Bahwa Ramadan yang berasal dari kata ramdhun itu berarti membakar atau menghanguskan.

  

Ketiga, dinamakan Ramadan karena pada bulan itu bebatuan terbakar oleh (cuaca yang sangat) panas. Pendapat ini memahami Ramadan berasal dari kata ramdha’ yang berarti bebatuan yang amat panas disebabkan oleh panasnya terik matahari.

  

Keempat, dinamakan Ramadan karena berkat “panas” itulah, hati-hati manusia bisa mengambil al-mau‘izhah dan al-fikrah dalam perkara-perkara akhirat, sebagaimana pasir dan bebatuan “mengambil” panas terik matahari. Dengan kata lain, pada bulan ini manusia bisa mengambil pelajaran dan mempersiapkan bekal kembali sebanyak-banyak untuk menghadapi kehidupan akhirat nanti.

  

Kelima, bahwa istilah Ramadan berasal dari kata al-ramdhu atau al-ramidh yang berarti hujan yang datang pada musim rontok atau akhir musim panas dan awal musim rontok. Untuk itu, alasan bulan tersebut dinamakan Ramadan adalah karena (pada hakikatnya) bulan itu membasuh badan-badan dari perbuatan dosa dan menyucikan/menjernihkan hati-hati dengan sesuci-sucinya/sejernih-jernihnya.

  

Keenam, bahwa istilah Ramadan berasal dari kata ramidha, armadha yang berarti menempa sesuatu di antara dua batu agar semakin tipis, runcing atau tajam. Ia dinamakan Ramadan karena pada bulan itu mereka (orang-orang Arab Jahiliyah) menempa peralatan perang mereka, agar di bulan Syawal kebutuhan mereka bisa terpenuhi, sebelum datanya bulan-bulan haram. 

  

Terakhir, ada juga yang memahami Ramadan sebagai salah satu nama Allah SWT (ism min asma’ Allah). Tetapi pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas ulama. Bahkan Imam Nawawi menegaskan, “Sungguh sekelompok ulama yang tak terhitung jumlahnya telah menulis karya-karya komprehensif berkenaan Asma’ Allah Ta‘ala. Tetapi mereka tidak menetapkan nama ini (Ramadan, sebagai salah satu nama-Nya).”

  


Baca Juga : Bisakah Kita Yang Bukan Siapa-Siapa Ini Menjadi \'Orang\' Di Masa Depan?

Kapan Puasa Ramadan Disyariatkan?

  

Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, puasa Ramadan mulai disyariatkan pada bulan Sya‘ban tahun ke-2 Hijriah. Dengan demikian, Nabi SAW puasa Ramadan selama 9 kali, terhitung sejak tahun ke-2 Hijriah, karena beliau intaqala ila al-Rafiq al-A‘la pada tahun ke-10 Hijriah. 

  

Namun, patut dipahami bahwa para nabi dan rasul terdahulu juga telah disyariatkan puasa, terlepas dari perbedaan pendapat mengenai bentuk dan waktu pelaksanaan puasanya. Itulah mengapa Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah [2]: 183 yang kurang lebih artinya sebagai berikut:

  

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

  

Tetapi untuk puasa Ramadan memang merupakan salah satu kekhususan umat Nabi Muhammad SAW (min khasha’ish al-ummah al-Muhammadiyyah) yang tidak diberikan kepada umat-umat terdahulu.

  

Demikian kajian kitab Safinah al-Naja pada kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat dan berkah, wa shalla Allah ‘ala Sayyidina Muhammad al-Mushthafa.

  

Sumber Rujukan

  

al-Syekh Abi ‘Abdil Mu‘thi Muhammad Nawawi al-Jawi, Syarh Safinah al-Naja ‘ala Safinah al-Naja fi Ushul al-Din wa al-Fiqh bi al-Ma‘na ‘ala Pesantren (Kediri: al-Ma‘had al-Islami al-Salafi, t.t.), 7-8.


Baca Juga : Prof. Azis Fahrurrazi: Ahli Tafsir UIN Jakarta

  

al-Syekh al-‘Allamah Muhammad b. Ahmad ‘Amuh, Manar al-Huda: Syarh Safinah al-Naja (t.tp.: Dar al-Maturidiyyah, t.t.), 29.

  

Muhammad b. ‘Ali b. Muhammad Ba‘athiyyah al-Du‘ani, Ghayah al-Muna: Syarh Safinah al-Naja (Tarim: Maktabah Tarim al-Haditsah, 2008), 53-54.

  

al-Sayyid Ahmad b. ‘Umar al-Syathiri, Nail al-Raja’ bi Syarh Safinah al-Naja’ (Beirut: Dar al-Minhaj, 2007), 61-62.

  

Abi al-Qasim al-Husein b. Muhammad al-Ma‘ruf bi al-Raghib al-Ashfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an (Kairo: Dar Ibn al-Jauzi, 2012), 320.

  

al-Syekh al-‘Allamah Muhammad al-Amin b. ‘Abdullah al-Urami al-‘Alawi al-Harari, Tafsir Hada’iq al-Ruh wa al-Raihan fi Rawabi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar Thauq al-Najah, 2001), vol. 3, 151.

  

al-‘Allamah al-Faqih al-Hafizh Abi Zakariyya Muhyiddin b. Syaraf al-Nawawi, Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), Vol. 4, 126-127.

  

al-Syekh ‘Abd al-Qadir b. Abi Shalih al-Jilani, al-Ghunyah li Thalib al-Haqq ‘Azza wa Jalla (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 7-8.