(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Memahami Rukun Islam (5)

Daras Fikih

Dengan mengharap rida Allah SWT dan ilmu yang bermanfaat dan berkah, mari sejenak membaca surah al-Fatihah kepada penulis kitab Safinat al-Najah yang sedang kita kaji bersama. Teruntuk al-Syaikh Salim b. Sumayr al-Hadhramiy, al-Fatihah.

  

Sebagaimana diketahui, Rukun Islam yang kelima adalah, “Mengerjakan haji ke Baitullah, bagi yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana (wa hajj al-bayt man istatha‘a ilayhi sabila).” Kewajiban haji ini, selain didasarkan pada hadis Jibril yang telah dikutip pada kesempatan terdahulu, didasarkan pula pada surah Ali ‘Imran [3]: 97 yang maknanya lebih kurang sebagai berikut:

  

“Padanya (Ka’bah) terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji menuju Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana; barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam.”

  

Keutamaan Haji

  

Cukup banyak hadis-hadis yang menerangkan tentang hal ini. Di antaranya 3 hadis di bawah ini, yang semuanya diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah RA:

  

Bahwa pada suatu hari, Rasulullah SAW ditanya, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Berjuang di jalan Allah (al-Jihad fi Sabilillah).” “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Haji yang mabrur.”

  

Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa berhaji, tidak bersenda gurau (melakukannya dengan sungguh-sungguh) dan tidak melakukan kefasikan (hal-hal yang keji, yang dilarang oleh syariat), niscaya dia kembali seperti di saat ibunya melahirkannya (dosa-dosanya terampuni dan kembali suci).”

  

Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Umrah kepada umrah (dua kali umrah yang dilakukan oleh seseorang) adalah penebus bagi dosa-dosa yang berada di antara keduanya. Dan haji yang mabrur, tidak ada ganjaran (yang pantas) untuknya melainkan surga.”


Baca Juga : Satu Abad NU: NKRI Yes Khilafah No

  

Mengapa sedemikian mulia kedudukan haji?

  

Tentu ada banyak jawaban yang diberikan oleh para ulama. Tetapi sekurang-sekurangnya dapat kita pahami dari penyataan al-Qadhi Husein rahimahullah, “Haji itu adalah ibadah yang paling utama, karena ia menghimpun (ibadah) harta dan (ibadah) badan/fisik sekaligus.” Tegasnya, haji tidak seperti salat dan puasa yang lebih bersifat fisik (‘ibadah badaniyyah); tidak juga seperti zakat yang bersifat harta/materi (‘ibadah maliyyah). Tetapi haji merupakan kombinasi dari keduanya. Bukankah dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk bisa berhaji? Bukankah dibutuhkan pula kesehatan jasmani dan rohani untuk bisa melaksanakan serangkaian ritualnya?

  

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila beberapa ulama untuk tidak mengatakan semuanya menegaskan bahwa tidak ada satu nabi dan rasul pun yang diutus oleh Allah SWT melainkan masing-masing dari mereka melakukan ibadah haji terlepas dari kemungkinan adanya perbedaan dalam tata caranya.

  

Kapan Perintah Kewajiban Haji Turun Kepada Rasulullah SAW?

  

Memang, haji secara historis merupakan salah satu syariat terdahulu (min al-syara’i‘ al-qadimah), tetapi patut dipahami bahwa perintah kewajiban pelaksanaannya tidak dibebankan secara serta merta di awal-awal dakwah Nabi. Pada konteks ini, para ulama berbeda pendapat. Menurut pendapat masyhur, ia baru diwajibkan pasca Nabi hijrah ke Madinah, tepatnya pada tahun ke-5 H. Sedangkan menurut pendapat terkuat (al-arjah) lain lagi, ia baru diwajibkan pada tahun ke-9 H.

  

Pendapat yang disebut terakhir itu, diikuti oleh mayoritas ulama dan didasarkan pada setidaknya dua argumen penting. Pertama, pada permulaan tahun ke-9 H, ada utusan ‘Abd al-Qays yang datang kepada Nabi SAW seraya bertanya perihal kewajiban-kewajiban umat Islam. Nabi SAW menjawab, “Ku perintahkan kalian beriman kepada Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadan, dan memberi seperlima dari ghanimah (harta rampasan perang).” Bahwa Nabi tidak menyebut perintah haji, seandainya haji merupakan kewajiban yang telah ditetapkan sebelumnya, pasti beliau menjelaskannya. Kedua, di tahun ke-9 H, Nabi SAW menunjuk Sahabat Abu Bakar RA sebagai pemimpin pelaksanaan haji. Sedangkan beliau sendiri baru melaksanakan haji di tahun ke-10 H, yang kemudian terkenal sebagai Haji Wada’. Memang, sebelum itu beliau pernah dua kali melaksanakan ibadah haji, tetapi ketika itu bukan berdasarkan perintah Allah yang tegas mewajibkannya, namun dalam rangka mengikuti ajaran Nabi Ibrahim AS dan sebagai pendekatan diri kepada Allah SWT.

  

Hikmah Haji

  


Baca Juga : Strategi Dakwah Gulen Movement

Al-Jurjawiy dalam kitabnya yang terkenal, Hikmat al-Tasyri‘ wa Falsafatuh, menjelaskan hal ini hikmah haji dengan uraian yang menarik. Bahwa Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam untuk bersatu, berusaha semaksimal mungkin mewujudkan persatuan dan kesatuan seperti bangunan yang kokoh. Tiap bagian sambung-menyambung dengan bagian yang lain. Tentu saja perintah ini tidak mudah untuk diwujudkan, mengingat mereka terpencar dan berdomisili di berbagai belahan dunia, Timur dan Barat. Apalagi karakter dan bahasa mereka berbeda-beda. Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan mereka melaksanakan haji agar mereka bisa berkumpul di “tempat yang sama”, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Hajj [22]: yang lebih kurang maknanya berbunyi, “Dan (wahai Nabi Ibrahim AS!) berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu (menyambut seruanmu) dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang (telah menjadi lemah dan) kurus (karena jauhnya perjalanan bagi) yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”

  

Jika mereka telah berkumpul, maka terwujudlah rasa saling mengenal dan menyayangi. Orang Arab akan mengenal orang India, orang Turki akan mengenal orang China, orang Mesir akan mengenal orang Syam, orang Maroko akan mengenal orang Jawa/Nusantara, demikian seterusnya. Maka dengan perkumpulan dan pengenalan ini, mereka seperti saudara kandung yang berasal dari ayah dan ibu yang sama karena sejatinya mereka dipersatukan oleh ikatan agama yang sama tanpa disibukkan lagi oleh perbedaan ras, suku, bahasa dan lain sebagainya.

  

Tidak hanya itu, dari perkumpulan tersebut ada pula faedah-faedah lain yang bisa mereka peroleh dalam kaitannya dengan kelangsungan hidup mereka di dunia. Yakni bahwa masing-masing kabilah/suku/daerah bisa mengetahui berbagai keadaan atau informasi yang terdapat dalam kabilah/suku/daerah lain, seperti hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan, kerajinan, industri, pertanian, perkebunan, sosial-masyarakat dan lain-lain. Sehingga dari informasi-informasi ini mereka saling “menukarkan” kemanfaatan. Di sisi lain, bila salah satu daerah tersebut ternyata sedang mengalami penindasan, baik oleh pemimpin yang zalim ataupun musuh, maka daerah-daerah lain bisa mengambil langkah konkret untuk memberikan pertolongan, apapun bentuknya.

  

Sumber Rujukan

  

M. Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 335

  

Muhammad Nawawi al-Jawi, Syarah Kasyifat al-Saja ‘ala Safinat al-Naja fi Ushul al-Din wa al-Fiqh bi al-Ma‘na ‘ala Pesantren (Kediri: al-Ma‘had al-Islamiy al-Salafiy, t.t.), 8.

  

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2017), Vol. 2, 195-198.

  

Muhammad al-Zuhailiy, al-Mu‘tamad fi al-Fiqh al-Syafi‘iy (Damaskus: Dar al-Qalam, 2011), Vol. 2, 253-254, 256-257.

  

‘Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyri‘ wa Falsafatuh (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 162.