Sholawat
Daras FikihOleh: Diah Fitriatus Sholihah
Dengan memohon ridho dan rahmat Allah SWT untuk kemanfaatan ilmu kita, mari kita awali dengan bacaan surah al-Fatihah untuk penulis kitab Safinah al-Naja yang sedang kita kaji bersama, as-Syekh al-‘Alim al-Fadhil Salim bin Sumayr al-Hadhrami. Teruntuk beliau, al-Fatihah.
Sebelum atau pun sesudah mengenal kitab Safinah al-Naja dan penulisnya, pada kesempatan ini, marilah kita memulai mengkaji kitab itu dari permulaan.
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, dan hanya kepada-Nya kami memohon pertolongan (wa bihi nasta‘in) atas urusan-urusan dunia dan agama (al-din). Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw., penutup para nabi, kepada keluarganya dan sahabat-sahabatnya, semuanya.
Tentang “Bihi” dan al-Din
Mengapa pengarang (Syekh Salim bin Sumair) menuliskan bacaan shalawat di awal kitabnya, untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?
Sebelum menjawab persoalan ini, ada dua hal yang perlu penulis garisbawahi. Pertama, terkait redaksi wa bihi nasta‘in di atas yang penulis terjemahkan dengan ungkapan “hanya kepada-Nya kami memohon pertolongan”. Jika dilihat dari susunan kalimatnya, redaksi tersebut diawali dengan kalimat “bihi” yang merupakan al- Jar dan al-Majrur. Dengan kata lain, dalam redaksi al-Syekh Salim itu terdapat pendahuluan objek daripada subjek dan predikatnya. Hal itu menurut para ulama, guna memberikan pengertian khusus, yakni “pembatasan dan pengkhususan” (al-hashr wa al-takhshisih). Itulah mengapa, redaksi tersebut penulis terjemahkan dengan, “Hanya kepada-Nya bukan kepada selain-Nya kami memohon pertolongan atas urusan-urusan dunia dan agama”.
Baca Juga : Mendorong NU untuk Pemberdayaan Pendidikan dan Ekonomi Umat (Bagian Satu)
Kedua, terkait kata al-Din. Kata ini, secara bahasa digunakan untuk menunjukkan berbagai makna, diantaranya:
1. Ketaatan;
2. Ibadah;
3. Balasan;
4. Perhitungan.
Sedangkan secara syariat (istilah), kata ini berarti sesuatu yang Allah telah syariatkan melalui lidah Nabi-Nya, berupa hukum-hukum. Di sisi lain, istilah “agama” dinamakan “al-Din” (tunduk), karena sesungguhnya kita tunduk kepada-Nya, yakni kita meyakini dan mengikutinya. Lebih lanjut, beragam ketentuan yang terkandung di dalam agama tersebut dinamakan pula dengan “Millah” (dikte) dari sisi bahwa Zat Maha Raja (Allah) mendiktekannya, yakni menyampaikannya kepada Rasul-Nya, dan Rasul menyampaikannya kepada kita. Hal tersebut melahirkan istilah baru, yakni syara' dan syariat, dari sisi bahwa Allah sungguh telah mensyariatkannya kepada kita, yakni telah menjelaskannya kepada kita melalui lisan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Pentingnya Shalawat di Permulaan Suatu Kitab
Sampai di sini, kita kembali pada pertanyaan di atas, “Mengapa pengarang menuliskan bacaan shalawat di awal kitabnya?” Jawabannya, tidak lain karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri yang menganjurkan, memerintahkan dan mengingatkan pentingnya shalawat sebagai permulaan suatu “keadaan”, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Barang siapa yang bershalawat kepadaku, dalam sebuah kitab/buku, niscaya para malaikat akan senantiasa memohonkan ampun untuknya, selama namaku tercantum di dalam kitab/buku tersebut.
Baca Juga : Ust. Abdul Somad, Islah Bahrawi dan Bom Bunuh Diri
Barang siapa yang memperbanyak membaca shalawat kepadaku ketika ia masih hidup, niscaya Allah akan memerintahkan seluruh makhluk-Nya untuk memohonkan ampun untuknya setelah ia meninggal dunia.
Tidak lah suatu kaum duduk di sebuah majelis, kemudian mereka berpisah tanpa membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, melainkan mereka berpisah dalam keadaan berbau busuk, melebihi busuknya bangkai keledai.
Sehubungan dengan hadis yang terakhir ini, Ibnu al-Jauzi mengomentari dalam kitab al-Bustan:
Apabila sebuah majelis yang tidak dibacakan shalawat di dalamnya (digambarkan) dalam keadaan bau busuk seperti itu, maka sudah jelas majelis yang berpisah dengan membaca shalawat kepada beliau akan lebih harum daripada gudangnya penjual minyak wangi. Hal itu tidak lain karena sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih harum dari semua yang harum dan lebih suci dari yang paling suci. Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bicara, maka majelis akan dipenuhi oleh bau harum yang lebih harum daripada minyak kasturi. Begitu juga dengan majelis yang disebut nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka akan bertambah bau harum yang tembus sampai langit ketujuh hingga sampai Arsy. Semua makhluk yang Allah ciptakan di bumi pun bisa menemukan bau harumnya kecuali manusia dan jin. Karena seandainya mereka bisa menemukan bau harumnya, maka mereka semua akan disibukkan oleh kenikmatannya, hingga lalai dengan pekerjaannya.
Adapun faedah bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka tak terhitung jumlahnya. Di antaranya:
1. bershalawat bisa menyinari hati dari kegelapan;
2. tidak membutuhkan pembimbing/guru;
3. menjadi sebabnya wushul;
4. memperbanyak rizki;
Baca Juga : Yudisium Online Perdana FDK UIN Sunan Ampel Surabaya
5. sesungguhnya orang yang memperbanyak shalawat, maka Allah mengharamkan jasadnya atas neraka.
Seputar Makna Shalawat
al-Syekh Nawawi al-Jawi menjelaskan ungkapan shalawat yang ditulis oleh al-Syekh Salim di atas, sebagai berikut:
Dan semoga Allah bershalawat (yakni semoga Allah menambahkan bagi beliau kasih sayang dan pengagungan), dan memberi keselamatan (yakni semoga Allah menambahkan bagi beliau penghormatan yang besar, yang mencapai tingkatan maksimal).
Dengan kata lain, menurut beliau, makna shalawat adalah penambahan kasih sayang (rahmat) dan pengagungan. Bila ada yang berkata, “Sesungguhnya rahmat Allah kepada Nabi telah berhasil (terpenuhi), maka memintakan rahmat tersebut adalah upaya menghasilkan sesuatu yang sudah berhasil (sia-sia belaka)”?
Maka jawabannya, sebagaimana dijelaskan oleh al-Syekh Nawawi al-Jawi dengan mengutip al-Syekh Isma‘il al-Hamidi, adalah, “Bahwa yang dimaksud dengan shalawat kita (permohonan rahmat) atas Nabi adalah meminta rahmat yang belum ada. Karena sesungguhnya tidak ada dari suatu waktu, melainkan pasti di waktu itu terdapat rahmat Allah yang belum berhasil (dipenuhi) bagi Nabi. Sehingga Nabi tidak henti-hentinya akan senantiasa meningkat dalam berbagai kesempurnaan, sampai kedudukan yang tidak terhingga, bagi beliau. Karena itu beliau mendapat manfaat dengan sebab shalawat kita atas beliau, demikian menurut pendapat yang shahih. Namun, tentu tidak sepatutnya pembaca shalawat bermaksud demikian. Akan tetapi, hendaknya ia bermaksud ber-tawassul (berperantara dengan Nabi) kepada Tuhannya dalam meraih tujuan dirinya.”
Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa, “Tidak diperbolehkan berdo'a untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan selain doa yang warid (telah diajarkan langsung oleh beliau di dalam hadis-hadisnya), seperti doa, “Semoga Allah merahmatinya (Rahimahullah, ini tidak boleh).” Akan tetapi yang sesuai dan yang layak bagi hak para Nabi adalah berdoa dengan “shalawat dan salam”. Sedangkan bagi hak para sahabat, tabi’in, para wali, dan para syekh adalah berdo’a dengan taradhdhi (Semoga Allah meridho’i). Adapun bagi hak selain mereka, maka bentuk do’a yang mana pun adanya itu mencukupi.”
Demikian kajian kitab Safinah al-Naja pada kesempatan kali ini. Semoga apa yang telah kita pelajari menjadi ilmu yang bermanfaat dan berkah, serta bisa kita lanjutkan pada kesempatan-kesempatan berikutnya, bi idznillaah. Aamin, wa shalla Allah ‘ala sayyidina Muhammad al-Mushtafa.
Referensi:
Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Jawi, Kasyifah al-Saja: Syarah Safinah al-Naja (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2011), 27-29.
Abu Bakar al-Dimyathi, I‘anat al-Thalibin (Lebanon: Dar al-Fikr, 2005), Vol. 1, 12.
Imam Abi al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, Kitab al-Hawi al-Kabir (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah 2011), Vol. 9, 79-80.