Definisi Al-Qur’an, Surah dan Ayat
Daras TafsirDengan mengharap rida Allah SWT dan ilmu yang bermanfaat dan berkah, mari sejenak surah al-Fatihah untuk penulis kitab Zubdah al-Itqan yang sedang kita kaji bersama. Untuk al-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki, al-Fatihah.
Bahwa pemahaman terhadap Al-Qur’an yang mengandung hukum-hukum syariat itu, tidak bisa diperoleh melainkan berkat pertolongan Allah SWT semata. Buktinya, para sahabat yang mendapatkan pencerahan langsung dari Sang Rasul saja sering kali menanyakan persoalan-persoalan kepada beliau. Mereka tidak mampu memahami persoalan-persoalan itu, padahal tingkat kefasihan mereka begitu tinggi. Maka tak diragukan lagi, kita juga membutuhkan penjelasan-penjelasan Rasul tersebut, bahkan lebih, mengingat jauhnya kualitas pemahaman kita daripada mereka. Demikian kurang lebih penjelasan Abuya pada kesempatan sebelumnya, seputar keniscayaan Ilmu Tafsir untuk dipelajari.
Selanjutnya, pada kesempatan kali ini, Abuya menjelaskan seputar pengertian Al-Qur’an, surah dan ayat. Penjelasan tentang tiga istilah ini, beliau tuliskan tepat sebelum pembahasan awal Ilmu-ilmu Al-Qur’an, yakni al-Makkiy wa al-Madaniy. Tentu ini penting, sebagai pengantar untuk memasuki pembahasan-pembahasan selanjutnya yang bakal jauh lebih mendalam. Terbukti, pola semacam ini menjelaskan terlebih dahulu pengertian Al-Qur’an sebelum membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an lebih jauh juga dilakukan oleh ulama-ulama lain. Sebagai contoh, al-Suyuthi dalam al-Nuqayah-nya, al-Zamzami dalam Nadhm al-Tafsir-nya, Nuruddin ‘Itr dalam ‘Ulum al-Qur’an-nya, al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan-nya dan Manna‘ al-Qaththan dalam Mabahits-nya.
“Al-Qur’an”: Tinjauan Kebahasaan
Abuya menjelaskan bahwa secara bahasa, istilah “Al-Qur’an” terambil dari al-qar’ yang berarti pengumpulan. Sedangkan secara istilah, Al-Qur’an adalah:
Kalam (Allah) yang diturunkan kepada Sayyidina Muhammad shalla Allah ‘alaih wa sallam, yang bernilai mukjizat dengan satu surah darinya (al-mu‘jiz bi surah minhu).
Sampai di sini, patut diketahui bahwa penjelasan Abuya mengenai asal-usul istilah Al-Qur’an itu, tidak sepenuhnya diamini oleh para ulama. al-Zarqani misalnya, menilai pendapat itu tidak mempunyai alasan yang tepat. Kalau pun punya, maka terkesan dibuat-buat atau dipaksakan (kulfah), bahkan jauh dari kaidah-kaidah etimologi dan sumber-sumber bahasa. Lebih dari itu, Musnid al-dunya, Syekh Yasin al-Fadani secara tegas mengatakan bahwa pendapat itu adalah pendapat yang lemah (dha‘if).
Menurut kedua ulama yang namanya telah disebutkan itu, istilah “Al-Qur’an” terambil dari kata dasar qara’a, yang berarti membaca. Kata ini mempunyai dua bentuk mashdar (gerund): qira’at dan qur’an. Dengan demikian, keduanya bermakna “bacaan”. Tentu, ada banyak argumen atas pemilihan ini qara’a sebagai kata dasar “Al-Qur’an”. Di antaranya adalah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sulaiman al-Thayyar, penggunaan kitab suci Al-Qur’an sendiri atas istilah “Al-Qur’an”, seperti yang terdapat dalam surah al-A‘raf [7]: 204, Yunus [10]: 61, al-Nahl [16]: 98, al-Isra’ [17]: 78 dan 106.
Baca Juga : Baik Belum Tentu Baik
Namun, bukan berarti apa yang dijelaskan oleh Abuya di atas tidak “didukung” oleh ulama-ulama lain. al-Sayyid Muhsin al-Musawa dalam Nahj al-Tafsir-nya misalnya, ketika mengomentari Nadhm al-Tafsir karya Syekh al-Zamzami, dengan tegas menyatakan, “Adapun Al-Qur’an secara bahasa, maka terambil dari kata al-qar’ yang berarti pengumpulan.” Nah menariknya, al-Sayyid ‘Alwi al-Maliki yang tidak lain merupakan ayah kandung Abuya “nampaknya” juga mengafirmasi pernyataan al-Sayyid Muhsin tersebut. Hal ini terlihat jelas dalam Faydl al-Khabir yang beliau tulis secara khusus untuk mengomentari Nahj al-Tafsir itu. Di sana, al-Sayyid ‘Alwi tidak menyatakan “keberatan” sedikit pun atas pernyataan al-Sayyid Muhsin tersebut. Artinya, setidaknya dalam konteks ini lah kita bisa memahami dan “memaklumi” penjelasan Abuya di atas. Bahwa saking menjaganya adab, beliau tidak berani menyalahi pendapat atau minimal sikap ayahnya.
Di sisi lain, terlepas dari perbedaan ini, jika kita lihat secara saksama, sebenarnya baik istilah Al-Qur’an berasal dari al-qar’ atau pun qira’at/qur’an, keduanya bertemu pada titik tolak yang sama. Bahwa keduanya menghendaki Al-Qur’an secara kebahasaan berarti “pengumpulan” surah-surah dan ayat-ayat dalam satu himpunan. Karena kata dasar qira’at/qur’an tidak selalu bermakna bacaan, sebagaimana umumnya kita terjemahkan. Tetapi ia juga bisa berarti pengumpulan, penghimpunan dan penyatuan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Qutaibah di dalam karyanya yang berjudul Tafsir Gharib al-Qur’an.
Definisi Al-Qur’an
Sebagaimana yang telah dikutipkan di atas, definisi Al-Qur’an menurut Abuya adalah, “Kalam (Allah) yang diturunkan kepada Sayyidina Muhammad shalla Allah ‘alaih wa sallam, yang bernilai mukjizat dengan satu surah darinya (al-mu‘jiz bi surah minhu).” Terkait dengan definisi ini, Abuya memberikan 4 catatan:
1. Bahwa istilah “kalam” (Allah) merupakan sebuah jenis (firman) yang mencakup segala firman-Nya (baik yang Dia turunkan kepada Rasulullah Muhammad, maupun nabi dan atau rasul yang lainnya).
2. Bahwa kalimat, “Yang diturunkan kepada Sayyidina Muhammad shalla Allah ‘alaih wa sallam,” merupakan kalimat pemisah yang “mengeluarkan” segala firman yang Dia turunkan kepada para nabi selain beliau, seperti Taurat, Injil, seluruh kitab samawi dan suhuf-suhuf.
3. Bahwa kalimat, “Yang bernilai mukjizat (al-mu‘jiz),” merupakan pemisah kedua yang “mengeluarkan” al-Ahadits al-Rabbaniyyah (hadis-hadis qudsi), seperti hadis yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, “Aku ‘sesuai’ prasangka hamba-Ku kepada-Ku.” Lebih lanjut, Abuya menjelaskan:
Baca Juga : Integrasi Ilmu Pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
“Kemudian, pembatasan pada i‘jaz (nilai mukjizat) dalam definisi meskipun Al-Qur’an juga turun untuk nilai-nilai/tujuan-tujuan yang lain adalah karena sisi itulah yang dibutuhkan dalam definisi sebagai pembeda. Oleh karenanya, sisi itulah yang terpenting.”
Artinya, meskipun Al-Qur’an juga turun untuk tujuan lain seperti nasihat-nasihat, hukum-hukum dan tadabbur ayat-ayatnya tetapi dalam perspektif definisi, sisi kemukjizatan lah yang menjadi nilai/tujuan terpenting. Karena sisi itulah yang menjadi pembeda Al-Qur’an atas kitab-kitab suci yang lain. Bukankah Taurat, Injil dan Zabur juga diturunkan sebagai nasihat dan penjelas hukum-hukum Allah? Di sisi lain, bukankah hanya Al-Qur’an yang memiliki nilai kemukjizatan, sehingga seluruh manusia dan jin ditantang untuk mendatangkan yang serupa?
4. Bahwa kalimat, “Dengan satu surah darinya (bi surah minhu),” merupakan batas minimal tercapainya nilai kemukjizatan itu. Tentu kadarnya adalah surah terpendek, seperti surah al-Kautsar. Mengapa batas minimalnya demikian? Mengapa satu ayat Al-Qur’an saja tidak cukup memberi nilai kemukjizatan? Berkenaan dengan hal ini, Abuya menjelaskan:
“Karena di dalam Al-Qur’an, tidak terdapat satu ayat pun yang berdiri sendiri. Sebaliknya, satu ayat menghendaki hubungan keterkaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Oleh karena itu, (batasan minimalnya adalah) 3 ayat (surah terpendek dalam Al-Qur’an).”
Setelah menjelaskan empat poin di atas, Abuya menjelaskan bahwa sebagian ulama ada yang menambahkan kalimat, “Yang bernilai ibadah dengan membacanya (al-muta‘abbad bi tilawatih),” dalam definisi Al-Qur’an. Tujuannya adalah untuk “mengeluarkan” ayat-ayat yang bacaannya telah “dihapus” (mansukh). Di samping itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Syekh Nuruddin ‘Itr, juga untuk “mengeluarkan” bacaan-bacaan Al-Qur’an yang syadz dan hadis-hadis qudsi. Intinya, Al-Qur’an yang kita kenal saat ini, bukan yang lainnya. Sedangkan maksud dari kalimat al-muta‘abbad bi tilawatih sendiri adalah, “Bahwa hanya membaca Al-Qur’an saja tanpa memahaminya sudah merupakan suatu ibadah, yang dengannya seorang mukmin mendapatkan pahala, meskipun ia sendiri tidak berniat memperoleh pahala dengan membacanya,” demikian kurang lebih penjelasan ulama asal Syria itu.
Definisi Surah dan Ayat
Abuya menjelaskan:
“Surah adalah sekumpulan (kalimat/ayat) di dalam Al-Qur’an, yang jumlah minimalnya terdiri dari 3 ayat. Ia diberi nama khusus, berdasarkan arahan langsung dari Nabi shalla Allah ‘alaih wa sallam —dengan sekiranya suatu surah disebut-sebut dan masyhur dengan nama itu.”
Baca Juga : Fenomena Keagamaan: Hijrah Melalui Musik
Sedangkan ayat adalah:
“Sejumlah (kalimat) dari sebuah surah, yang dipisahkan dengan fashilah. Sedangkan fashilah sendiri merupakan sebuah kalimat/kata yang menjadi akhir ayat.”
Sebagai contoh surah al-Fatihah. Sebutan al-Fatihah untuk surah pertama di dalam Al-Qur’an ini diberikan langsung oleh Rasulullah. Ia terdiri dari tujuh ayat yang masing-masing memiliki fashilah (penutup ayat). Fashilah ayat pertama misalnya, berbunyi, “al-Rahim.” Fashilah ayat kedua, berbunyi, “Rabb al-‘Alamin.” Fashilah ayat ketiga, berbunyi, “al-Rahim.” Fashilah ayat keempat berbunyi, “Yaum al-Din,” demikian seterusnya.
Setidaknya ada satu poin penting yang patut digarisbawahi dari penjelasan Abuya di atas. Yakni bahwa penamaan surah-surah di dalam Al-Qur’an itu bersifat tawqifiy, arahan langsung dari Kanjeng Nabi. Selanjutnya, termasuk pula dalam kategori tawqifiy adalah, nama-nama surah yang diberikan oleh sebagian Sahabat dan Tabi‘in. Sebagai contoh surah al-Taubah yang dinamai oleh Hudzaifah RA dengan sebutan al-Fadhihah, dan surah al-Fatihah yang dinamai oleh Ibnu ‘Uyainah RA dengan sebutan al-Wiqayah. Maka, kedua nama ini al-Fadhihah dan al-Wiqayah juga termasuk kategori tawqifiy, sebagaimana dijelaskan oleh al-Syekh Yasin al-Fadani.
Daftar Rujukan
al-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki al-Hasani, Zubdah al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1986), 10-11.
al-Sayyid ‘Alwi bin al-Sayyid ‘Abbas bin al-Sayyid ‘Abdul ‘Aziz al-Makki al-Hasani, Faydl al-Khabir wa Khulashah al-Taqrir ‘ala Nahj al-Taisir Syarah Manzhumah al-Tafsir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2017), 39-43.
Muhammad ‘Abdul ‘Azhim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1995), Vol. 1, 15-17.
Musa‘id bin Sulaiman bin Nashir al-Thayyar, al-Muharrar fi ‘Ulum al-Qur’an (Jeddah: Ma‘had al-Imam al-Syathibi, 2008), 20.
Abi Muhammad ‘Abdillah bin Muslim bin Qutaibah, Tafsir Gharib al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1978), 33.
Manna‘ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, t.t.), 14-16.
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum al-Qur’an al-Karim (Damaskus: Mathba‘ah al-Shabah, 1993), 11-12.