Kaidah dan Faedah Memahami al-Makkiy dan al-Madaniy
Daras TafsirOleh : Khobirul Amru
Dengan mengharap rida Allah SWT dan ilmu yang bermanfaat dan berkah, mari sejenak membaca surah al-Fatihah, untuk penulis kitab Zubdah al-Itqan yang sedang kita kaji bersama, al-Sayyid Muhammad b. 'Alwi al-Maliki. Untuk beliau, al-Fatihah.
Kaidah al-Makkiy dan al-Madaniy
Sebelum membahas tentang faedah mengetahui dan memahami al-Makkiy dan al-Madaniy, Abuya terlebih dahulu menjelaskan "ketentuan" disiplin ilmu ini. Bahwa pengetahuan tentang al-Makkiy dan al-Madaniy itu merujuk pada hafalannya para Sahabat dan Tabi'in. Artinya tidak ada keterangan langsung dari Rasulullah SAW berkenaan dengan ke-makkiyyah-an atau ke-madaniyyah-an suatu surah. Sebaliknya, semua penentuan makkiyyah atau madaniyyah itu bersumber dari hafalan para Sahabat dan Tabi'in. Karena memang Rasulullah SAW tidak diperintahkan untuk menjelaskannya. Di samping itu, Allah SWT juga tidak menjadikannya sebagai hal yang wajib diketahui oleh seluruh umat Islam.
Memang, bagi Ahli Ilmu -khususnya para perumus hukum Islam- diwajibkan mengetahui beberapa rincian disiplin ilmu ini (al-Makkiy - al-Madaniy), agar ia memahami persoalan al-Nasikh dan al-Mansukh. Karena persoalan al-Nasikh dan al-Mansukh itu berkaitan erat dengan konklusi hukum suatu perkara. Akan tetapi, hal itu pun bisa diketahui tanpa nash langsung dari Rasulullah SAW. Demikian lebih kurang penjelasan Abuya dengan mengutip al-Qadhi Abu Bakar dalam al-Intishar-nya.
Belakangan, "ketentuan" terkait sumber al-Makkiy dan al-Madaniy yang disampaikan oleh al-Qadhi Abu Bakar dan dikutip oleh Abuya ini dibakukan menjadi salah satu kaidah Ilmu al-Makkiy dan al-Madaniy. Kaidah itu berbunyi, "al-Makkiy dan al-Madaniy hanya bisa diketahui dengan periwayatannya orang-orang (baca: Sahabat) yang menyaksikan turunnya Al-Qur'an." (Innama yu'rafu al-Makkiy wa al-Madaniy bi naqli man syahadu al-tanzil)
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pentingnya kaidah ini diformulasikan. Untuk lebih memudahkan, beberapa alasan itu setidaknya bisa kita rangkum ke dalam beberapa poin sebagai berikut:
1. Karena Nabi Muhammad SAW tidak diperintahkan untuk menjelaskan persoalan al-Makkiy dan al-Madaniy ini. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya hadis dari beliau -yang bernilai sahih dan dapat dijadikan hujah- yang secara tegas menjelaskan ke-makkiyyah-an atau ke-madaniyyah-an suatu surah.
Baca Juga : Jawa Timur Provinsi Paling Intoleran
2. Karena Allah SWT tidak menjadikan Ilmu al-Makkiy dan al-Madaniy sebagai pengetahuan wajib (fardhu 'ain) bagi umat Islam. Bahwa para perumus hukum Islam wajib mengetahui beberapa rincian dalam ilmu ini, memang tidak dapat dielakkan. Mengingat pada titik tertentu, persoalan al-Makkiy dan al-Madaniy berdampak pada konklusi sebuah hukum. Tetapi hal ini pun pada dasarnya dapat diketahui tanpa nash langsung dari Rasulullah. Yakni dengan cara menelisik sejarah turunnya surah per surah melalui penjelasan para Sahabat dan Tabi'in.
3. Karena para Sahabat menyaksikan betul bagaimana Al-Qur'an diturunkan: mulai dari kapan, dimana hingga berkenaan dengan konteks apa ia turun. Hal ini sebagaimana pengakuan dari salah satu Sahabat yang masyhur dalam disiplin Ilmu Tafsir, 'Abdullah b. Mas'ud RA. Beliau berkata, "Demi Dzat yang tiada tuhan selain-Nya, tidak ada satu ayat pun dari Kitab Allah (Al-Qur'an) yang turun melainkan aku mengetahui: kepada siapa ia turun dan di mana ia turun." Ini sekaligus menggarisbawahi poin sebelumnya; bagaimana mungkin mereka butuh penjelasan Rasulullah SAW terkait status al-Makkiy dan al-Madaniy sebuah surah, sedangkan mereka sendiri nyata-nyata telah menyaksikan langsung bagaimana Al-Qur'an diturunkan?
Terkait poin terakhir ini mungkin ada yang bertanya, "Bagaimana dengan Tabi'in? Mereka kan tidak menyaksikan turunnya Al-Qur'an secara langsung, tetapi mengapa riwayat mereka berkenaan dengan al-Makkiy dan al-Madaniy tetap bisa diterima dan bahkan dapat dijadikan hujah?"
Nah, jawabannya mungkin bisa dianalogikan dengan persoalan Sabab al-Nuzul. Pertama, karena mereka adalah muridnya Sahabat. Tentunya mereka menerima penjelasan seputar al-Makkiy dan al-Madaniy itu dari Sahabat, orang-orang terpilih yang berinteraksi dengan Rasulullah dan turunnya Al-Qur'an. Kedua, penentuan al-Makkiy dan al-Madaniy bukanlah persoalan ijtihadiy, maka tidak mungkin mereka menerka-nerka status makkiy atau madaniy sebuah surah berdasarkan ijtihad sendiri. Apalagi berbagai riwayat membuktikan bahwa mereka sangat berhati-hati dalam permasalahan-permasalahan di luar ijtihad -tak terkecuali al-Makkiy dan al-Madaniy.
Faedah Memahami al-Makkiy dan al-Madaniy
Dari sekian faedah memahami al-Makkiy dan al-Madaniy, dua hal yang disebutkan oleh Abuya, yaitu mengetahui yang nasikh dari yang mansukh dan mengetahui urutan (surah) Al-Qur'an sesuai dengan urutan turunnya. Agar lebih jelas, mari kita kaji dua hal ini lebih lanjut.
1. Mengetahui yang nasikh dari yang mansukhSecara umum dapat dikatakan naskh adalah sebuah khithab/pesan (yang terkandung dalam suatu ayat) yang menunjukkan terhapusnya sebuah hukum secara gradual yang telah diberlakukan oleh khithab/pesan terdahulu. Tegasnya, konotasi "khitab/pesan" di sini mengacu pada dalil syariat, yakni Al-Qur'an dan Hadis. Dengan demikian, nasikh berarti ayat atau hadis yang menghapus ketentuan sebuah hukum, sedangkan mansukh berarti ayat atau hadis yang ketentuan hukumnya dihapus.
Baca Juga : KH. Hasyim Asy’ari: Sang Pemersatu Umat Islam dan Pendiri Nahdlatul Ulama
Bahwa tidak mustahil Al-Qur'an menetapkan hukum A untuk persoalan Z, kemudian setelah beberapa waktu "merubahnya/menghapusnya" menjadi berstatus hukum B. Di samping "dilatarbelakangi" oleh berubahnya konteks yang tidak sepenuhnya sama ketika hukum A ditetapkan, tentu ada banyak hikmah di balik perubahan hukum itu. Bahkan, para ulama menilai naskh ini bagian dari keistimewaan-keistimewaan yang didapatkan oleh umat Nabi Muhammad SAW.
Nah, berhubung nasikh-mansukh ini berkaitan erat dengan perkembangan atau perubahan status hukum, maka pengetahuan seputar al-Makkiy dan al-Madaniy mutlak diperlukan. Karena untuk mengetahui hukum final sebuah persoalan diperlukan kepastian data terkait mana ayat atau hadis yang datang terlebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Bahwa "yang datang kemudian" menghapus ketentuan hukum yang dibawa oleh "yang datang terlebih dahulu". Dan tentunya disiplin Ilmu al-Makkiy dan al-Madaniy menjadi instrumen penting dalam upaya pemastian data historis ini.
Sehubungan dengan hal ini, al-Nahhas berkata, "Kami menyebutkan surah yang turun di Mekkah dan Madinah karena dalam pengetahuan tentangnya terdapat faedah yang luar biasa dalam persoalan nasikh-mansukh. Karena bila ayat itu berstatus makkiyah dan didalamnya terkandung ketetapan hukum, sedangkan di dalam ayat lain yang berstatus madaniyyah terkandung hukum yang berlainan, maka dapat diketahui bahwa yang madaniyyah menghapus hukum yang makkiyyah."
2. Mengetahui urutan surah sesuai masa turunnya
Pendek kata, dengan memahami Ilmu al-Makkiy dan al-Madaniy kita bisa berkata, "Surah yang pertama kali turun adalah surah al-'Alaq, kemudian al-Qalam, al-Muddatstsir yang disusul dengan al-Muzzammil…," dan seterusnya hingga surah terakhir yang diturunkan. Mungkin ada bergumam, "Kalau sudah mengetahui urutan surah sesuai masa turunnya, lantas "dibuat" apa -selain memahami nasikh-mansukh? Toh Al-Qur'an yang kita baca sehari-hari tidak diurutkan berdasarkan masa turunnya."
Jawabannya, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, tentu ada banyak pengetahuan yang bisa digali dengan menelusuri dan memahami surah per surah sesuatu dengan masa turunnya itu. Seperti perkembangan dakwah Islam mulai era Mekkah (sebelum hijrah) hingga Madinah (setelah hijrah); perubahan gaya bahasa Al-Qur'an menyangkut banyak hal, semisal pola interaksi dengan Ahli Kitab dan audien Al-Qur'an secara umum; sejarah munculnya orang-orang munafik; dan lain sebagainya. Bahkan ada banyak orang, baik dari kalangan ulama, akademisi yang bersungguh-sungguh menelaah hal-hal semacam ini, sehingga lahirlah karya-karya seperti Ma'arij al-Tafakkur wa Daqa'iq al-Tadabbur karya al-Syekh 'Abdurrahman Hasan Habannakah, al-Tafsir al-Hadits Tartib al-Suwar Hasb al-Nuzul karya Muhammad 'Izzah Darwazah, Fahm al-Qur'an karya 'Abid al-Jabiriy, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim: Tafsir Atas Surah Pendek Berdasarkan Urutan Wahyu karya M. Quraish Shihab dan Sejarah Kenabian karya Aksin Wijaya.
Referensi
al-Sayyid Muhammad b. al-Sayyid 'Alwi al-Malikiy al-Hasaniy, Zubdah al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1986), 12.------. al-Qawa'id al-Asasiyyah fi 'Ulum al-Qur'an (Jeddah: Fihris, 1424), 87.Jalaluddin al-Suyuthiy, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an (Kairo: Dar al-Salam, 2013), vol. 1, 33.Muhammad 'Abd al-'Azhim al-Zarqaniy, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur'an (t.tp.: Mathba'ah 'Isa al-Babiy al-Halbiy wa Syuraka'ih, 1943), vol. 1, 195-196.Musa'id b. Sulaiman b. Nashir al-Thayyar, al-Muharrar fi 'Ulum al-Qur'an (Jeddah: Ma'had al-Imam al-Syathibiy, 2008), 115.Ahmad Sa'd al-Khatib, Mafatih al-Tafsir (Riyadh: Dar al-Tadmuriyyah, 2010), 899.'Abdurrahman Hasan Habannakah, Qawa'id al-Tadabbur al-Amtsal li Kitab Allah 'Azza wa Jalla (Damaskus: Dar al-Qalam, 2009), 178.