(Sumber : www.alif.id)

Khazanah "Catatan Kaki" Tafsir al-Kasysyaf Karya az-Zamakhsyari

Daras Tafsir

Pendahuluan

  

Tafsir al-Kasysyaf karya az-Zamakshsyari dikenal secara luas di kalangan umat Islam, khususnya para pengkaji tafsir Al-Qur’an di berbagai belahan dunia. Bahkan belakangan saat diskursus keislaman menjadi trend kajian dari kalangan “luar”, gaung Tafsir itu menggemakan suara lantang di telinga para orientalis non-muslim. Memang, pernyataan ini terkesan berlebihan, tapi demikianlah faktanya. Kemasyhurannya bukan hanya dibuktikan oleh keberadaannya yang masih eksis hingga sekarang—kurang lebih 10 abad sejak diproklamirkan oleh az-Zamakhsyari—tetapi ditopang pula oleh banyaknya karya yang secara khusus mengomentari Tafsir tersebut. Karya-karya inilah yang penulis sebut sebagai khazanah “catatan kaki” Tafsir al-Kasysyaf, dan inilah yang akan kita bahas pada artikel kali ini. Secara lebih spesifik, pembahasan kita berfokus pada satu hal, yakni tipologi khazanah “catatan kaki” tersebut berikut serta motif yang melatarinya. Namun sebagai disclaimer, di sini hanya akan ditampilkan beberapa “catatan kaki” berbahasa Arab yang berhasil penulis akses.

  

Sketsa Biografi az-Zamakhsyari

  

Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim Jarulllah Mahmud b. ‘Umar b. Muhammad b. ‘Umar al-Khawarizmi al-Zamakhsyari. Dua kata yang disebut belakangan ini merujuk pada tanah kelahirannya, yakni Khawarizm, salah satu nama daerah di Khurasan, tepatnya desa Zamakhsyar. Sekarang daerah ini masuk dalam wilayah negara Turkmenistan. Sedangkan latar belakang disematkannya gelar Jarullah (“tetangga” Allah) pada az-Zamakhsyari adalah karena masa hidupnya banyak dihabiskan di Makkah al-Mukarramah, tepatnya di Bayt al-Haram.

  

az-Zamakhsyari dilahirkan pada tahun 467 H atau bertepatan dengan tahun 1075 M. Waktu masih kanak-kanak, beliau menderita sakit parah yang mengharuskan salah satu kakinya diamputasi. Ayahnya adalah orang alim di desanya, yang oleh karena itu, az-Zamakhsyari belajar kepada ayahnya sendiri, mulai dari pelajaran dasar membaca, menulis, hingga menghafalkan Al-Qur’an. Setelah dirasa mumpuni, barulah beliau pergi ke kota Khawarizm untuk menuntut ilmu.

  

Di kota Khawarizm, az-Zamakhsyari mengikuti halakah-halakah ilmiah; mendalami ilmu agama kepada masyayikh yang ada di sana, di samping mempelajari pula ilmu-ilmu kebudayaan. Tekad dan kesungguhannya membuahkan hasil yang mengagumkan, karena dalam waktu yang tak cukup lama beliau telah mampu menguasai berbagai macam bidang ilmu seperti Ushul Fiqh, Hadits, Tafsir, Tauhid (Ilmu Kalam), Ilmu Mantik, dan Filsafat. Tetapi rihlah ilmiahnya tidak berhenti di kota Khawarizm. Dahaga keilmuan mendorongnya untuk melakukan lawatan ilmiah ke sejumlah negara yang dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan kala itu, mulai dari Nisabur, Bukhara, Ashfahan, Hamadan, hingga Mesir.

  

Dari sini, tidak heran bila sejarawan mencatat bahwa az-Zamakhsyari memiliki guru berjumlah puluhan, bahkan tidak mustahil ratusan. Beberapa di antaranya ialah Abu Mudhar Mahmud b. Jarir adh-Dhabbi al-Ashfahani an-Nahwi, Abu Bakar ‘Abdullah b. Thalhah b. Muhammad b. ‘Abdullah al-Yabiri al-Andalusi, Abu al-Khithab b. al-Bathar, Abu Sa‘ad asy-Syaqani, Abu Manshur al-Haritsi, dan lain-lain. Tetapi dari nama-nama ini, nama pertama dan kedualah yang memberi pengaruh yang cukup signifikan kepada az-Zamakhsyari. Pertama, Abu Mudhar, salah satu pakar ilmu bahasa dan kedokteran di masanya. Ialah ulama yang membawa mazhab Mu\'tazilah di kota Khawarizm, dan dari beliaulah az-Zamakhsyari menekuni paham-paham Muktazilah. Kedua, Abu Bakr al-Yabiri, ulama pakar nahwu, ushul dan fikih. az-Zamakhsyari belajar Kitab Sibawaih kepadanya sewaktu mukim di Makkah.

  

az-Zamakhsyari meninggal dunia pada malam ‘Arafah tahun 538 H/1144 M di Jurjan, Khawarizm. Beliau mewariskan banyak karya, di antaranya Tafsir al-Kasysyaf, Diwan al-‘Arab, Rabi‘ al-Abrar, Asas al-Balaghah, A‘jab al-‘Ujab fi Syarh Lamiyat al-‘Arab, al-Anmudzaj fi an-Nahw, an-Nasha’ih al-Shighar, al-Fa’iq fi Gharib al-Hadits, Maqamat az-Zamakhsyari, dan Nawabi‘ al-Kalam fi al-Lughah.


Baca Juga : Bukti Toleransi Agama dan Politik Di Indonesia

  

Potret Tafsir al-Kasysyaf

  

Tafsir ini berisi sekitar 2.000 halaman dengan ukuran kertas besar yang terkumpul dalam 4 jilid. Salah satu percetakan, yakni Dar Intisyarat Afthab, Teheran, menghimpun karya Ibn al-Munayyir yang berjudul al-Intishaf fi ma Tadhammanahu al-Kasysyaf min al-I‘tizal bersama Tafsir al-Kasysyaf, diletakkan di bagian garis tepi. Pola penafsiran Tafsir ini mengikuti pola penafsiran yang “umum” digunakan pada waktu itu, yaitu menafsirkan ayat demi ayat, juz demi juz, sesuai dengan urutan surah dalam Mushaf ‘Utsmani—belakangan pola ini disebut sebagai pola tahlili atau mushafi. Konon beliau menulisnya selama dua tahun setengah sewaktu mukim di Makkah.

  

az-Zamakhsyari sering kali menggunakan metode tanya-jawab dalam penafsirannya atas ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya, “Huruf ba’ (yang terdapat pada basmalah) berkaitan dengan kalimat apa?”; “Mengapa kaitan huruf ba’ diasumsikan terletak di akhir basmalah?”; “Apa makna sifat rahmat yang disandang oleh Allah SWT?”; “Jika memang sifat rahman lebih sempurna (baligh) daripada sifat rahim, lantas mengapa sifat rahman disebut terlebih dahulu, padahal secara logika mestinya disebut secara gradual yakni dari yang paling rendah (al-adna) ke yang paling tinggi (al-a‘la)?; dan lain sebagainya.

  

Bila kita menelaah Tafsir al-Kasysyaf dengan saksama, tentu akan ada banyak hal yang perlu kita catat. Tetapi dalam konteks bahasan kita kali ini, nampaknya cukup dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, bahwa penafsiran az-Zamakhsyari cenderung bercorak kebahasaan dengan berbagai aspeknya, mulai dari morfologi, sintaksis, semantik, hingga stilistika. Beliau sangat piawai dalam menelaah dan menampilkan keindahan bahasa Al-Qur’an, baik kata, frasa, maupun kalimat-kalimatnya. Dalam hal ini, beliau menggubah syair seraya tahadduts bi an-ni‘mah:

  

Sungguh, jumlah tafsir di bumi ini (berlimpah), tak terkira

Namun demi umurku! Di sana tak ada satupun yang menyamai Kasysyaf-ku

Jika engkau mencari hidayah, maka senantiasalah membacanya

Karena kebodohan bagaikan cacat, sementara al-Kasysyaf seperti obat

  

Kedua, bahwa Mazhab Muktazilah yang dianut oleh az-Zamakhsyari sedikit-banyak mempengaruhi penafsiran-penafsirannya. Tak jarang beliau menakwilkan ayat-ayat sesuai dengan paham-paham Muktazilah di satu sisi, dan menyerang paham-paham lain seperti Asy‘ariyah-Maturidiyah di sisi lain. Hal ini diakui oleh para ulama sehingga mereka memberikan semacam “peringatan” bagi siapapun yang hendak membaca Tafsir al-Kasysyaf, khususnya kalangan awam. adz-Dzahabi misalnya, menyatakan, “Ia (az-Zamakhsyari) adalah orang saleh, akan tetapi ia mengajak pada paham Muktazilah—semoga Allah menyelamatkan kita. Oleh karenanya, berhati-hatilah ketika membaca al-Kasysyaf-nya.”


Baca Juga : Yuvika Farnaz Adzkiya: Gadis Kecilku

  

Dua hal inilah yang menjadi titik awal bagi senarai “catatan kaki” yang diberikan oleh para ulama lintas zaman atas Tafsir al-Kasysyaf.

  

Tipologi “Catatan Kaki” Tafsir al-Kasysyaf

  

Secara umum, khazanah “catatan kaki” Tafsir al-Kasysyaf dapat dikategorikan dalam dua tipe berikut ini:

  

Pertama, komentar. Format “catatan kaki” jenis ini beragam. Ada yang berupa komentar utuh-komprehensif, seperti komentar yang ditulis oleh Syarafuddin al-Husain b. ‘Abdullah ath-Thayyibi berjudul Futuh al-Ghayb fi al-Kasyf ‘an Qana‘ ar-Rayb. Karya yang lazim disebut Hasyiyah ath-Thayyibi ‘ala al-Kasysyaf ini mengomentari kata demi kata atau kalimat demi kalimat yang tertera dalam al-Kasysyaf, persis seperti Hasyiyah ash-Shawi ‘ala al-Jalalayn. Hanya saja komentar ath-Thayyibi atas al-Kasysyaf lebih panjang, mirip Hasyiyah al-Qunawi ‘ala al-Baydhawi. Bila Hasyiyah yang disebut terakhir diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah dalam 20 volume, maka Hasyiyah ath-Thayyibi diterbitkan oleh Ja’izah Dubay ad-Dawliyyah li al-Qur’an al-Karim dalam 17 volume.

  

Ada juga komentar khusus berkaitan dengan hadis-hadis dan atsar-atsar yang terdapat dalam al-Kasysyaf. Sebagai contoh, Takhrij al-Ahadits wa al-Atsar al-Waqi‘ah fi Tafsir al-Kasysyaf li az-Zamakhsyari karya Abi Muhammad b. Yusuf b. Muhammad az-Zayla‘i, dan al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadits al-Kasysyaf karya al-Hafizh Ahmad b. Hajar al-‘Asqalani. Ada pula komentar khusus berkaitan dengan argumen-argumen syair yang dikutip oleh az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf, seperti Masyahid al-Inshaf ‘ala Syawahid al-Kasysyaf yang ditulis oleh Muhammad ‘Ulyan al-Marzuqi asy-Syafi‘i.

  

Selain itu, ada juga ulama yang secara khusus mengomentari paham-paham Muktazilah yang tertuang dalam al-Kasysyaf. Yang paling terkenal dan dikaji di pesantren-pesantren karena sering kali dicetak bersamaan dengan al-Kasysyaf (diletakkan di bagian pinggir atau catatan kaki) ialah al-Intishaf karya Ahmad b. Muhammad atau yang masyhur dikenal dengan Ibn al-Munayyir, seorang ulama asal Alexandria, Mesir. Belakangan, karya Ibn al-Munayyir ini dikaji ulang oleh Shalih b. Gharam al-Ghamidi dan dijadikan sebagai sumber primer bagi karyanya yang terdiri dari dua volume itu, al-Masa’il al-I‘tizaliyyah fi Tafsir al-Kasysyaf li az-Zamakhsyari fi Dhau’ Ma Warada fi Kitab al-Intishaf li Ibn al-Munayyir. Di samping Ibn al-Munayyir, Abu ‘Ali ‘Umar b. Muhammad as-Sakuni al-Maghribi juga menulis komentar serupa, dengan judul at-Tamyiz li ma Awda‘ahu az-Zamakhsyari min al-I‘tizal fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz.

  

Kedua, ringkasan. “Catatan kaki” jenis ini berusaha menghilangkan paham-paham Muktazilah dalam Tafsir al-Kasysyaf, sembari menampilkan penafsiran-penafsiran az-Zamakhsyari dalam format yang lebih sederhana. Tujuannya jelas: agar kemanfaatan Tafsir al-Kasysyaf dapat diakses oleh semua kalangan, termasuk kaum awam dan para pelajar pemula. Ada beberapa ulama yang menulis “catatan kaki” jenis ini, di antaranya Muhammad b. ‘Ali al-Anshari, Nashiruddin al-Baydhawi dengan karyanya yang berjudul Anwar at-Tanzil, Quthbuddin asy-Syaqar dengan Taqrib at-Tafsir-nya yang kelak diberi komentar oleh al-Arzanjani, al-Mawla Majduddin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Zadah al-Hanafi, al-Mawla ‘Abdul Awwal atau yang lebih dikenal Ummu Walad, dan ‘Ali ath-Thusi dengan Jawami‘ al-Jawami‘-nya.

  


Baca Juga : Perlukah Pencantuman Kolom Agama dalam Kartu Tanda Penduduk?

Sebagai contoh, Anwar at-Tanzil karya al-Baydhawi atau yang lebih akrab disebut Tafsir al-Baydhawi. Berdasarkan keterangan yang ditulis oleh ‘Abdullah Mahmud dengan mengutip penjelasan Haji Khalifah, diketahui bahwa dalam Tafsir tersebut al-Baydhawi meringkas penafsiran-penafsiran az-Zamakhsyari khususnya yang berkaitan dengan i‘rab, ma‘ani dan bayan. Sedangkan yang berkaitan dengan hikmah dan ilmu kalam, beliau kutip dari at-Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin ar-Razi; dan yang berkenaan dengan isytiqaq, beliau kutip dari ar-Raghib al-Ashfahani.

  

Contoh lain, Taqrib at-Tafsir karya Quthbuddin asy-Syaqar. Adalah ‘Abdullah b. Sanad ar-Rahili yang menelaah manuskrip karya tersebut dan menjadikannya sebagai objek penelitian bagi tesisnya yang diajukan pada Kulliyyat al-Qur’an al-Karim wa ad-Dirasat al-Islamiyyah, Universitas Islam Madinah. Pada bagian mukadimah, ar-Rahili menggarisbawahi tiga hal penting berkenaan dengan metode penafsiran asy-Syaqar. Pertama, meringkas kalimat-kalimat az-Zamakhsyari yang tertuang dalam Kasysyaf-nya. Kedua, menghilangkan paham-paham Muktazilah secara total atau mengutip lalu mengkritiknya. Ketiga, menulis penjelasan-penjelasan tambahan yang tidak terdapat dalam al-Kasysyaf, baik berkenaan tentang analisis tafsir, nahwu, balaghah, maupun fikih.

  

Penutup

  

Meski paham-paham Muktazilah mewarnai Tafsir al-Kasysyaf, tetapi hal itu tidak menghalangi para ulama mengambil faedah-faedah darinya. Beliau berjasa besar dalam memperkaya khazanah tafsir Al-Qur’an, baik melalui karyanya sendiri maupun karya-karya ulama lain lintas zaman yang terinspirasi oleh karyanya. Kenyataan ini bisa dilihat oleh siapapun yang membaca lembaran-lembaran tafsir yang ditulis oleh para mufasir pasca az-Zamakhsyari. Agaknya sisi inilah yang perlu kita teladani. Yakni betapapun ketidakcocokan kita kepada seseorang atau sebuah karya, mestinya tidak menghalangi kita untuk mengambil faedah darinya. Ibarat sebuah rumah yang berisi batu dan mutiara, cukuplah bagi kita mengambil mutiaranya. Adalah sikap yang tak wajar bila kita menjelek-jelakkan rumah itu hanya gara-gara sejumlah batu yang menghiasinya, apalagi membakar dan memusnahkan si rumah dan pemiliknya.

  

Daftar Rujukan

  

Shalah ‘Abdul Fattah al-Khalidi, Ta‘rif ad-Darisin bi Manahij al-Mufassirin (Damaskus: Dar al-Qalam, 2008), 532.

  

Khayruddin az-Zirikli, al-A‘lam: Qamus Tarajim li Asyhar ar-Rijal wa an-Nisa’ min al-‘Arab wa al-Musta‘ribin wa al-Mustasyriqin, Vol. 7 (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 2002), 178.

  

Muhammad ‘Ali Iyazi, al-Mufassirun: Hayatuhum wa Manhajuhum (Teheran: Wazarat ats-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islami, t.t.), 958-959.


Baca Juga : Peran Habib Rizieq Shihab Dalam Membentuk Ideologi FPI

  

Fadhil Shalih as-Samara’i, ad-Dirasat an-Nahwiyyah wa al-Lughawiyyah ‘inda az-Zamakhsyari (Baghdad: Mathba‘ah al-Irsyad, 1971), 15-16, 94-95.

  

Muhammad as-Sayyid Jibril, Madkhal ila Manahij al-Mufassirin (Kairo: Jami‘ah al-Azhar, 2009), 191.

  

Mani‘ ‘Abdul Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishri, Beirut: Dar al-Kutub al-Banani, 2000), 106.

  

‘Abdul ‘Aziz ‘Izzuddin asy-Syayrawan, Mu‘jam Thabaqat al-Huffazh wa al-Mufassirin ma‘a Dirasat ‘an al-Imam as-Suyuthi wa Ma’allafatih (t.tp,: ‘Alam al-Kutub, 1984), 290.

  

Ibrahim ‘Iwadh, Min al-Thabari Ila Sayyid Quthb: Dirasat fi Manahij at-Tafsir wa Madzahibih (t.tp.: Dar al-Firdaus li ath-Thiba‘ah, 2010), 149.

  

Jarullah Abi al-Qasim Mahmud b. ‘Umar az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Ghawamidh at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil, Vol. 1 (Riyadh: Maktabah al-‘Abikan, 1998), 100-110.

  

Fathimah Muhammad Mardini, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Suriah: Bayt al-Hikmah, 2009), 92.

  


Baca Juga : Dampak Pengalaman Belajar Anak Saat Learn From Home

Muhammad b. ‘Abdur Rahman al-Maghrawi, al-Mufassirun Bayna at-Ta’wil wa al-Itsbat fi Ayat ash-Shifat (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 722-723.

  

‘Abdullah Mahmud Muhammad ‘Umar, “Muqaddimah” dalam ‘Ishamuddin Isma‘il b. Muhammad al-Hanafi, Hasyiyah al-Qunawi ‘ala Tafsir al-Imam al-Baydhawi, Vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), 3-4.

  

‘Abdullah b. Sanad b. Rasyid ar-Rahili, at-Taqrib fi at-Tafsir li al-‘Allamah Muhammad b. Mas‘ud as-Sayrafi min Awwal Surah al-Mu’minun ila Akhir Surah Shad: Dirasah wa Tahqiq (Tesis—Universitas Islam Madinah, t.t.), 29-30.

  

Syarafuddin al-Husain b. ‘Abdullah ath-Thayyibi, Futuh al-Ghayb fi al-Kasyf ‘an Qana‘ ar-Rayb, Vol. 1 (Dubai: Ja’izah Dubay ad-Dawliyyah li al-Qur’an al-Karim, 2013).

  

Abi Muhammad ‘Abdillah b. Yusuf b. Muhammad az-Zayla‘i, Takhrij al-Ahadits wa al-Atsar al-Waqi‘ah fi Tafsir al-Kasysyaf li az-Zamakhsyari (Arab Saudi: Wazarat asy-Syu’un al-Islamiyyah wa al-Awqaf wa ad-Da‘wah wa al-Irsyad, 2003).

  

Shalih b. Gharam al-Ghamidi, al-Masa’il al-I‘tizaliyyah fi Tasir al-Kasysyaf li az-Zamakhsyari fi Dhau’ Ma Warada fi Kitab al-Intishaf li Ibn al-Munayyir (Hail: Dar al-Andalus li an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 1998).

  

Abi ‘Ali ‘Umar b. Muhammad b. Hamd b. Khalil as-Sakuni al-Maghribi al-Maliki, at-Tamyiz li ma Awda‘ahu az-Zamakhsyari min al-I‘tizal fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005).

  

https://en.wikipedia.org/wiki/Izmukshir (diakses pada Sabtu, 9 September 2022).