Makna Kehidupan Dunia Bagi Mereka Yang Lengah: Telaah al-Hadid [57]: 20 Perspektif Tafsir Al-Mishbah
Daras TafsirPendahuluan
Perbedaan sikap manusia terhadap “sesuatu”, apapun itu, seringkali dilatarbelakangi oleh perbedaan mereka dalam menilai, memandang dan memahami “sesuatu” tersebut. Kekayaan alam misalnya, bila Anda pandang sebagai objek komersial semata, Anda tidak akan segan-segan mengeksploitasinya demi atas nama kesejahteraan manusia tanpa mengindahkan dan mempertimbangkan sedikit pun kerusakan ekosistem yang diakibatkannya. Sebaliknya, bila Anda memandangnya sebagai “mitra” atau bahkan “ibu”, Anda akan berpikir seratus kali sebelum memutuskan kebijakan menyangkut pemberdayaan alam. Anda menyadari betul bahwa meskipun alam berperan sebagai “mitra” yang dapat mensejahterakan kehidupan, tetapi eksploitasi yang berlebihan-ngawur terhadapnya terbukti justru menyengsarakan jutaan umat manusia.
Sampai di sini, telaah surah al-Hadid ayat ke-20 menemukan urgensinya. Ia mengajak kita merenungkan kembali makna kehidupan dunia, agar sikap kita terhadapnya tidak salah arah. Lebih tepatnya, ia mengingatkan kepada kita makna kehidupan dunia bagi mereka yang lengah. Dengan adanya peringatan ini, kita diharapkan agar lebih peka, menyadari dan fokus pada peran, tugas dan kewajiban kita di pentas kehidupan dunia ini.
Gambaran Umum Surah al-Hadid [57]: 20
Surah al-Hadid tergolong surah madaniyyah, yakni diturunkan pasca Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Menurut perhitungan ulama Kufah dan Bashrah, surah ini berjumlah 29 ayat, sedangkan menurut yang lain berjumlah 28 ayat. Lebih lanjut, al-Fayruz Abadi menjelaskan bahwa dalam surah ini terdapat 544 kata dan 2.476 huruf. Adapun kandungannya, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Ali al-Shabuni, berkisar pada tiga hal:
Pertama, bahwa seluruh alam semesta adalah milik Allah SWT. Dialah Dzat yang menciptakan dan mengatur segala urusan yang ada di sana sesuai dengan kehendak-Nya.
Kedua, kewajiban mengorbankan jiwa dan segala hal yang dianggap berharga oleh manusia, dalam rangka mengagungkan dan meluhurkan agama Allah.
Ketiga, menggambarkan hakikat dunia dengan segala keindahan dan perhiasannya yang menipu, agar manusia tidak terlena olehnya.
Baca Juga : Pendidikan dan Pekerjaan: Salah Kaprah yang Perlu Diperbaiki
Pada titik ini, berkenaan dengan ayat ke-20 yang menjadi fokus pembicaraan kita, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini membicarakan tentang makna kehidupan dunia bagi mereka—manusia—yang lalai, yakni yang pandangannya terbatas pada “di sini” dan “sekarang”. Terjemah atau makna ayat ini sendiri kurang lebih sebagai berikut:
Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. (Perumpamaannya adalah) seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, lalu menguning dan kamu lihat menguning, kemudian hancur. Di akhirat ada azab yang keras serta ampunan dari Allah dan keridaan-Nya. Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya.
Mari kita ulas lebih lanjut makna kehidupan dunia bagi mereka yang lengah itu, dengan mengacu pada surah al-Hadid ayat ke-20 ini.
Varian Makna Kehidupan Dunia
Pertama, permainan dan kelengahan (la‘ib wa lahw). Secara bahasa, kata la‘ib berasal dari kata al-lu‘ab yang berarti ludah yang mengalir (al-buzaq al-sa’il). Dari sini, bila seseorang melakukan la‘ib, maka itu berarti ia melakukan aktivitas tanpa adanya tujuan yang benar-wajar (baca: sia-sia), bagaimana pun bentuk aktivitas tersebut. Dengan kata lain, makna asal yang terkandung dalam kata la‘ib “dipinjam” untuk menggambarkan aktivitas yang demikian itu.
Sedangkan al-lahw, secara bahasa berarti sesuatu yang menyibukkan manusia sehingga ia lupa atau lalai dari sesuatu yang lebih penting-urgen. Dari sini ia dipahami sebagai kegiatan yang menyenangkan hati, tetapi tidak atau kurang penting sehingga melengahkan pelakunya dari hal-hal yang penting atau yang lebih penting.
Demikianlah makna kehidupan dunia bagi manusia yang lengah, sehingga tidak heran bila aktivitas berkutat pada hal-hal yang menyenangkan hati, menguras energi dan menghabiskan waktu, tetapi tidak memberikan kemanfaatan sedikit pun bagi keberlangsungan kehidupannya kelak di akhirat. Tentu ini menjadi pengingat bagi kita, bahwa jangan sampai aktivitas yang kita lakukan—apapun itu—hanya berorientasi pada kesenangan dan atau kemanfaatan sementara yang tidak ada relevansinya sama sekali dengan syariat. Ketika njagong bersama teman-teman karib atau sanak famili misalnya, alih-alih sekadar njagong tanpa tujuan-orientasi yang “wajar”, semestinya kita niatkan untuk hal-hal baik yang telah diajarkan oleh para ulama, seperti menyenangkan hati orang lain, membantu menyelesaikan problem yang mereka hadapi, menyambung silaturahim dan lain sebagainya. Ini penting karena, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya nilai amal-aktivitas-kegiatan itu sesuai dengan niatnya (Innama al-a‘mal bi al-niyat).”
Baca Juga : Konsepsi Ferdinand de Saussure: Sosiolinguistik untuk Kajian Agama
Kedua, perhiasan dan bermegah-megahan (zinah wa tafakhur). Kata zinah secara bahasa berarti sesuatu yang tidak memberi aib atau cacat saat seseorang memakainya, baik di dunia maupun di akhirat. Secara umum, menurut al-Raghib al-Ashfahani, zinah atau yang biasa diterjemahkan dengan “perhiasan” itu ada tiga jenis, yakni (1) perhiasan diri-jiwa, seperti ilmu dan keyakinan-keyakinan yang baik; (2) perhiasan jasmani, seperti kuat dan postur tubuh yang tinggi-ideal; dan (3) perhiasan luar, seperti harta dan kedudukan-pangkat.
Sedangkan kata tafakhur, berasal dari kata fakhr yang bermakna bangga, berbesar hati, sombong atau angkuh. Ia diikutkan timbangan (baca: wazan) tafa‘ala yang salah satu fungsinya adalah memberi makna “kesalingan”. Oleh karenanya, kata tafakhur yang merupakan bentuk mashdar dari tafakhara itu diartikan dengan bermegah-megahan, karena ia mengandung sikap saling membangga-banggakan.
Habib Quraish Shihab mempertegas lebih lanjut makna dua kata yang terdapat dalam surah al-Hadid [57]: 20 di atas. Ia mengimbuhkan kalimat “yang mengantar kepada dengki dan iri hati” saat menuliskan “perhiasan dan bermegah-megah antara kamu”. Artinya, bagi mereka yang lengah, kehidupan dunia hanyalah perhiasan dan bermegah-megahan. Dan itu menimbulkan rasa dengki dan iri hati di antara mereka.
Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhayli, lain lagi. Menurutnya, “perhiasan” itu identik dengan kebiasaan kaum hawa. Mereka berusaha “menyempurnakan” kekurangan yang tampak pada diri mereka. Tidak hanya itu, mereka pun saling berbangga-bangga dengan sifat-sifat yang fana, seperti nasab, kemampuan materi, kemampuan jasmani, banyak pengikut, kedudukan yang prestisius dan lain sebagainya.
Sampai di sini, ibrah yang bisa kita petik adalah sudah semestinya kita mensyukuri “kelebihan” yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepada kita, baik kelebihan itu bersifat diri-jiwa, jasmani maupun luar—merujuk pada keterangan al-Raghib al-Ashfahani di atas—bukan malah membangga-banggakannya. Hal ini karena sejatinya, kelebihan-kelebihan itu tidak lahir dari rahim kemampuan dan kekuasaan kita semata. Bukankah wajah yang rupawan misalnya, tidak terbentuk atas kemauan kita? Kalau pun ada “kelebihan” yang kita anggap sebagai hasil dari usaha, seperti ilmu yang luas dan kedudukan terhormat, maka pada hakikatnya itu juga tidak terlepas dari anugerah dan kemurahan-Nya. Sewaktu-waktu Dia berkuasa mencabutnya.
Ketiga, berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan keturunan (takatsur fi al-amwal wa al-awlad). Bahwa bagi mereka yang lengah serta perhatiannya hanya tertuju pada “di sini” dan “sekarang”, kehidupan dunia adalah ajang perlombaan banyaknya harta dan keturunan. Mereka mengerahkan segenap usaha untuk memperbanyak harta lalu membangga-banggakannya sehingga berdampak pada persaingan yang tidak sehat. Di samping itu, mereka pun juga membangga-banggakan kesuksesan anak-anak keturunan mereka. Padahal, itu semua hanya bersifat sementara dan tidak kekal.
Seperti sebelumnya, di sini kita diingatkan sekali lagi terkait sikap yang semestinya kita tampilkan saat berinteraksi dengan nikmat-nikmat Allah SWT, khususnya harta dan keturunan. Adalah fenomena umum di masyarakat, membanggakan banyaknya harta dan suksesnya keturunan di hadapan orang lain. Padahal pasca ajal menjemput, kedua hal tersebut sama sekali tidak memberikan manfaat selama keduanya tidak diiringi dengan kesalehan. Bukankah Nabi SAW telah bersabda, “Tatkala anak cucu Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang senantiasa mendoakannya”?
Peringatan
Baca Juga : Politik Kleptomania
Frasa terakhir pada ayat ke-20 surah al-Hadid di atas mengingatkan kita agar tidak terpedaya oleh gemerlapan duniawi, “Dan tidaklah kehidupan dunia kecuali hanya kesenangan (sementara) yang menipu.” Kesenangan yang diperoleh itu bukan substansi dari hal-hal tersebut, tetapi kesenangan itu lahir dari faktor luar yang sifatnya negatif, yakni tipu daya dan pengelabuan yang melengahkan. Demikian kurang lebih penjelasan Habib Quraish Shihab dalam Tafsirnya.
Perspektif Lain
Dalam surah al-Hadid [57]: 20 di atas, setidaknya terdapat lima kata kunci yang berhubungan dengan kehidupan dunia, yakni la‘ib (permainan), lahw (kelengahan), zinah (perhiasan), tafakhur (berbangga-bangga) dan takatsur fi al-amwal wa al-awlad (memperbanyak harta dan anak). Nah, menurut sebagian mufasir seperti Rasyid Ridha dan Thabathaba’i, lima kata kunci ini menggambarkan awal perkembangan manusia hingga mencapai kedewasaan dan kematangan serta ketuaannya. La‘ib (permainan) adalah gambaran keadaan bayi yang merasakan lezatnya permainan walau ia sendiri melakukannya tanpa tujuan apa-apa kecuali bermain. Sedangkan al-lahw (kelengahan) merupakan gambaran keadaan kanak-kanak, karena “kelengahan” itu tidak dapat dilakukan kecuali bagi mereka yang telah memiliki—walau sedikit—pikiran.
Selanjutnya, zinah (perhiasan) adalah gambaran kebiasaan kaum remaja. Mereka gemar bersolek dan berhias agar terlihat “sempurna” atau “menarik” di hadapan orang lain. Lalu disusul oleh tafakhur (berbangga-bangga), karena demikianlah sifat kawula pemuda. Terakhir, tafakhur fi al-amwal wa al-awlad (memperbanyak harta dan anak) adalah gambaran sifat orangtua atau kaum dewasa. Ketika bertemu dengan teman sebaya misalnya, mereka gemar membanding-bandingkan dan membangga-banggakan pencapaian harta dan keturunan mereka.
Penutup
Perlu digarisbawahi, sebagaimana tercermin dari judul yang penulis pilih, bahwa uraian di atas bertitik tolak dari penjelasan Habib Quraish Shihab di dalam Tafsirnya, al-Mishbah—meskipun tentu saja pola perujukan yang penulis lakukan tidak rigid. Artinya boleh jadi, bahkan sangat mungkin, Anda menemukan perspektif lain terkait makna surah al-Hadid ayat ke-20 itu, selain perspektif yang telah dipaparkan. Mufasir Indonesia yang memperoleh penghargaan dari almamaternya, Al-Azhar, itu pun telah menyinggung hal ini. Beliau menuliskan, “Sementara ulama memahami ayat ini sebagai penilaian Al-Qur’an tentang kehidupan duniawi. Penulis cenderung memahaminya menguraikan makna kehidupan dunia bagi mereka yang lengah—sesuai dengan konteks ayat.” Di sisi lain, toh berbagai perspektif itu justru semakin meneguhkan kebenaran dan keuniversalan Al-Qur’an. Kandungannya takkan pernah kering apalagi usang. Ia hammalat al-wujuh, dapat menampung berbagai perspektif dan senantiasa shalih li kulli zaman wa makan. Wallahu A‘lam.
Daftar Rujukan
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 798.
Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafasir, Vol. 3 (Kairo: Dar al-Shabuni, t.t.), 310.
Majd al-Din Muhammad b. Ya‘qub al-Fayruz Abadi, Basha’ir Dzawi al-Tamyiz fi Latha’if al-Kitab al-‘Aziz, Vol. 1 (Kairo: Lajnah Ihya’ al-Turats al-Islami, 1996), 453.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 3 (Tangerang: Lentera Hati, 2017), 438-443.
______, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 13 (Tangerang: Lentera Hati, 2017), 393-394.
Abi al-Qasim al-Husein b. Muhammad al-Ma‘ruf bi al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an (Kairo: Dar Ibn al-Jawzi, 2012), 240-241, 498, 503.
Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari‘ah wa al-Manhaj, Vol. 14 (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), 348-349.