(Sumber : www.albawaba.com)

Maqashid al-Suwar: al-Baqarah

Daras Tafsir

Status Surah

  

Konsensus ulama menyatakan bahwa surah al-Baqarah berstatus madaniyah. Di antara tokoh generasi awal yang menyatakan hal ini ialah ‘Abd Allah b. ‘Abbas, ‘Abd Allah b. al-Zubayr, al-Hasan al-Bashri, Mujahid, ‘Ikrimah, Jabir b. Zayd, Qatadah dan Muqatil. Tetapi meski demikian, tidak ditemukan informasi pasti terkait detail turunnya surah ini. Sebagian riwayat menginformasikan bahwa ia turun pada tahun pertama hijriah, sebagian lain kedua hijrah, dan sebagian lain hanya menegaskan bahwa ia termasuk salah satu surah yang pertama kali turun di Madinah (min awa’il al-suwar allati tanzil bi al-Madinah).

  

Mufasir ternama dari Tunisia, al-Syeikh al-Thahir b. ‘Asyur, dalam pembukaan tafsirnya atas surah al-Baqarah mengulas dua hal penting terkait hal ini—detail waktu turunnya surah al-Baqarah. Pertama, dalam surah ini terdapat perintah kewajiban puasa Ramadan, sedangkan ibadah puasa sendiri telah ditetapkan pada tahun pertama Hijriah, yakni puasa ‘Asyura’ (tanggal 9 Muharram). Kemudian pada tahun kedua Hijriah barulah turun perintah kewajiban puasa Ramadan, karena Nabi SAW berpuasa Ramadan sebanyak sembilan kali, dimulai pada tahun kedua Hijriah. Dengan demikian, surah al-Baqarah (bisa diasumsikan) turun di akhir-akhir tahun pertama atau di tahun kedua Hijriah.

  

Kedua, al-Bukhari dalam Shahih-nya menuliskan riwayat dari Umm al-Mu’minin ‘Aisyah RA yang menyatakan, “Tidaklah surah al-Baqarah turun, melainkan aku (telah) di sisinya (Nabi SAW).” Sejarah mencatat bahwa pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah berlangsung pada bulan Syawal tahun pertama Hijriah; informasi lain menyebut permulaan tahun kedua Hijriah. Walhasil, terlepas dari perbedaan pendapat yang ada, turunnya surah al-Baqarah di tahun-tahun pertama periode Madaniyah didukung oleh sejumlah argumen yang meyakinkan.

  

Lantas bagaimana dengan ayat ke-281, bukankah menurut sebagian pendapat ayat itu merupakan ayat terakhir yang turun kepada Rasulullah SAW, bahkan sejumlah ulama menyatakan bahwa pendapat ini berstatus ijmak? Demikian pula dengan ayat riba (ayat ke-282), sejumlah ulama menginformasikan bahwa ayat itu termasuk ayat-ayat terakhir yang turun kepada Rasulullah SAW?

  

Jawabannya, menurut Ibn ‘Asyur, ialah turunnya sebuah ayat atau sekelompok ayat dalam sebuah surah pada periode terakhir Madaniyah, misalnya, tidak menghalangi/menggugurkan kenyataan bahwa permulaan surah tersebut telah turun pada periode awal Madaniyah. Oleh karenanya, saat surah al-Baqarah turun pada tahun pertama atau kedua Hijriah, sangat mungkin bagian-bagiannya secara berangsur-angsur masih turun kepada Rasulullah hingga beberapa tahun setelahnya. Dengan kata lain, sangat mungkin surah al-Baqarah tidak diturunkan sekaligus, satu surah secara utuh, tetapi bagian demi bagian secara berangsur-angsur. Bukankah hal ini juga terjadi pada surah-surah yang lain, meski tentu saja rentang waktunya berbeda-beda?

  

Fadilah Surah

  

Sebagaimana surah al-Fatihah, ada puluhan riwayat yang menegaskan keutamaan surah al-Baqarah. Tetapi dalam artikel sederhana ini, kita mencukupkan pada tiga riwayat saja. Pertama, hadis marfu‘ yang diriwayatkan oleh Muslim, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i, dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda:


Baca Juga : Label Halal di Era Modern

  

Jangan jadikan rumah-rumah kalian (seperti) kuburan. Sungguh setan lari tunggang-langgang dari rumah yang di dalamnya dibacakan surah al-Baqarah.

  

Kedua, hadis marfu‘ yang diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam Shahih-nya, dari Sahl b. Sa‘d RA. Beliau berkata, “Rasulullah SAW bersabda:

  

Sungguh, segala sesuatu memiliki puncak; dan puncaknya Al-Qur’an adalah surah al-Baqarah. Barang siapa membaca surah itu di rumahnya pada malam hari, niscaya setan tidak akan memasuki rumahnya selama tiga malam; dan barang siapa membacanya pada siang hari, niscaya setan tidak akan memasuki rumahnya selama tiga hari.”

  

Ketiga, sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid al-Qasim b. Salam dalam karyanya, Fadha’il al-Qur’an, bahwa Rasulullah SAW ditanya oleh salah seorang sahabat, “Tidakkah engkau melihat Tsabit b. Qais b. Syamas, kemarin rumahnya terus-menerus menyinarkan pelita-pelita?” Beliau menjawab:

  

Boleh jadi ia telah membaca surah al-Baqarah.

  

Saat Tsabit ditanya, ternyata benar. Tsabit menjawab, “Aku telah membaca surah al-Baqarah.”

  

Nama Surah

  


Baca Juga : Pesan Damai dalam Khutbah Pedesaan

al-Fayruz Abadi menerangkan bahwa surah ini memiliki empat nama: surah al-Baqarah, surah al-Kursi, Sanam al-Qur’an dan al-Zahra’. Nama pertama, merujuk pada sejumlah riwayat marfu‘. Dengan kata lain, nama ini diberikan langsung oleh Nabi SAW, sebagaimana terlihat dalam tiga riwayat di atas. Menurut al-Syeikh al-Amin al-Harari, penamaan ini adalah untuk menghidupkan ingatan tentang mukjizat yang luar biasa mengagumkan yang nampak di zaman Nabi Musa AS itu, yakni tatkala salah seorang Bani Isra’il dibunuh dan tidak diketahui dengan pasti siapa gerangan yang membunuhnya.

  

Lalu nama kedua merujuk pada kandungannya, yakni ayat al-kursi yang dikandung oleh surah al-Baqarah yang tidak lain merupakan ayat teragung dalam Al-Qur’an. Kemudian nama ketiga, merujuk pada sabda Nabi SAW yang telah dikutip di atas, “Sungguh, segala sesuatu memiliki puncak; dan puncaknya Al-Qur’an (Sanam al-Qur’an) adalah surah al-Baqarah.” Sedangkan nama keempat, merujuk pada sabda Nabi SAW yang lebih kurang berbunyi, “Bacalah dua al-Zahra’: al-Baqarah dan Ali ‘Imran.”

  

Munasabah

  

Ibn al-Zubair (w. 708 H) dalam karyanya, al-Burhan fi Tanasub Suwar al-Qur’an, menjelaskan keterkaitan surah al-Baqarah dengan surah sebelumnya, al-Fatihah. Bila dalam surah sebelumnya seorang hamba—berkat taufik-Nya—memohon, “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus (ihdina al-shirath al-mustaqim),” maka dalam surah ini dijawab, “Itulah Kitab yang tiada keraguan sedikit pun di dalamnya (Dzalika al-kitab la rayba fih).” Seakan-akan Allah SWT berfirman, “(Al-Qur’an) itulah wujud pengabulan doamu. Di sana terdapat petunjuk yang engkau butuhkan, dan itulah al-shirath al-mustaqim sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, yang senantiasa berdoa, “Ihdina al-shirath al-mustaqim,” dan takut terhadap keadaan dua golongan: mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat. Mereka yang bertakwa itu pun menjadikan rasa takut mereka kepada Sang Maha Memelihara dan takwa kepada-Nya sebagai perisai dari siksaan yang pedih, dengan cara menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.”

  

Kemudian dalam surah al-Baqarah pun terdapat isyarat tentang amal-amal kebajikan, baik yang bersifat jasmani maupun materi, untuk menjelaskan lebih lanjut al-shirath al-mustaqim, sebagaimana terbaca dalam ayat ketiga sampai kelima. Lalu dijelaskan pula nilai kenikmatan yang diperoleh orang-orang yang bertakwa itu, dengan firman-Nya pada ayat keenam, “Sesungguhnya orang-orang kafir….” Tegasnya, dengan ayat keenam ini diharapkan mereka benar-benar dapat memahami dan menyadari bahwa sesungguhnya hidayah adalah semata-mata milik-Nya, sehingga merasa senantiasa berdoa, “Ihdina al-shirath al-mustaqim,” sekaligus melepaskan diri dari klaim adanya daya atau kekuatan selain dari-Nya.

  

Tidak berhenti di sini, masih banyak aspek keterkaitan antara surah al-Baqarah dan al-Fatihah yang dijelaskan oleh Ibn al-Zubair, pakar tafsir ber-genre munasabah itu. Yang jelas, menurutnya, kandungan surah al-Baqarah merupakan penjelasan komprehensif seputar al-shirath al-mustaqim sekaligus kemuliaan mereka yang menapakinya dan keburukan mereka yang berpaling darinya.

  

Selain Ibn al-Zubair, ada beberapa ulama lain yang mengulas aspek keterkaitan, baik antara surah al-Baqarah dan al-Fatihah maupun dalam surah al-Baqarah sendiri secara internal. al-Suyuthi misalnya, dengan mengutip al-Ashbahani menjelaskan bahwa bagian akhir surah al-Baqarah “bersesuaian” dengan bagian awalnya, yakni menyebut sifat-sifat orang-orang mukmin dan memberi isyarat tentang sifat-sifat orang-orang kafir. Penjelasan al-Suyuthi ini dipertegas oleh ‘Abd Allah al-Shiddiq al-Ghumari. Ia menuliskan:

  

Surah al-Baqarah dibuka dengan memuji orang-orang yang bertakwa. Yakni mereka yang beriman kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi SAW dan wahyu yang diturunkan kepada para rasul sebelumnya. Kemudian disusul dengan celaan atas orang-orang kafir. Lalu surah ini ditutup dengan memuji orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya; dan (ditutup pula dengan) permohonan mereka kepada Allah—di bagian akhir doa mereka—agar Dia menolong mereka melawan orang-orang kafir. Maka permulaan surah al-Baqarah bersesuaian dengan bagian akhirnya.


Baca Juga : Agama dan Politik Kekuasaan: Pak Jokowi dan Doa Politik

  

Daftar Rujukan

  

‘Abd al-Rahman b. al-Kamal Jalal al-Din al-Suyuthi, Tafsir al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2011), 46.

  

______, Marashid al-Mathali‘ fi Tanasub al-Maqathi‘ wa al-Mathali‘ (Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 1426 H), 47-48.

  

Abi ‘Abd Allah Muhammad b. Ahmad b. Abi Bakr al-Qurthubi, al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin lima Tadhammanah min al-Sunnah wa Ay al-Furqan, Vol. 1 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2006), 234-235.

  

Abi al-Faraj Jamal al-Din ‘Abd al-Rahman b. ‘Ali b. Muhammad al-Jauzi, Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir (Beirut: al-Maktab al-Islami, Dar Ibn Hazm, 2002), 37.

  

Ahmad b. Ibrahim b. al-Zubair al-Tsaqafi, al-Burhan fi Tanasub Suwar al-Qur’an (Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1428 H), 84-89.

  

Fadhil Shalih al-Samara’i, al-Tanasub Bayna al-Suwar fi al-Muftatah wa al-Khawatim (Beirut: Dar Ibn Katsir, 2016), 12-13.

  

Muhammad al-Thahir b. ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Vol. 1 (Tunisia: al-Dar al-Tunisiyah, 1984), 201-202.

  

Muhammad al-Amin b. ‘Abd Allah al-Urami al-‘Alawi al-Harari, Tafsir Hada’iq al-Rauh wa al-Rayhan fi Rawabi ‘Ulum al-Qur’an, Vol. 1 (Beirut: Dar Thauq al-Najah, 2001), 94-95.