(Sumber : www.mqaall.com)

Maqashid al-Suwar: al-Baqarah (Bagian Kedua)

Daras Tafsir

Tema Surah

  

‘Abd Allah Darraz (w. 1958 M)

  

“Meskipun surah al-Baqarah ini panjang, kesatuan esensinya terangkai dari lima hal, yaitu mukadimah, empat tujuan dan penutup,” demikian lebih kurang Darraz mengawali uraiannya. Adapun mukadimah berisi pengenalan perihal Al-Qur’an dan penjelasan bahwa petunjuk yang dikandungnya telah mencapai tingkat kejelasan yang sempurna sehingga siapa pun yang berhati bersih tidak akan sedikit pun meragukannya; hanya orang yang tidak memiliki hati atau di dalam hatinya terdapat penyakit lah yang menentangnya.

  

Kemudian tujuan pertama ialah mengajak seluruh manusia memeluk agama Islam. Disusul oleh tujuan kedua, yaitu mengajak Ahli Kitab—secara khusus—meninggalkan kebatilan mereka dan masuk ke dalam agama yang haq ini. Lalu tujuan ketiga, mendeskripsikan hukum-hukum syariat agama ini secara terperinci. Sedangkan tujuan keempat adalah menuturkan motivasi dan faktor penyebab religius yang dapat mendorong seseorang berpegang teguh pada syariat-syariat itu dan terjaga dari sikap menentangnya.

  

Adapun penutup, berisi pengenalan perihal orang-orang yang memenuhi dakwah yang mengajak kepada empat tujuan itu, dan penjelasan terkait hal-hal yang diharapkan bagi mereka, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.

  

Muhammad al-Thahir b. ‘Asyur (w. 1393 H/1973 M)

  

Ia menegaskan bahwa tujuan-tujuan utama surah al-Baqarah terbagi menjadi dua bagian. Pertama, memantapkan keluhuran agama ini (Islam) daripada agama-agama (samawi) yang telah mendahuluinya, keluhuran petunjuknya, dan ajaran-ajaran pokoknya terkait penyucian jiwa/hati. Kedua, menjelaskan hukum-hukum syariat agama ini kepada para pemeluknya dan memperbaiki komunitas masyarakat mereka.

  

‘Abd al-Rahman Hasan Habannakah (w. 1425 H/2004 M)


Baca Juga : Parrhesia Guru (Refleksi Hari Guru Nasional 25 November 2022)

  

Menurut penulis Tafsir Ma‘arij al-Tafakkur wa Daqa’iq al-Tadabbur ini, “pohon” surah al-Baqarah memiliki cabang-cabang besar yang memanjang mulai dari bagian awal hingga bagian akhirnya. Masing-masing cabang itupun memiliki tangkai-tangkai besar yang mencakup tangkai-tangkai dengan ukuran yang lebih kecil. Semuanya terangkai dan terjalin begitu indah. Tetapi garis-garis yang menghubungkan satu sama lain tidak dapat terlihat oleh pandangan mata yang sepintas lalu, bagaikan benang-benang merah di antara bintang-bintang di langit. Tentu saja \'beberapa\' garis penghubung ini bisa dilihat dan dipahami oleh mereka yang bersungguh-sungguh merenungkan makna-maknanya, tali-temali \'pemikiran\' yang terjalin di sana, dan petunjuk-petunjuk yang diisyaratkannya.\"

  

Sampai di sini, menurut Habannakah, ada lima cabang besar yang dimiliki oleh pohon surah al-Baqarah: 

  

Pertama, Al-Qur’an, kemukjizatan dan hidayah yang dikandungnya sekaligus mereka yang meragukan kebenarannya dan mereka yang menentang sebagian ayatnya.

  

Kedua, membuat perumpamaan-perumpamaan dari sejarah manusia dan menjelaskan ragam sikap mereka terhadap persoalan-persoalan agama, perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya, mulai dari Iblis, Adam dan istrinya, hingga serpihan-serpihan kisah Bani Isra’il. Penjelasan ragam sikap ini adalah sebagai bentuk peringatan kepada umat Nabi Muhammad SAW, “Jangan sampai seperti mereka (yang meragukan dan atau menentang perintah-Nya),” karena Allah SWT telah memilih umat terbaik ini sebagai pembawa risalah terkahir-Nya.

  

Di antara perumpamaan-perumpamaan yang dimaksud adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh Nabi Ibrahim AS, “Bagaimana Allah menghidupkan orang yang telah meninggal dunia?”, agar keimanaannya semakin kokoh dan hatinya tenang. Demikian pula pertanyaan ‘Uzair tentang tata cara Allah menghidupkan mayat-mayat di kuburan, maka Allah mencabut nyawanya sekaligus nyawa keledainya selama seratus tahun, kemudian Dia menghidupkannya dan memperlihatkan kepadanya bagaimana Dia menghidupkan keledainya hingga hidup seperti semula.

  

Ketiga, orang-orang beriman lagi bertakwa, dan perintah Allah kepada mereka. Pada konteks ini, uraian tentang sifat-sifat orang-orang yang bertakwa yang dijelaskan dalam ayat pertama sampai kelima, mengandung nilai-nilai universal. Sementara itu, di pertengahan surah terdapat penjelasan-penjelasan tentang perintah Allah SWT kepada mereka terkait persoalan-persoalan yang beragam yang berhubungan dengan laku ikhtiyari manusia di pentas bumi ini.

  

Keempat, orang-orang kafir dan mereka yang tidak memenuhi ajakan Al-Qur’an, dimulai dengan orang-orang yang telah sampai pada titik “tidak bisa diharapkan” keimanannya. Lalu dalam cabang ini pula terdapat solusi saat menghadapi orang-orang yang tidak memenuhi ajakan Al-Qur’an tetapi tidak sampai titik tersebut.

  


Baca Juga : Kesalahan Representasi Al-Qur'an dalam Wacana dan Praktik Mengenai Wanita di Indonesia

Kelima, orang-orang munafik dan sifat-sifatnya, kemudian solusi saat menghadapi orang-orang di antara mereka yang berpotensi memenuhi ajakan Al-Qur’an dan terbebas dari penyakit nifaknya.

  

‘Abd al-Hamid Mahmud Tahmaz (w. 1431 H/2010 M)

  

Tahmaz menjelaskan bahwa tema surah al-Baqarah adalah berpasrah diri kepada Allah SWT (al-istislam li Allah). Dalam artian, pasrah secara totalitas terhadap hukum-hukum-Nya baik yang bersifat ketetapan (al-qadariyyah) maupun yang bersifat syariat (al-syar‘iyyah), dan tunduk patuh kepada-Nya. Inilah tema utama yang menjadi pusaran ayat-ayat yang dikandung oleh surah al-Baqarah.

  

Tahmaz pun menjelaskan lebih lanjut korelasi yang terjalin antara tujuan utama surah dengan ayat-ayat yang dikandungnya. Secara umum, penjelasan Tahmaz dapat dideskripsikan sebagai berikut:

  

1. Ayat-ayat pertama menerangkan sifat-sifat utama yang dimiliki oleh orang-orang yang bertakwa. Hal ini menunjukkan kepasrahan mereka secara sempurna kepada Allah SWT, baik secara ilmu maupun amal, hati maupun tingkah laku.

  

2. Lalu, pembicaraan berpusat pada orang-orang yang ingkar, untuk menampakkan hakikat patuh kepada Allah dan tata caranya. Kebalikan dari yang pertama. Maka dijelaskanlah sikap orang-orang kafir, yakni mereka yang tidak mau beriman, baik engkau beri peringatan maupun tidak engkau beri peringatan. Kemudian orang-orang munafik yang mengolok-olok Allah dan Rasul-Nya; juga mereka yang meskipun telah melihat petunjuk-petunjuk yang amat jelas, tetapi tidak mengambil manfaat darinya. Mereka tuli, bisu dan buta, tidak bisa meninggalkan kebatilan dan kesesatan. Setelah itu, sikap-sikap ingkar Ahli Kitab, khusus Bani Isra’il, sejak zaman Nabi Musa AS hingga saat turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, zaman Nabi Muhammad SAW.

  

3. Sebagai kebalikan dari sebelumnya, kali ini pembicaraan berpindah pada sikap-sikap orang-orang muslim yang berpasrah diri kepada hukum-hukum Allah SWT. Maka disebutkanlah kepasrahan yang sempurna dari Sang Bapak Tauhid, Nabi Ibrahim AS, kepada Allah SWT saat Dia mengujinya dengan berbagai macam cobaan. Disusul dengan doa-doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim bersama putranya, Isma‘il, saat meninggikan pondasi Baitullah; wasiat Nabi Ya‘qub AS kepada putra-putranya saat ajal telah mendekatinya; keutamaan orang-orang yang berpasrah diri kepada hukum-hukum Allah, dan orang-orang yang sabar terhadap berbagai bentuk ujian, musibah, cobaan, dan kurangnya harta, jiwa, dan makanan. 

  

4. Setelah itu, dihamparkanlah sebuah jalan untuk menjelaskan hukum-hukum syariat Islam, penutup segala syariat samawi. Ayat-ayat yang tergabung dalam konteks ini berfokus pada dasar-dasar, karakteristik-karakteristik dan keistimewaan-keistimewaan hukum syariat Islam. 


Baca Juga : Qurban dan Pandemi: Sebuah Nilai untuk Dekatkan Diri Pada Ilahi

  

5. Di sela-sela penjelasan tentang hukum-hukum syariat Islam, terdapat beberapa “pemberhentian” dan “komentar” yang menarik kita pada tema utama surah (pasrah kepada Allah dan tunduk patuh pada hukum-hukum-Nya), seperti firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam (kedamaian) secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu. (al-Baqarah [2]: 208)”

  

6. Demikianlah ayat-ayat surah al-Baqarah berlangsung hingga ditutup oleh uraian tentang kepasrahan para sahabat kepada hukum-hukum Islam dan penjelasan terkait korelasi kepasrahan itu dengan kemudahan syariat Islam.

  

M. Quraish Shihab

  

Ia menjelaskan bahwa surah kedua dalam Mushaf ‘Utsmani ini dinamai al-Baqarah karena tema pokoknya adalah inti ayat-ayat yang menguraikan kisah al-Baqarah, yakni kisah Bani Isra’il dengan seekor sapi. Pakar Tafsir Indonesia itu menuliskan:

  

Ada seseorang yang terbunuh dan tidak diketahui siapa pembunuhnya. Masyarakat Bani Isra’il saling mencurigai, bahkan tuduh-menuduh, tentang pelaku pembunuhan tanda ada bukti, sehingga mereka tidak memeroleh kepastian. Menghadapi hal tersebut, mereka menoleh kepada Nabi Musa AS, meminta beliau berdoa agar Allah menunjukkan siapa pembunuhnya. Maka, Allah memerintahkan mereka menyembelih seekor sapi. Dari sini dimulai kisah al-Baqarah. Akhir dari kisah itu adalah mereka menyembelihnya—setelah dialog tentang sapi berkepanjangan—dan dengan memukulkan bagian sapi itu kepada mayat yang terbunuh, atas kudrat Allah SWT, korban hidup kembali dan menyampaikan siapa pembunuhnya.

  

Kemudian Shihab menjelaskan bahwa dalam kisah al-Baqarah itu terdapat dua bukti sekaligus. Pertama, bukti kebenaran petunjuk-petunjuk Allah, walau pada mulanya kelihatan tidak dapat dimengerti. Kedua, bukti kekuasaan-Nya menghidupkan kembali yang telah mati, serta kekuasaan-Nya menjatuhkan sanksi bagi siapa yang bersalah walau ia melakukan kejahatannya dengan sembunyi-sembunyi.

  

Walhasil, penulis Tafsir al-Mishbah itu menyimpulkan bahwa uraian surah al-Baqarah berkisar pada penjelasan dan pembuktian tentang betapa haq dan benarnya kitab suci, dan betapa wajar petunjuk-petunjuknya diikuti dan diindahkan.

  


Baca Juga : Antara Takdir, Kecelakaan dan Pembinaan Santri

Tetapi idak berhenti di sini, sebelum memulai penafsirannya atas surah al-Baqarah, mufasir ternama itu menggarisbawahi dua hal penting. Pertama, kepercayaan akan kekuasaan Allah SWT menghidupkan siapa pun yang telah meningga dunia—sebagaimana tercermin dalam kisah al-Baqarah—merupakan salah satu faktor utama yang dapat mendorong seseorang untuk beramal saleh dan menghindari kejahatan. Kedua, isyarat lain tentang kandungan surah al-Baqarah melalui dua nama lain yang disandangnya, yakni al-Sinam dan al-Zahra’. Nama pertama, yang secara bahasa berarti puncak, menyiratkan bahwa tiada lagi puncak petunjuk setelah Kitab suci (baca: Al-Qur’an) ini, dan tiada puncak setelah kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa dan keniscayaan Hari Kiamat. Sedangkan nama kedua, yang secara bahasa berarti terang benderang, menyiratkan bahwa kandungan surah al-Baqarah itu menerangi jalan dengan benderang menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, serta menjadi penyebab bersinar terangnya wajah siapa pun yang mengikuti petunjuk-petunjuknya kelak di kemudian hari.

  

Daftar Rujukan

  

Burhan al-Din Abi al-Hasan Ibrahim b. ‘Umar al-Biqa‘i, Masha‘id al-Nazhr li al-Isyraf ‘ala Maqashid al-Suwar, Vol. 1 (Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif, 1987).

  

‘Abd al-Rahman Hasan Habannakah al-Maydani, Ma‘arij al-Tafakkur wa Daqa’iq al-Tadabbur, Vol. 15 (Damaskus: Dar al-Qalam, 2006), 405-406.

  

Muhammad ‘Abd Allah Daraz, al-Naba’ al-‘Azhim: Nazharat Jadidah fi al-Qur’an (Riyadh: Dar Thayyibah, 2000), 204.

  

‘Abd al-Hamid Mahmud Tahmaz, al-Tafsir al-Mawdhu‘i li Suwar al-Qur’an al-‘Azhim, Vol. 1 (Damaskus: Dar al-Qalam, 2014), 37-39.

  

Muhammad al-Thahir b. ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Vol. 1 (Tunisia: al-Dar al-Tunisiyyah, 1984), 203.

  

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 1 (Tangerang: Lentera Hati, 2017), 99-100.