(Sumber : www.apkpure.com)

Maqashid al-Suwar: al-Ma'idah (Bagian Pertama)

Daras Tafsir

Status Surah

  

Para ulama bersepakat bahwa surah al-Ma’idah berstatus madaniyyah. Di samping karena topik bahasannya seputar hukum-hukum syariat, juga karena ditemukan penjelasan dari generasi muslim awal yang menyatakan demikian seperti Ibn ‘Abbas, Qatadah dan adh-Dhahhak. Beberapa mufasir bahkan mengutip pernyataan ‘Abdullah b. ‘Amr dan Umm al-Mu’minin ‘Aisyah yang menegaskan bahwa surah ini termasuk surah terakhir yang turun kepada Nabi SAW. Di sisi lain, ada pula sementara ulama yang mengecualikan ayat ke-3 sebagai ayat yang berstatus makkiyyah karena ia turun saat Nabi berada di ‘Arafah. Meski demikian, mayoritas ulama tetap menganggapnya sebagai ayat madaniyyah mengingat penurunannya di ‘Arafah terjadi pasca Nabi hijrah ke Madinah dengan mengacu pada kaidah dasar, “Makkiyyah adalah surah atau ayat yang turun sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sedangkan madaniyyah sebaliknya.”

  

Fadilat Surah

  

Setidaknya ada tiga riwayat yang perlu kita bahas sehubungan dengan keutamaan surah al-Ma’idah. Pertama, hadis yang diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Imam Ahmad yang bermuara pada Abu Dzar al-Ghifari. Sahabat ini menceritakan bahwa suatu hari Nabi SAW salat malam dengan membaca satu ayat secara berulang-ulang hingga pagi hari. Nabi terus-menerus membaca ayat itu baik dalam keadaan berdiri, rukuk maupun sujud. Para pendengar pun bertanya kepada Abu Dzar, “Ayat apakah itu?” Abu Dzar menjawab seraya membaca ayat yang dimaksud, “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah para hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (al-Ma’idah ayat 118).” Pada riwayat lain, Imam Ahmad mencatat keterangan tambahan dari Abu Dzar. Yakni saat pagi harinya Abu Dzar bertanya kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau terus-menerus membaca ayat ini hingga pagi hari, baik dalam keadaan rukuk maupun sujud?” Nabi SAW menjawab, “Sesungguhnya aku memohon syafaat kepada Tuhan Pemeliharaku, maka Dia memperkenankannya, dan syafaat itu diperoleh—insya Allah—oleh orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun.”

  

Sebagai catatan, ayat 118 yang maknanya telah penulis kutip di atas merupakan salah satu petikan doa Nabi ‘Isa AS untuk kaumnya yang diabadikan oleh Al-Qur’an. Keberadaan doa tersebut dalam surah al-Ma’idah dan dibaca berulang kali oleh Nabi menunjukkan bahwa ayat tersebut secara khusus dan surah al-Ma’idah secara umum memiliki keistimewaan tersendiri. Itulah mengapa Ibrahim b. ‘Umar al-Biqa‘i (885 H) mencantumkan hadis di atas saat menguraikan fadilat-fadilat surah al-Ma’idah. Beliau bahkan menambahkan hadis serupa-senada yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ‘Abdullah b. ‘Amr, bahwa Nabi SAW membaca doa Nabi Ibrahim dan Nabi ‘Isa yang diabadikan oleh Al-Qur’an (baca surah Ibrahim ayat 36 dan al-Ma’idah 118). Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah, umatku… umatku…,” lalu beliau pun menangis. Maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Wahai Jibril, pergilah ke Muhammad—dan Tuhanmu lebih mengetahui (keadaannya)—lalu tanyakan kepadanya (apa gerangan yang membuatnya menangis).” Ketika Jibril telah memperoleh jawaban dari Nabi dan menyampaikannya kepada-Nya, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Wahai Jibril, pergilah ke Muhammad dan katakan: Sesungguhnya Kami akan membuatmu rida perihal umatmu dan Kami tidak akan mengecewakanmu.”

  

Kedua, tidak sedikit mufasir yang mengutip hadis riwayat Imam Ahmad dari ‘Abdullah b. ‘Amr berikut ini saat mereka menjelaskan tentang fadilat surah al-Ma’idah, “Surah al-Ma’idah turun kepada Rasulullah SAW sewaktu beliau mengendarai untanya, maka (tiba-tiba) si unta tidak mampu memikul Nabi, lalu Nabi pun turun dari tempat duduknya.” Dalam riwayat lain, Asma’ bint Yazid menceritakan bahwa dirinyalah yang memegang kendali unta tersebut waktu itu. Beliau menyaksikan secara langsung bagaimana si unta terlihat memikul beban yang sangat berat, sampai-sampai ia langsung tersungkur dan hampir-hampir saja mematahkan tulang lengannya. Sebagaimana terbaca, riwayat ini memperlihatkan keagungan dan kemuliaan surah al-Ma’idah secara khusus dan seluruh ayat Al-Qur’an secara umum. Riwayat ini seakan mengingatkan kita pada surah al-Hasyr [59]: 21, “Seandainya Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah karena takut kepada Allah. Perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir.” Dengan kata lain, riwayat ini seolah-olah hendak menampar seraya membangkitkan kesadaran kita, “Lihat dan renungkanlah, betapa unta yang engkau kira tidak berakal itu seakan memahami betul keagungan dan kemuliaan ayat-ayat Al-Qur’an. Bagaimana dengan dirimu yang mengaku sebagai makhluk yang paling berakal dan mulia, dapatkah merasakan keagungan itu?”

  

Ketiga, riwayat dari Umm al-Mu’minin ‘Aisyah yang disampaikan oleh Jubair b. Nufair. Waktu nama yang disebut terakhir ini sowan kepada istri Baginda Nabi itu, ‘Aisyah bertanya, “Wahai Jubair, engkau membaca surah al-Ma’idah?” Jubair menjawab, “Iya, saya membacanya.” Lalu Umm al-Mu’minin berpesan, “Sesungguhnya ia merupakan surah terakhir yang turun, maka perkara-perkara halal yang engkau temukan di dalamnya, halalkanlah, dan perkara-perkara haram yang engkau temukan di sana, haramkanlah.” Terlepas dari ungkapan “surah terakhir yang turun” yang diperdebatkan oleh para ulama, riwayat ini menunjukkan keistimewaan ayat-ayat hukum (ayat al-ahkam) yang dikandung oleh surah al-Ma’idah. Senada dengan riwayat ini, Abu Maysarah ‘Amr b. Syurahbil al-Hamdani, tokoh kenamaan di kalangan tabi‘in, menjelaskan bahwa dalam surah al-Ma’idah terdapat 18 ketetapan hukum yang tidak ditemukan dalam surah-surah lain, yaitu (1) keharaman hewan yang tercekik, (2) yang dipukul, (3) yang jatuh, (4) yang ditanduk, (5) yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat disembelih (6) binatang yang disembelih untuk berhala, (7) mengundi nasih dengan azlam (anak panah), (8), kehalalan buruan yang ditangkap oleh binatang pemburuh yang telah dilatih untuk berburu, (9) kehalalan makanan sembelihan Ahli Kitab, (10) kehalalan menikahi perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci, (11) kesempurnaan bersuci, (12) hukum bagi pencuri, (13) hukum membunuh hewan buruan saat sedang berihram (haji atau umrah), (14) hukum menyangkut bahirah, (15) sa’ibah, (16) wasilah, (17) ham, dan (18) ketentuan terkait persaksian bagi orang yang berwasiat. al-Qurthubi menambahkan ketetapan hukum ke-19 yang menurutnya juga tidak ditemukan dalam surah-surah lain yaitu hukum tentang adzan sholat lima waktu yang diisyaratkan oleh ayat ke-58.

  

Daftar Rujukan


Baca Juga : Nyambung Nyambang Seduluran: Halal Bihalal Paguyuban Ronggolawe

  

Abi Muhammad al-Husain b. Mas‘ud al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi: Ma‘alim al-Tanzil (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002), 354. 

  

Abi al-Faraj Jamaluddin ‘Abdur Rahman b. ‘Ali b. Muhammad al-Jauzi al-Qurasyi al-Baghdadi, Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir, Vol. 2 (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1984), 267. 

  

Abi ‘Abdillah Muhammad b. Ahmad b. Abi Bakr al-Qurthubi, al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin lima Tadhammanah min al-Sunnah wa Ay al-Furqan, Vol. 7 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2006), 243-244. 

  

‘Abdur Rahman b. Muhammad b. Makhluf Abi Zayd al-Tsa‘alabi al-Maliki, Tafsir al-Tsa‘alabi al-Musamma bi al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. 2 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Mu’assasah al-Tarikh al-‘Arabi, 1997), 334. 

  

Abi al-Fida’ Isma‘il b. Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Vol. 2 (Kairo: Dar Ibn al-Jauzi, 2009), 3. 

  

‘Abdur Rahman b. al-Kamal Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur, Vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 2011), 3.

  

Burhanuddin Abi al-Hasan Ibrahim b. ‘Umar al-Biqa‘i al-Syafi‘i, Masha‘id al-Nazhar li al-Isyraf ‘ala Maqashid al-Suwar, Vol. 2 (Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif, 1987), 107-108.

  

Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari‘ah wa al-Manhaj, Vol. 3 (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), 411. 

  

Muhammad al-Amin b. ‘Abdullah al-Urami al-‘Alawi al-Harari al-Syafi‘, Tafsir Hada’iq al-Rauh wa al-Rayhan fi Rawabi ‘Ulum al-Qur’an, Vol. 7 (Beirut: Dar Tauq al-Najah, 2009), 87-88.