(Sumber : gramedia.com)

Memahami Qira'at Mutawatir (Bagian Pertama)

Daras Tafsir

Al-Sayyid Muhammad b. ‘Alwi al-Maliki al-Hasani menerangkan bahwa ulama terbaik yang menjelaskan hal ini ialah Abu al-Khayr al-Jazari. Pada permulaan kitabnya yang berjudul al-Nasyr, Imam Ibn al-Jazari menuliskan:

  

Setiap qira’ah yang bersesuaian dengan bahasa Arab meskipun dalam “satu wajah” saja (wa law bi wajhin), bersesuaian dengan salah satu Mushaf ‘Utsmani meskipun mengandung “kemungkinan” (wa law ihtimalan), dan sanadnya sahih, maka ia adalah qira’ah yang sahih, tidak boleh ditolak dan tidak dapat diingkari. Bahkan ia termasuk al-ahruf al-sab‘ah yang dengannya Al-Qur’an diturunkan. Orang-orang (muslim) pun wajib menerimanya, baik qira’ah itu berasal dari Imam Tujuh, Imam Sepuluh [*] ataupun imam-imam terpercaya yang lainnya. Jika salah satu dari tiga rukun ini tidak terpenuhi, maka qira’ah tersebut dianggap sebagai qira’ah yang da‘if, syadz atau batil, baik dari Imam Tujuh atau imam lain yang lebih senior daripada mereka. Ini adalah keterangan yang sahih menurut para imam terpercaya, baik dari kalangan salaf maupun khalaf. [**]

  

Kemudian al-Jazari menjelaskan lebih lanjut tiga kaidah qira’ah yang sahih di atas. Pertama, terkait dengan “wa law bi wajhin”, maksudnya adalah salah satu aspek dari beberapa aspek Ilmu Nahwu, baik aspek tersebut afshah maupun fashih, dan baik disepakati maupun diperselisihkan selama perselisihannya tidak sampai signifikan. Hal ini dikarenakan qira’ah yang populer, tersebar luas dan diterima oleh para imam dengan sanad yang sahih itulah acuan dasar yang utama. Berapa banyak qira’ah yang sahih, diingkari oleh beberapa atau bahkan mayoritas pakar nahwu, dan pengingkaran mereka “tidak dianggap”. Sebagai contoh, qira’ah-nya Imam Abu ‘Amr yang membaca sukun kata “Bari’kum” dan “Ya’murkum”, dan qira’ah-nya Imam Hamzah yang membaca kasrah kata “al-Arhami”. [***]

  

Kedua, terkait “bersesuaian dengan salah satu Mushaf ‘Utsmani”, maksudnya adalah qira’ah tersebut dapat ditampung oleh rasm ‘utsmani yang tertuang dalam beberapa Mushaf ‘Utsmani. Sebagaimana yang kita ketahui, saat melakukan kodifikasi Al-Qur’an, Sayyidina ‘Utsman memerintahkan untuk menduplikatnya menjadi beberapa salinan dan mengirimnya ke berbagai wilayah Islam waktu itu, seperti Makkah, Bashrah, Kufah dan Syam. [****] Semua salinan itu disebut sebagai Mushaf ‘Utsmani. Fokus kita adalah bentuk rasm yang ada di mushaf-mushaf itu, bahwa dalam beberapa “kasus” boleh jadi rasm yang digunakan oleh Mushaf Makkah misalnya, berbeda dengan yang digunakan oleh Mushaf Bashrah. Kok bisa begitu? Ya karena salah satu tujuan utama dilakukannya kodifikasi Al-Qur\'an pada masa Sayyidina \'Utsman adalah menghimpun seluruh varian qira\'ah yang pernah diajarkan langsung oleh Nabi. Tentu saja ada sekian perbedaan qira\'ah di sana. Perbedaan itu secara umum terbagi menjadi dua, (1) perbedaan yang tidak sampai berimplikasi pada rasm (tulisan), (2) sebaliknya, yakni berimplikasi pada rasm. Nah, perbedaan yang kedua inilah yang mengharuskan Komite Kodifikasi Al-Qur\'an yang diketuai oleh Zaid b. Tsabit itu menuliskan dua atau lebih salinan yang berbeda. Di Mushaf A ditulis sesuai dengan qira\'ah A, sedangkan di Mushaf B ditulis sesuai dengan qira\'ah B. Oleh karena itu, saat mengirimkan hasil kodifikasi Al-Qur\'an kepada beberapa wilayah Islam waktu itu, Sayyidina ‘Utsman tidak hanya mengirim mushaf saja, tapi juga menyertakan seorang sahabat yang ditugaskan untuk mengajarkannya, agar tidak terjadi kesalahan, kesalahpahaman, lebih-lebih perselisihan di kalangan umat Islam.

  

Imam Ibn al-Jazari menyebutkan tiga contoh terkait hal ini. Pertama, surah al-Baqarah [2]: 116 berikut ini:

  

وَقَالُواْ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدٗاۗ سُبۡحَٰنَهُۥۖ بَل لَّهُۥ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۖ كُلّٞ لَّهُۥ قَٰنِتُونَ  ١١٦

  

Semua Imam Qira’at Tujuh itu membaca permulaan ayat di atas dengan “wa qalu”, yakni menyertakan huruf wawu, kecuali Imam Ibn ‘Amir yang membacanya tanpa wawu. Qira’ah Imam Ibn ‘Amir tersebut sesuai dengan rasm yang terdapat dalam Mushaf Syam. Kedua, surah Ali ‘Imran [3]: 184 berikut ini:

  

فَإِن كَذَّبُوكَ فَقَدۡ كُذِّبَ رُسُلٞ مِّن قَبۡلِكَ جَآءُو بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِ وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلۡمُنِيرِ  ١٨٤


Baca Juga : Ma'had Ali: Rekognisi dan Masa Depan (Bagian Dua)

  

Semua Imam Qira’at Tujuh membaca kata al-zubur dan al-kitab tanpa huruf ba’, persis seperti yang tertera di atas. Sedangkan Imam Ibn ‘Amir membacanya kedua kata itu dengan huruf ba’, yakni bi al-zubur dan bi al-kitab. Bacaan beliau ini juga sesuai dengan rasm yang terdapat dalam Mushaf Syam. Terakhir, surah al-Tawbah [9]: 100 sebagai berikut:

  

وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي تَحۡتَهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ  ١٠٠

  

Ayat di atas dibaca oleh semua Imam Tujuh dengan “tajri tahtaha”, sedangkan Imam Ibn Katsir membacanya dengan “tajri min tahtiha”, yakni menyertakan huruf min. Qira’ah Imam Ibn Katsir ini sesuai dengan rasm yang terdapat dalam Mushaf Makkah. Walhasil, bila ada qira’ah yang tidak sesuai dengan satupun Mushaf-Mushaf ‘Utsmani, maka ia dianggap syadz karena telah menyalahi ijmak.

  

Selanjutnya kaidah ketiga, “sanad sahih”, yakni qira’ah tersebut diriwayatkan oleh perawi yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas tinggi (‘adil dan dhabit) secara berturut-turut hingga sampai kepada Nabi Muhammad SAW sebagai penerima dan penyampai wahyu Al-Qur’an. Di samping itu, qira’ah tersebut juga familiar dan dikenal baik oleh para imam, tidak dianggap salah ataupun syadz oleh mereka.

  

Demikianlah tiga kaidah atau kriteria diterimanya sebuah qira’ah sebagai qira’ah yang sahih-mutawatir. Mari kita ingat dengan baik: (1) sesuai dengan (kaidah) bahasa Arab wa law bi wajhin, (2) sesuai dengan salah satu Mushaf ‘Utsmani wa law ihtimalan dan (3) sanadnya sahih.

  

Catatan

  

[*] Yang dimaksud dengan Imam Tujuh adalah Imam Nafi‘, Imam Ibn Katsir, Imam Abu ‘Amr, Imam Ibn ‘Amir, Imam ‘Ashim, Imam Hamzah dan Imam al-Kisa’i. Semuanya telah kita bahas pada artikel yang sebelumnya. Sila rujuk kembali ke sana. Sedangkan yang dimaksud dengan Imam Sepuluh adalah tujuh imam yang telah disebutkan itu, ditambah dengan Imam Abu Ja‘far al-Madani, Imam Ya‘qub al-Hadhrami al-Bashri dan Imam Khalaf b. Hisyam al-Bazzar al-Baghdadi. Di samping itu, patut pula digarisbawahi bahwa istilah “imam” yang terdapat pada penjelasan Imam Ibn al-Jazari di atas, merujuk pada ulama yang menggeluti disiplin Ilmu Qira’ah, bukan ulama secara umum.

  


Baca Juga : Piala Dunia 2022 dan Kontroversi LGBT

[**] Tidak sedikit ulama dan akademisi yang menjelaskan bahwa kalangan “salaf” itu merujuk pada para ulama yang hidup di antara masa sahabat hingga abad ketiga H. Dengan demikian, kalangan “khalaf” ialah mereka yang hidup pasca abad ketiga H.

  

[***] Patut diketahui bahwa dalam disiplin Ilmu Nahwu juga dikenal mazhab seperti yang terdapat dalam disiplin Ilmu Fikih. Maka tidak heran bila cita rasa bahasa yang dianggap valid, benar dan indah oleh salah satu mazhab nahwu, dianggap sebaliknya oleh mazhab yang lain. Dalam hal ini, dikenal dua mazhab nahwu yang populer, yakni Mazhab Kufah dan Mazhab Bashrah. Nah, salah satu implikasi dari perbedaan dua mazhab ini adalah perbedaan mereka saat menghadapi sebuah qira’ah yang—menurut mereka atau salah satu dari mereka—tidak sejalan dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang mereka susun. Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibn al-Jazari di atas, bila suatu qira’ah telah diterima oleh para imam dengan sanad yang sahih dan bersambung sampai Nabi, maka mestinya tidak ada lagi keraguan atau kebimbangan untuk menerimanya. Karena walau bagaimanapun, kaidah-kaidah kebahasaan itu tidak dapat menghukumi sahih-tidaknya sebuah qira’ah. Yang dicontohkan oleh Imam Ibn al-Jazari di atas adalah contoh konkretnya. Berikut penjelasannya:

  

وَإِذۡ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوۡمِهِۦ يَٰقَوۡمِ إِنَّكُمۡ ظَلَمۡتُمۡ أَنفُسَكُم بِٱتِّخَاذِكُمُ ٱلۡعِجۡلَ فَتُوبُوٓاْ إِلَىٰ بَارِئِكُمۡ فَٱقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ عِندَ بَارِئِكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ  ٥٤

  

إِنَّمَا يَأۡمُرُكُم بِٱلسُّوٓءِ وَٱلۡفَحۡشَآءِ وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ  ١٦٩

  

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا  ١

  

Pada ayat pertama di atas (surah al-Baqarah [2]: 54), Imam Abu ‘Amr membaca kata “bari’ukum” dengan “bari’kum”, yakni men-sukun-kan huruf hamzah. Demikian pula kata “ya’murukum” yang terdapat dalam ayat kedua (surah al-Baqarah [2]: 169), Imam Abu ‘Amr membacanya “ya’murkum”, dengan men-sukun-kan huruf hamzah. Sedangkan kata al-arham pada ayat ketiga (surah al-Nisa’ [3]: 1), Imam Hamzah membacanya “al-Arhami”, yakni meng-‘athaf-kannya pada dhamir ha’ sebelumnya (bihi), berbeda dengan para imam selain beliau yang membacanya “al-Arhama”, dengan meng-‘athaf-kannya pada kata Allah.

  

Nah, beberapa pakar bahasa, berdasarkan kaidah-kaidah kebahasaan yang mereka susun, keberatan menerima tiga qira’ah di atas, apalagi menganggapnya sebagai qira’ah sahih-mutawatir. Qira’ah pertama dan kedua yang dibaca oleh Imam Abu ‘Amr di atas misalnya, mereka anggap sebagai lahn (kesalahan) karena dalam “aturan main” mereka tidak diperkenankan men-sukun-kan huruf yang menjadi tandi i‘rab bersamaan dengan munculnya harakat yang beruntun. Demikian juga qira’ah Imam Hamzah di atas, dianggap menyalahi aturan bahasa seputar ‘athar-ma‘thuf. Menurut mereka, ma‘thuf haruslah di-‘athaf-kan pada isim zhahir, tidak boleh isim dhamir seperti yang dibaca oleh Imam Hamzah itu.

  

[****] Terdapat perbedaan pendapat terkait jumlah salinan Mushaf ‘Utsmani tersebut. Ada yang mengatakan empat, lima, bahkan tujuh. Tapi yang jelas, semuanya sepakat bahwa ada satu salinan yang diletakkan di Madinah yang menjadi ibu kota kekhalifahan waktu itu dan dibawa oleh Sayyidina ‘Utsman. Itulah yang masyhur dikenal sebagai Mushaf al-Imam.

  

Daftar Rujukan

  

Ahmad ‘Isa al-Ma‘sharawi, al-Syamil fi Qira’at al-A’immah al-‘Asyr al-Kawamil min Thariqay al-Syathibiyyah wa al-Durrah bi Hamisy Mushhaf al-Qira’at al-Ta‘limi bi al-Tarmiz al-Launi (Kairo: Dar al-Imam al-Syathibi, t.t.), 8, 18, 25, 74.

  

Al-Sayyid Muhammad b. ‘Alwi al-Maliki al-Hasani, Zubdat al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1986), 31-32.

  

Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Dar al-Salam, 2013), Vol. 1, 166, 202-204.

  

Muhammad Afifudin Dimyathi, Mawarid al-Bayan fi ‘Ulum al-Qur’an (Sidoarjo: Lisan ‘Arabi, 2016), 53.

  

Muhammad ‘Abd al-Azhim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an (t.tp.: Mathba‘ah ‘Isa al-Babi al-Halabi wa Syuraka’ih, t.t.), Vol. 1, 257-258.

  

Abi Muhammad ‘Abd al-Haqq b. Ghalib b. ‘Athiyah al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), Vol. 1, 145-146.