(Sumber : Cublic.id)

Puasa, Self-Control, dan Digital Ethics: Menjaga Lisan di Era Gen Z

Daras Tafsir

Oleh: Abdul Wasik, M.HI

(Mahasiswa Doktoral UINKHAS Jember dan Dosen IAI At Taqwa Bondowoso)

  

Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak misik.” (HR. Bukhari no. 1894 dan Muslim no. 1151)

  

Hadits tentang bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak misik memiliki makna yang mendalam, terutama jika dikaitkan dengan kehidupan di era digital. Bagi Gen Z, yang tumbuh dalam ekosistem digital dan media sosial, menjaga lisan tidak lagi hanya sebatas pada ucapan langsung, tetapi juga mencakup bagaimana mereka berinteraksi di dunia maya. Hadits ini dapat menjadi pedoman dalam membangun etika digital (digital etika), yang fokus pada bagaimana seseorang menyampaikan ucapannya dalam bentuk komentar, unggahan, dan keberanian interaksi agar tetap sesuai dengan nilai-nilai Islam.

  

Secara fisik, hadits ini memang berbicara tentang bau mulut akibat tidak makan dan minum, tetapi dalam konteks digital, ia bisa diinterpretasikan sebagai simbol bagaimana seseorang menjaga "lisan digitalnya". Jika di dunia nyata seseorang harus menahan diri dari ghibah, fitnah, dan ucapan sia-sia, maka di dunia digital ia juga harus menahan diri dari kebencian, hoaks, cyberbullying, dan komentar negatif. 

  

Dalam Islam, menjaga lisan adalah bagian dari akhlak yang baik. Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Prinsip ini seharusnya juga diterapkan dalam interaksi digital, di mana komentar dan unggahan yang tidak bermanfaat sebaiknya dihindari.

  

Gen Z dikenal sebagai generasi yang aktif di media sosial, di mana batasan antara komunikasi nyata dan digital semakin kabur. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa banyak konflik sosial saat ini dipicu oleh ujaran di media sosial, mulai dari perundungan dare hingga penyebaran informasi yang berkeliaran. Jika seseorang berpuasa tetapi tetap menyebarkan fitnah, menghujat, atau menebarkan kebencian di dunia maya, maka puasanya bisa kehilangan esensinya. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah ﷺ: “Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan haus.” (HR.Ahmad no.8693). Hadits ini menjadi pengingat bagi Gen Z agar mereka tidak hanya menahan diri dari makanan dan minuman, tetapi juga dari kebiasaan buruk di dunia digital.

  

Dalam Al-Qur'an, Allah juga melarang perbuatan yang dapat merugikan orang lain melalui ucapan atau tulisan. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya sebenarnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra' : 36). Ayat ini menegaskan bahwa setiap ucapan dan tulisan yang disampaikan, termasuk di media sosial, akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu, seorang umat Islam, terutama dari kalangan Gen Z, perlu memiliki kesadaran etika digital agar tidak sembarangan dalam berbicara dan menyebarkan informasi.

  


Baca Juga : Pilwali Surabaya di Tengah Pandemi

Salah satu tantangan besar bagi Gen Z adalah budaya cancel culture dan call-out culture, di mana seseorang bisa dengan mudah diserang secara berani karena kesalahan atau pernyataan yang umum. Meskipun ada aspek positif dalam mengkritik sesuatu yang salah, namun jika dilakukan dengan cara yang kasar dan tidak beretika, justru bisa menjadi bentuk perundungan digital. Konsep menjaga lisan dalam hadits ini bisa diterapkan dalam bentuk komunikasi yang lebih santun, memberikan kritik dengan cara yang membangun, serta menahan diri dari kebencian. Dalam hal ini, puasa bisa menjadi latihan untuk menahan diri dari reaksi emosional yang berlebihan dalam dunia digital.

  

Di sisi lain, etika digital dalam Islam juga mencakup bagaimana seseorang menggunakan media sosial untuk hal yang bermanfaat. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR.Ahmad no.23408). Gen Z yang menguasai teknologi dapat menjadikan media sosial sebagai sarana dakwah, menyebarkan kebaikan, dan memberikan inspirasi bagi orang lain. Jika seseorang bisa menjaga lisan digitalnya dari hal-hal yang negatif, maka bau mulut "digitalnya" pun bisa menjadi harum di sisi Allah, seperti yang disebutkan dalam hadits di atas tentang puasa ini.

  

Lebih jauh lagi, konsep pengendalian diri yang diajarkan dalam puasa juga sangat relevan dalam membentuk etika digital. Seorang yang berpuasa dilatih untuk menahan hawa nafsunya, termasuk dalam berkata-kata dan berinteraksi. Dalam dunia digital, pengendalian diri ini bisa diwujudkan dalam bentuk berpikir sebelum berkomentar, memeriksa kebenaran informasi sebelum menyebarkan, serta menghindari perdebatan yang tidak membawa manfaat. Dengan memahami esensi puasa dalam konteks ini, Gen Z dapat lebih bijak dalam menggunakan teknologi dan media sosial.

  

Dengan demikian, hadits ini tidak hanya relevan dalam makna fisik, tetapi juga memiliki makna yang lebih luas di era digital. Gen Z sebagai generasi yang aktif di dunia maya harus memahami bahwa menjaga lisan tidak hanya berarti menahan ucapan secara langsung, tetapi juga bagaimana mereka berinteraksi secara digital. Dengan menerapkan konsep etika digital dalam kehidupan sehari-hari, mereka tidak hanya mendapatkan pahala karena puasanya, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat dan bermakna.