(Sumber : Gramedia )

Standarisasi Syukur via Media Sosial Perspektif Al-Quran

Daras Tafsir

M. Sa'ad Alfanny

  

Dialah Allah, Maha pemberi segala bentuk kenikmatan. Di era percepatan digital saat ini, media sosial menjadi platform utama bagi banyak orang untuk berbagi pengalaman, pencapaian, dan kebahagiaan. Namun seiring dengan transformasi tersebut, media sosial justru sering kali digunakan sebagai ekspresi rasa syukur di media sosial lebih condong pada pencitraan daripada keikhlasan. Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pedoman tentang bagaimana bersyukur dengan benar. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berulang kali menekankan pentingnya bersyukur dengan cara yang benar dan sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini tertuang dalam QS. Ibrahim : 7, yaitu: 

  

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kamu; tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."

  

Pada dasarnya ungkapan syukur dalam Islam, tidak hanya sebatas ungkapan “Alhamdulillah” semata. Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Ibnu Katsir mengungkapkan konsep dasar syukur (الشكر) yaitu pengakuan terhadap segala bentuk nikmat yang Allah beri, dengan pengaplikasian melalui hati, lisan, hingga perbuatan. Syukur yang dimaksud bukan sekedar seutas ucapan, namun perilaku manusia juga harus diwujudkan atas kenikmatan tersebut sehingga berusaha menjadi lebih baik. Perbuatan yang teraplikasi atas syukur tersebut telah Allah gambarkan dalam kisah nabi Daud pada QS. Saba\': 13. 

  

"Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur." 

  

Hal ini kemudian Ibnu Katsir lebih lanjut menjelaskan tentang perbuatannya pasca ucapan syukur. Sehingga syukur yang terpahami dengan akal kebenaran tidak dialih fungsikan justru terjerembab kepada kekufuran. Apabila syukur ditandemkan dengan sosal media yang secara masif menampilkan algoritma atas nikmat yang Allah beri, maka ucapan syukur yang difahami harus benar-benar sesuai dengan esensi Syukur sekaligus pengaplikasiannya. Ada beberapa standarisasi syukur via media sosial yang harus kita pegang agar hal yang baik tersebut justru tidak bernilai ibadah karena salah pengaplikasian.

  

Standarisasi pertama adalah menghindari rasa pamer hingga kesombongan dalam meninggikan kenikmatan yang diberikan Allah. Hal ini mutlak harus terdoktrin bagi diri setiap manusia karena Allah sendiri sangat murka terhadap mereka para hambanya yang sedikit saja mempunyai sifat kesombongan dalam hatinya. Jika syukur di media sosial hanya sebagai standar pamer bagi diri seorang maka bisa jadi akan terjerumus pada sifat tercela 'ujub (bangga diri) hingga takabur. Niatkan dalam memuji hal apapun dalam sosial meria untuk kepentingan kebaikan bagi diri guna menginspirasi bagi yang lain. 

  

Standarisasi selanjutnya yaitu memuat unsur edukasi hingga inspirasi dengan batas kesopanan. Unggahan rasa syukur atas nikmat yang Allah beri hendaknya memiliki nuansa edukatif dan inspiratif. Misalnya, menceritakan pengalaman kenikmatan dengan caption mendidik yang bertujuan untuk memantik semangat bagi pengikutnya semakin berkembang kearah kebaikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah "Dan ceritakan lah nikmat Tuhanmu." QS. Ad-Dhuha : 11. 

  

Standarisasi yang terakhir adalah penggunaan media sosial secara bijak sebagai sarana berbagi kebaikan. Dalam ajaran Islam sendiri setiap individu hendaknya mengajak yang lain kearah kebaikan dan ketaatan. Media sosial yang tidak dapat dibatasi atas arus hendak informasinya digunakan secara bijak, tidak hanya sebatas pencapaian pamer. Hal ini sedikit banyak akan menginspirasi segelintir orang untuk setidaknya dalam hati tergerak untuk melakukan kebaikan atas berbagi yang di-upload dalam media sosial.

  

Kesimpulan atas pembahasan ini adalah terima kasih atas nikmat harus teraplikasi bukan sebatas ungkapan “Alhamdulillah” semata. Tindakan atas kenikmatan yang diberikan juga harus dipikirkan untuk menuju ke arah yang lebih baik. Dalam konteks media sosial, rasa syukur dapat kita ceritakan kepada orang lain dengan menghindari niat 'pamer' atau bahkan sombong dalam setiap pencapaian.

  

Hakikat manusia yang tidak pernah puas atas pencapaian pada era kini justru dikendalikan oleh pencapaian manusia yang lain. Atas dasar permasalahan di atas, hendaknya segala pencapaian yang kita dapat musti berlandaskan pada niat tulus guna mendidik sekaligus menginspirasi bagi yang lain. Oleh karena itu, terima kasih melalui postingan di media sosial bukan hanya berbagi terhadap kebahagiaan. Namun justru sebagai ladang pahala karena menerapkan rasa terima kasih dengan tepat. 

  

Semoga Allah memberikan diri kita penataan jiwa dan hati guna kearah yang lebih baik sekaligus bijaksana dalam bermedia sosial. Wallahu A'lam.