“Kyai Tiban” dari Bumi Majapahit
HorizonOleh Sari Agustiani
Bumi Majapahit, tidak hanya terkenal dengan Sejarah Raja-raja Nusantara yang hebat tapi juga ulama-ulama besarnya, salah satunya adalah “Kyai Tiban” yang sakti julukan untuk KH. Moh Musthofa dari Dusun Klinter Desa Canggu, Jetis Mojokerto. Masyhur sebagai pembuat onar pada masa mudanya tetapi kemudian memiliki ilmu tiban tentang agama dan kesaktian yang tinggi. Beliau mengajarkan Tarikat Qadariyah Naqsabandiyah dengan pengikut yang cukup banyak. Meski sudah lama tiada, makamnya tidak pernah sepi dari peziarah. Warisan peninggalannya masih bisa dinikmati masyarakat sampai saat ini.
Beliau lahir dengan nama Mustamin pada tahun 1883 dari keluarga yang cukup berada, anak dari Singokerto, yakni Lurah Kedung Sumur Canggu Jetis Mojokerto. Kemasyhuran Mustamin sudah diawali dari masa kanak-kanaknya yang nakal. Dan kenakalannya semakin menjadi-jadi saat usianya menginjak remaja. Pada waktu itu umumnya pandangan masyarakat menganggap bahwa keperkasaan fisik berupa kesaktian menjadi tolak ukur kegagahan seseorang. Sosok Mustamin pun demikian, ia berguru kanuragan dari berbagai guru. Tidak hanya ilmu putih saja, ilmu hitampun ia pelajari. Dan yang menjadi masalahnya adalah, bahwa semua ilmu-ilmu tersebut ia peraktikkan, adapun cara praktiknya adalah dengan bertarung, mencuri, dan perbuatan asusila lainnya.
Perbuatan Mustamin yang menimbulkan kegaduhan dan keresahan masyarakat, berpengaruh terhadap keamanan warga setempat. Penduduk menjadi takut kepadanya, dikarenakan kenakalan dan kekuasaan yang dimiliki ayahnya. Akumulasi keresahan masyarakat tersebut akhirnya menggiring para tokoh setempat bermusyawarah untuk menyelesaikan permasalahan. Ki Lurah Singokerto pun hadir, dan tentu saja Ia menjadi gundah gulana saat mengetahui bahwa anaknyalah yang ternyata berulah. Akhir dari musyawarah, Ki Lurah Singokerto berjanji akan menyelesaikannya sendiri terkait ulah anaknya.
Ki Lurahpun menanyakan tujuan dari keonaran yang diperbuat oleh anaknya. Dan hasil dari percakapan keduanya, membuat Ki lurah faham bahwa anaknya hanya ingin menjadi dungdeng (sakti), kemudian sang ayah mencarikan solusi dengan memondokkan Mustamin agar mendapat bimbingan terarah dari guru-guru hebat.
Pengetahuan keilmuan agama Islam yang dimiliki Mustamin berawal dari sini, saat beliau dibawa pertama kali oleh ayahnya dan mondok di Surabaya. Tepatnya di pondok Sidosermo (nderesmo) dibawah pimpinan KH. Baidhowi. Masa beliau nyantri di pondok Sidosermo ini hanya satu tahun. Apa yang didapatnya dari pondok tersebut, ternyata Mustamin tidak diajar mengaji, hanya ditugasi menabuh beduk pertanda masuk waktu sholat, sehari dilakukan sebanyak lima kali selama nyantrinya. Hal ini menjadi ejekan para santri lainnya, karena apa yang bakal ia dapatkan kalau tugasnya hanya menabuh beduk saja. Sementara santri lainnya belajar ngaji al Qur’an dan kitab-kitab keagamaan. Realitas di atas ditanggapi oleh Mustamin dengan jawaban; “Bahwa perbuatannya tersebut hanya menaati perintah sang guru”.
Berikutnya beliau nyantri di Pati Jawa Tengah, dan di pondok inipun Mustamin tidak diajari ilmu agama oleh gurunya, hanya ditugasi menata dampar para santri yang hendak mengaji. Dan ia sendiri tidak diperbolehkan ikut mengaji. Jangankan ikut mengaji, saat baru dimulai ngaji, Mustamin diusir oleh gurunya. Kesedihan meliputi hati Mustamin, namun karena keinginannya untuk mengetahui apa yang diajarkan gurunya, maka setiap kali kyainya memberi kajian kepada santri-santrinya, ia naik genteng untuk mendengarkan isi pengajian Kyainya. Hal tersebut kerap ia lakukan, hingga suatu hari, saat Kyainya menmberi kajian ia tertidur di atas genteng, kemudian terjatuh dari genteng kebawah, tepat di depan pintu dan bertepatan pula dengan sang Kyai telah selesai mengaji. Betapa kaget dan marahnya Kyai, karena insiden itu terjadi saat sang Kyai melangkahkan kakinya keluar pintu. Walau Mustamin sudah minta maaf, dan menjelaskan bahwa keberadaannya di atas genteng tersebut karena ia ingin mengaji. Sang Kyai tetap marah dan mengusirnya sambil berkata; “Kalau begitu ilmuku ambil semua”.
“kata-kata kyai tersebut yang kemudian menjadi sebab ilmu Laduni yang diperoleh Mustamin. Mustamin juga memiliki ilmu tingkat tinggi, kepiawaiannya membaca kitab kuning pun diakui para santri-santrinya”, ungkap Sutikno, juru kunci makam mbah KH Mustofa bin Singokerto. ( wawancara, 19 Mei 2024).
Selanjutnya Mustamin menimba ilmu dipesantren Jrebeng Krian Sidoarjo. Pesantren ini diasuh oleh KH. Dasuki. Santri-santri dipondok ini mengenal bahwa sosok Mustamin sebagai sosok yang mempelajari ilmu hitam. Dalam mempelajari ilmu tersebut sosok Mustamin harus minum darah anjing terlebih dahulu, karena itulah sosoknya dianggap najis dan tidak ada yang mau tidur sekamar dengannya. Mustamin mengalah dengan tidur di lapangan. Dan waktu KH. Dasuki akan melaksanakan sholat malam, ia meliahat sinar silau yang menembus langit ditengah lapangan. Dan ternyata sinar tersebut berasal dari sosok yang tidur di lapangan, yang tidak lain adalah Mustamin. Dan kemudian beliau mendapat bai’at Thoriqot Naqsabandiyah Qodiriyah dari KH. Dasuki langsung.
Pulang dari mondok inilah, beliau berdakwah di desa Canggu, tempat kelahirannya. awalnya ia mendirikan pamulungan ( bangunan panggung) di tanah warisan keluarganya untuk mengajar ilmu tarikat Naqsabandiyah Qodiriyah. Di tengah kesibukannya mengajar ngaji santrinya, ia merasa belum sempurna sebelum berangkat haji. Iapun minta izin pada ibunya dan mendapatkan izin untuk berhaji. Selesai melaksanakan haji itulah namanya berubah, dan kemudian dikenal dengan KH. Muhammad Mustofa. Banyak santri dari berbagai daerah mulai ikut mengaji dan berbai’at dengan thoriqohnya. Santrinya beragam, mulai dari para maling celuring yang ditaklukannya dan ada yang memang murni ingin nyantri pada beliau. Penguasan KH Musthofa terhadap teks -teks arab sangat tinggi, ini diketahui dari koleksi kitab-kitab peninggalan KH. Musthofa yang cukup banyak, dan kita bisa mengetahuinya dari perpustakaan di yayasan KH, Musthofa. Bahkan kabarnya beliau sendiri punya karya kitab berbahasa arab tentang Thoriqoh, tapi tidak diketahui karya tersebut ada di tangan siapa selanjutnya, ujar Sutikno.
Ulama yang dikenal sakti ini wafat sejak 27 september 1955, Dan jenazahnya dimakamkan di belakang masjid Al Musthofa, keharuman namanya tidak redup. Beliau tetap dikenang hal ini ditandai dari haulnya secara rutin setiap tahunnya diperingati santri maupun anak cucu santri di masjid Al Musthofa. Makamnya tidak pernah sepi oleh peziarah, terutama pada waktu jum’at legi. Sayangnya semua bangunan legendaris sudah tidak ada, digantikan dengan bangunan-bangunan modern yang dinamai Masjid Al Musthofa. Lahan miliknya yang dulu menjadi masjid dan pamulangan diwakafkan untuk masjid dan lembaga pendidikan di bawah naungan Yayasan Al Musthofa. Perluasan tanah terus dilakukan oleh yayasan seiring berkembangnya lembaga pendidikan di yayasan tersebut. Maka saat ini kita melihat dari asal model pembelajaran pamulangan oleh KH Musthofa dilanjutkan oleh santri-santrinya dengan pendidikan formal yakni menjadi Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Tiga lembaga tersebut berkembang pesat, adapun saat ini untuk siswa MI Al Musthofa mempunyai siswa sekitar 600 orang untuk siswa MTs berjumlah 380an siswa dan siswa MA berjumlah 140 an siswa.
Sumber : Wawancara Sutikno (62 tahun) Juru kunci makam KH Musthofa bin Singokerto pada 19 mei 2024 di Masjid Al Musthafa