Beban Ganda Sang Wisudawan
HorizonOleh Eva Putriya Hasanah
Wisuda adalah momen yang sangat spesial bagi setiap lulusan. Namun, bagi beberapa wisudawan, momen yang seharusnya penuh kebahagiaan tersebut menjadi beban ganda yang sulit diatasi. Beban ganda wisudawan terjadi ketika mereka harus menghadapi tekanan dari keluarga dan masyarakat untuk mencapai kesuksesan dalam karir dan hidup mereka. Artikel ini adalah sajian hasil perbincangan saya dengan beberapa wisudawan tentang pengalaman mereka pasca kelulusan dan berupaya untuk menguak keresahan-keresahan yang mereka alami setelah wisuda.
Di Cap Gagal Kuliah Karena Tak Kunjung Bekerja
Sebagian besar orang menganggap bahwa mencapai gelar sarjana adalah prestasi yang patut dibanggakan. Namun, ada juga yang merasa bahwa cap kuliah di pandang tidak ada gunanya karena seseorang tidak menjadi apa-apa. Dalam hal ini adalah jabatan dan pekerjaan berprofesi yang mapan.
Pandangan seperti ini seringkali muncul ketika lulusan menghadapi tantangan pasca-kuliah, seperti sulitnya mencari pekerjaan, kesulitan menyesuaikan diri dengan dunia kerja ataupun telah bekerja namun tidak sesuai dengan standar profesi yang di pegang oleh masyarakat. Seperti menjadi freelance ilustrator, penulis, programmer, virtual assistant, pebisnis dan bukannya menjadi PNS atau pegawai kantoran. Disitulah wisudawan di anggap gagal.
Selain itu, wisudawan seringkali dihadapkan pada standar yang tinggi dari masyarakat yang menuntut mereka untuk mencapai kesuksesan di usia yang masih muda. Standar tersebut seringkali membuat wisudawan merasa tertekan dan sulit untuk menentukan arah yang tepat dalam karir dan hidup mereka.
Habis Lulus Dipaksa Menikah
Selain pekerjaan, tekanan lain yang sering dialami oleh lulusan adalah keharusan untuk segera menikah. Terutama bagi lulusan perempuan, tekanan ini seringkali datang dari keluarga dan masyarakat yang masih memegang pandangan bahwa perempuan harus menikah secepat mungkin setelah lulus kuliah.
Menikah oleh masyarakat di pandang sebagai sebuah langkah penting dalam hidup dan tepat di lakukan setelah wisuda, bahkan lebih penting daripada mengejar karir. Hal ini seringkali membuat lulusan merasa terbebani dan sulit untuk menentukan arah karir mereka karena mereka merasa terikat dengan tanggung jawab untuk menikah. Disamping itu, tingginya angka pengangguran di Indonesia seringkali membuat lulusan sulit untuk menemukan pekerjaan yang memadai dan sesuai dengan minat mereka. Hal ini membuat lulusan merasa tidak berdaya dan tidak memiliki pilihan selain menikah.
Tekanan untuk menikah setelah lulus kuliah juga seringkali membuat lulusan merasa stres dan tidak bahagia. Mereka merasa terpaksa untuk menikah tanpa mempertimbangkan keinginan dan kebahagiaan mereka sendiri. Hal ini seringkali menyebabkan konflik batin dan ketidakpastian di antara para wisudawan.
Seseorang harus memahami bahwa menikah bukanlah satu-satunya pilihan dalam hidup dan tidak menjamin kesiapan seseorang untuk menikah. Selain itu, seseorang juga harus mempertimbangkan keinginan dan kebahagiaan mereka sendiri dalam menentukan apakah mereka siap untuk menikah atau tidak. Menikah bukanlah suatu keharusan yang harus di lakukan secepat mungkin dan seseorang harus memastikan bahwa mereka siap secara emosional, mental, dan finansial sebelum memutuskan untuk menikah.
Untuk mengatasi beban ganda wisudawan, penting bagi para wisudawan untuk memahami bahwa kesuksesan tidak selalu berarti mencapai tujuan dalam waktu yang singkat. Mereka harus memperoleh kesempatan untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka dan memberikan waktu yang cukup untuk menentukan arah yang tepat dalam karir dan hidup mereka.
Selain itu, penting untuk mengurangi tekanan dari keluarga dan masyarakat dalam menentukan arah hidup dan karir. Para wisudawan harus memahami bahwa hidup bukan hanya tentang mencapai kesuksesan dalam karir, tetapi juga tentang menemukan kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup mereka.