(Sumber : pecihitam.org)

Dakwah Islam Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadri di Kalimantan Barat

Horizon

Oleh Muhammad Damanhuri

  

Sejarah selalu menarik untuk dikaji, karena dengan mempelajari sejarah kita akan mendapat pengetahuan baru mengenai kejadian-kejadian di masa lampau yang turut memengaruhi kehidupan umat manusia saat ini. Kesultanan Melayu yang menjadi salah satu objek dari kajian sejarah di Kalimantan Barat yang didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Ibni Al-Habib Husien Bin Ahmad Al-Qadrie pada Tahun 1771 M sekaligus yang menjadi cikal bakal dari terbentuknya Kota Pontianak. Banyak peninggalan-peninggalan sejarah dari Kesultanan Kadriah yang masih bisa diamati hingga saat ini, antara lain Keraton Kesultanan Kadriah Masjid Jami Sultan Abdurrahman Al-Qadrie, makam Kesultanan Batu Layang, bahkan keturunan dan kerabat Kesultanan yang masih tinggal di lingkungan keraton. Hingga sekarang, Islam menjadi sebuah agama yang besar di Kalimantan Barat, pada titik-titik daerah yang menjadi kekuasaan Kerajaan Islam dulu juga masih terdapat peninggalan jejak sejarah berupa Keraton Kesultanan, benda-benda peninggalan kerajaan, bahkan keturunannya pun ada dan menjadi bagian dari masyarakat Kalimantan Barat. 

  

Kehadiran Kesultanan yang bercorak Islami memberi pengaruh besar bagi perkembangan Islam di Pontianak. Kesultanan Pontianak mempunyai tempat strategis yang berlokasi di pinggiran Sungai Kapuas dengan Sultan Syarif Abdurrahman Al-qadrie sebagai pemimpinnya, bahkan bagi Kalimantan Barat. Keraton Kadriah menjadi peradapan pertama yang melambangkan bahwa Islam sudah berkembang di Pontianak. Hal ini juga yang menjadi awal mula sejarah Islam berkembang di Pontianak dan kemudian menjadi bukti keberhasilan Sultan Syarif Abdurrahman Al-qadrie dalam melakukan Islamisasi di Pontianak melalui Kekuasaannya.

  

Keberhasilan dakwah Kesultanan Kadriah melalui proses yang panjang tak terlepas karena faktor komunikasi yang efektif dalam setiap menyampaikan pesan-pesan Islam. Jika mengingat teknologi pada masa Kesultanan belum canggih seperti halnya zaman sekarang menjadi indikasi bahwa Kesultanan Kadriah mempunyai metode jitu dalam menyebarkan Islam melalui dakwahnya. Oleh sebab itu, penelitian ini merupakan mengkaji keberhasilan dakwah Kesultanan Kadriah dari perspektif komunikasi dakwah yang digunakan, dimana peneliti ini akan menjelaskan metode, media dan faktor apa saja yang melatarbelakangi kesuksesan dakwah Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie.

  

Dengan komunikasi dakwah yang dilakukan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie maka Islam bisa berkembang pesat di lingkungan Kesultanan dan lambat laun menjadi kenyakinan yang dianut oleh mayoritas masyarakat Kota Pontianak. Hal ini menunjukkan bahwa kesultanan ataupun kerajaan Islam menjadi media yang mampu memberi pengaruh yang signifikan bagi perkembangan Islam. Kemampuan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie dalam menyampaikan dakwah mencakup dua jenis komunikasi sekaligus, yaitu komunikasi verbal dan non verbal. Artinya hanya dengan keberadaan Kesultanan Islam sudah memberi pengaruh kepada masyarakat disekitarnya, juga pada kebijakan-kebijakan yang saat itu diselenggarakan oleh Kesultanan sebagai pusat pemerintahan diseluruh wilayah yang menjadi kekuasaannya. 

  

Kekuasaan secara terminologi yang dikemukakan oleh Hovland dalam Efendi yang dikutip A. Markama yaitu “Communication is the prosess by which an individual as communicator transmits stimuli to modify the behavior of other individuals”, komunikasi merupakan suatu proses dimana seorang komunikator mengirimkan stimulus untuk mengubah perilaku dari orang lain atau komunikan. Komunikasi adalah “proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.

  

Selain faktor komunikasi yang efektif, sama seperti sejarah peradaban Islam di daerah lain di Indonesia, pendekatan kebudayaan dalam menyebarkan ajaran Islam juga menjadi salah satu cara yang digunakan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri dalam melakukan Islamisasi di Pontianak. Proses dialog Islam dengan tradisi masyarakat diwujudkan dalam mekanisme proses kultural dalam menghadapi negosiasi lokal. Di sinilah, Islam dan tradisi masyarakat ditempatkan dalam posisinya yang sejajar untuk berdialog secara kreatif agar salah satunya tidak berada dalam posisi yang subordinat, yang berakibat pada sikap saling melemahkan. Perpaduan dan tradisi masyarakat ini adalah sebuah kekayaan tafsir lokal agar Islam tidak tampil hampa terhadap realitas yang sesungguhnya. Islam tidak harus dipersepsikan sebagai Islam yang ada di Arab, tetapi Islam mesti berdialog dengan tradisi masyarakat setempat.

  

Kemampuan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri dalam meramu strategi menyebarkan ajaran Islam melalui tradisi dan budaya lokal membuat Islam mudah diterima dan tersebar sampai ke lapisan masyarakat paling bawah. Akibatnya, kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat setempat, sehingga Islam mengalami tranformasi bukan saja karena jarak antara Arab dengan Indonesia, tetapi juga jarak-jarak kultural. Berbicara tentang penngaruh kultur dan adat lokal dalam kaitannya dengan agama, di sana terlihat adanya pergulatan untuk mengompromikan pesan religius keagamaan yang disinergikan dengan muatan lokal. 

  

Pendekatan Islam dengan muatan lokal adalah metode akulturasi dakwah yang digunakan para pemuka agama Islam awal, dari sejarah-sejarah yang tertulis, metode akulturasi kebudayaan juga menjadi salah satu cara yang digunakan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri dalam menyebarkan Islam di Pontianak. Akulturasi merupakan fenomena yang dihasilkan ketika dua kelompok yang berbeda kebudayaannya mulai melakukan kontak langsung yang diikuti oleh pola kebudayaan asli salah satu kelompok kebudayaan tersebut.7Akulturasi budaya Islam dilakukan dengan memenuhi batasan-batasan tentang budaaya yang baik dan boleh dilakukan manusia, batasan tersebut yakni: tidak melanggar ketentuan halal-haram, mendatangkan kebaikan, tidak menimbulkan kerusakan, sesuai dengan prinsip wala’ (kecintaan kepada Allah SWT dan apasaja yang dicinntai Allah SWT), dan al-Bara’ (berlepas diri dan membenci apa saja yang dibenci Allah SWT).

  

Hal seperti ini yang menarik untuk dikaji, karena efektivitas dakwah Kesultanan dalam melakukan Islamisasi memberi dampak besar bagi perkembangan Islam di masa lalu. Kesultanan bisa disebut sebagai media atau sarana dalam menyampaikan komunikasi dakwah yang berisi ajaran agama Islam. Berbeda dengan pemahaman tentang media saat ini yang identik dengan teknologi, padahal yang dianggap media modern saat ini sulit untuk memberikan timbal balik seperti yang diharapkan. Media saat ini justeru menjadi wahana kebebasan berbicara seseorang dengan orang lain. Karena aksesnya tidak terbendung dan bisa digunakan oleh siapa saja dan dimana saja. 

  

Sebagai peninggalan sejarah awal mula peradaban Islam di Kalimantan Barat, khusunya di Pontianak. Keraton Kadriah menjadi objek yang meneraik dan dikaji oleh para akademisi baik dari Kalimantan dan dari luar Kalimantan. Kajian yang pernah dilakukan dengan objek Kesultanan Kadriah diantaranya adalah artikel yang pernah ditulis oleh Alfan Firmanto tentang “Jejak Sejarah Kesultanan Pontianak” dengan melakukan kajian inskripsi pada makam kesultanan Batu Layang. Kemudian Bibi Suprianto pernah menulis tentang “Sejarah Kesultanan Pontianak dalam Mengembangkan Pendidikan Islam pada tahun 1771M-1108M. Emusti Rivasintha pernah menulis tentang “Pelajaran Sejarah Islamisasi melalui Metode Resitasi dengan objek Keraton Kadriah Pontianak”. Di antara kajian-kajian itu dan kajian lainnya, belum ditemukan sejarah yang menjelaskan unsur komunikasi dakwah yang digunakan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadri dalam melakukan Islamisasi di Pontianak yang mencakup strategi dakwah, metode dakwah, dan media yang digunakan dalam melakukan dakwahnya.