(Sumber : UKM Indonesia )

Digital Trusted, BLT dan Kemakmuran Bersama

Horizon

Oleh: Muhamad Ahsan

Pekerja Seni, UIN Sunan Ampel Surabaya

  

Tapping, ‘tutul’ dan scanning telah menjadi kebiasaan aktivitas manusia saat ini. Saat Anda bertransaksi, ketiga kata tersebut menjadi pilihan Anda untuk menyelesaikan proses transaksi. Semua itu terjadi karena selain literasi teknologi yang baik (dari Anda), juga dibantu perangkat gawai pintar dan perkembangan teknologi yang cerdas. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, Anda tetap butuh listrik untuk membuat gawai pintar Anda tetap berfungsi.

  

Apa yang telah diilustrasikan di atas, menjadi bukti bahwa telah terjadi ‘digital trusted’ pada aktivitas kita sehari-hari. Kekayaan Anda diukur oleh seberapa banyak angka nol (0) pada mobile banking Anda di rekening bank manapun. Anda sudah tidak (jarang) membutuhkan uang kertas lagi untuk bertransaki. Artinya kemanapun Anda pergi, ketika gawai pintar Anda menyertai Anda, maka Anda akan merasa tenang untuk mendukung aktivitas Anda sehari-hari.

  

Anda hanya membutuhkan sedikit uang kertas yang tersedia di dompet untuk menyelesaikan transaksi Anda ketika Anda berada di desa atau pedalaman yang jauh dari hiruk pikuk aktivitas ekonomi. Sebenarnya transaksi di desa atau pedalaman dapat dilakukan, hanya saja terkendala oleh terhentinya pembangunan Based Tranceiver Station (BTS) yang bermasalah itu. Bila, BTS yang berfungsi mengirim dan menerima sinyal itu tidak bermasalah, seharusnya ada 9.113 desa di seluruh Indonesia yang ‘melek’ sinyal. Sehingga bila Anda bertugas di desa atau pedalaman sekalipun, dompet Anda juga tidak perlu terlalu tebal dengan uang kertas sebagai alat tukar.

  

Uang kertas dan logam (sebagai alat tukar) yang di cetak Bank Indonesia (BI) itu tentu membutuhkan biaya untuk mencetaknya. Entah berapa biaya untuk mencetaknya, sampai BI ‘mewanti-wanti’ agar jangan melipat dan merusak uang kertas agar tetap layak edar. Padahal bila menilik sejarah alat tukar, cangkang kerang pernah disepakati sebagai alat tukar pada masanya. Dibeberapa daerah terpencil dan peredaran uang masih sedikit, alat tukar seperti  cangkang kerang tadi masih berlaku. Dokter-dokter yang bertugas di pedalaman, terkadang menerima satu tandan pisang atau satu karung ‘singkong’ sebagai ganti biaya berobat pasien yang tidak memiliki uang sebagai alat pembayaran. Artinya, bila transaksi disepakati 2 belah pihak dan alat tukar tersebut (dianggap) memiliki nilai, maka transaksi akan terjadi. Suka sama suka, ridlo sama ridlo dan Ikhlas sama Ikhlas.

  

Saat ini, dengan perkembangan teknologi, kepercayaan antara dua belah pihak sebagai alat transaksi yang sah adalah ‘angka digital’. Ketika Anda berbelanja, Anda melakukan tapping, tutul atau scanning dan si penerima (penjual, pemilik produk/jasa) dapat menerima cara transaksi tersebut dan melihat angka di gawai pintarnya bertambah (nolnya) maka selesai sudah transaksinya. Sebenarnya model transaksi seperti ini sudah bukan hal yang baru karena proses tersebut semakin masif ketika pandemi COVID-19 melanda dunia.

  

Penciptaan mata uang digital juga sudah diinisiasi oleh para innovator[1] dunia dengan membangun komunitas trusted. Ya, mata uang kripto (crypto currency). Sebut saja ada bitcoin, ethereum, dogecoin. litecoin dan banyak lagi. Hal tersebut menandakan bahwa sudah terciptanya komunitas yang saling mempercayai mata uang kripto sebagai alat tukar. Beberapa negara yang memperbolehkan mata uang kripto dapat dilacak di media digital. Ada Sembilan negara yang melegalkan bitcoin dan beberapa negara melarang serta tidak memiliki aturan yang jelas alias malu-malu dan tetap saja transaksi terjadi di pasar gelap.  Sepertinya yang melarang merasa ‘tersinggung’ otoritasnya karena ‘terancam’ dengan sistem keuangan yang progresif ini. 

  

Di Indonesia, investor mata uang kripto hampir tembus 17 juta. Daftar kripto yang legal sampai bulan Agustus 2022 sebanyak 383 kripto. Angka cantik. Dan itu terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) yang bertanggung jawab pada menteri perdagangan. Karena ‘ada bunyi’ mata uang kripto ini diperdagangkan, maka mata uang kripto ini divonis haram oleh Majelis Ulama Indonesia. Entah kalau nanti ada embel-embel syariahnya, seperti ethereum syariah, misalnya. Mungkin saja bisa berubah. Yang pasti, mata uang digital tersebut [2] dapat menjadi pengungkit aktivitas kolaborasi ekonomi.

  

Berbicara tentang inovasi dan kolaborasi, apa yang Anda bayangkan bila Anda menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam bentuk digital dengan angka 2 dan nol sebanyak sembilan ke rekening Anda? Dapatkah bantuan tersebut disebut sebagai bantuan uang digital? Toh, otoritas yang berwenang tidak perlu mencetaknya, hanya mengirimkan angka melalui teknologi. Pemilik rekening tentu akan kegirangan seperti mendapat durian runtuh.

  

Ada yang berpendapat, “wah bisa inflasi nanti”. Itu benar. Tetapi serahkan saja semua urusannya pada yang berwenang, seperti menteri keuangan dan BI. Biar mereka yang mengurusi. Pertanyaannya adalah, siapa operator yang akan ‘menginjeksi’ rekening penduduk yang memenuhi kriteria dapat menerima BLT? Kejujuran dalam proses ini benar-benar dibutuhkan untuk verifikasi data yang valid dan handal. Bila tidak tentu akan salah sasaran. Sayangnya proyek BTS kemarin belum terwujud sesuai rencana.

  

Seandainya BTS yang direncakan tersebut terwujud maka, proses memakmurkan rakyat akan lebih mudah. Otoritas yang berwenang sebagai perpanjangan tangan pemerintah dapat melakukan sosialisasi penggunaan pembayaran digital dan membuka rekening bank secara digital sampai ke daerah-daerah terpencil. Tentunya, masyarakat hanya diminta menyediakan gawai pintar. Transaksi digital akan meningkatkan lalu lintas barang dan jasa. Meningkatkan permintaan secara agregat dan peredaran uang digital tetap terjaga. Mungkin kebijakan yang dikeluarkan oleh otoritas moneter akan membatasi penggunaan ‘angka digital’ dari ‘kaum penerima BLT’ untuk menjaga stabilitas. Yang jelas mereka tidak akan miskin lagi (harusnya) karena sudah diinjeksi dengan nol sebanyak sembilan. Rekening mereka menyimpan kekayaan angka digital milyaran rupiah dan otoritas juga tidak perlu mengeluarkan biaya cetak untuk itu. Cukup menunjuk operator sebagai perpanjangan tangan. Implikasinya lagi, QRIS (Quick Response Code Indonesia Standard) akan lebih masif digunakan sebagai alat pembayaran non-tunai. Sebab sampai Februari 2023 pengguna QRIS masih 24,9 juta. Sehinggan jargon CEMUMUAH (cepat, mudah, murah, aman, dan (h)andal) lebih meriah. Mungkinkah?

  

Sumber Bacaan:

  

[1] H. Albayati, S. K. Kim, and J. J. Rho, “Accepting financial transactions using blockchain technology and cryptocurrency: A customer perspective approach,” Technol. Soc., vol. 62, no. June, p. 101320, 2020.

  

[2] M. Ertz and É. Boily, “The rise of the digital economy: Thoughts on blockchain technology and cryptocurrencies for the collaborative economy,” Int. J. Innov. Stud., vol. 3, no. 4, pp. 84–93, 2019.