(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Dr. KH. Afifuddin Muhajir, M.Ag: Kamus Berjalan Dalam Forum Bahtsul Masail

Horizon

Oleh: Abdul Wasik. M.HI

Dosen STAI At Taqwa Bondowoso & Mahasiswa Pasca Sarjana UINKHAS Jember

  

“Kamus Berjalan” julukan ini yang terkenal di pondok pesantren sukorejo yang diberikan langsung almarhum KHR. As’ad Syamsul Arifin kepada beliau hingga sekarang. Julukan ini tidaklah muncul tiba-tiba, pastinya ada asbabul wurudnya. Teks-teks kitab beliau hafal, paham, komparasi dan dijelaskan secara gamblang menuju titik pemahaman yang sangat memuaskan.  Diberbagai  kegiatan bahtsul masail baik tingkat regional atau nasional beliau dipercaya sebagai mushohihnya dan tidak jarang selalu dipertemukan dengan orang hebat dan ahli debat dibidangnya, sebut saja kiai masdar Farid Mas’udi seorang pakar fikih zakat dan pajak, kiai miftachul akhyar yang sekarang menjabat sebagai ketua MUI Pusat periode 2020-2025, Prof. KH. Said Aqil Siradj, Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D. atau yang akrab dipanggil Gus Nadir , Prof. Kiai machasin dan beberapa kiai lainnya. Bukan tanpa alasan, karena beliau sangatlah lihai dalam menyelesaikan segala persoalan, baik Bahtsul Masa’il Ad-Diniyah Al-Waqi’iyah Ataupun Berkaitan Dengan Ad-Diniyah Al-Maudu’iyah. Disamping itu, beliau terkenal kiai yang sangat tegas dan lugas dalam mengambil keputusan.

  

Ketika diundang Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) sebagai salah satu tim mushohhih Bahtsul Masail, beliau menyampaikan: “Sebenarnya tim perumus itu dari satu sisi juga termasuk peserta bahtsul masa’il yang juga mempunyai hak untuk menyampaikan pendapatnya, begitu juga pendapatnya bisa saja ditanggapi oleh peserta yang lain, dan hal itu juga dibenarkan dalam bahtsul masa’il. Akan tetapi, bukan berarti pendapatnya yang harus diambil, karena tim perumus itu setara kedudukannya dengan peserta yang lain artinya tidak lebih tinggi kedudukannya daripada peserta yang lain.

  

Beliau menambahkan “Tapi yang pernah saya lihat dari cara perumusan atau Mungkin perlu ada acara kritikan terhadap kesimpulan yang dibacakan oleh tim perumus, karna kadang-kadang kesimpulannya tidak seperti apa yang dibaca sebelumnya, kadang saya tidak yakin terhadap kesesuaian apa yang disimpulkan dengan apa yang dibacakan. Kadang kesimpulan yang ada tidak seperti apa yang ada dalam diskripsi masalah. Oleh karena itu, tim perumus harus membaca terhadap apa yang disampaikan “ betulkah teks ini artinya begini dan seterusnya”.

  

Sebagai langkah antisipasi kegiatan LBM berikutnya dan yang harus diperbaiki adalah ketepatan dalam membuat rumusan hukum, dan hal ini harus banyak latihan caranya membuat rumusan hukum. Karena rumusan itu harus jelas, singkat dan mudah dipahami oleh peserta. Karena kadang-kadang ada kesenjangan antara ibarah kitab dengan rumusan atau kesimpulan hukumnya.

  

Sedikit kami ungkap hasil interview dan pemikiran beliau tentang pelaksanaan bahtsul masa’il. Bagaimana pandangan kiai, ketika menyaksikan langsung proses bahtsul masa’il yang dilakukan oleh Lajnah Bahtsul Masa’il?

  

Saya kira, secara umum LBM NU sudah memenuhi standart dalam bahtsul masa’il NU. Standart dalam artian bahtsul masa’il yang mereka lakukan belum ideal, semestinya bahtsul masa’il ada yang ideal, ada yang standart dan ada pula yang di bawah standart, sedangkan yang ada dibondowoso itu masih standart tidak istimewa, kalau saya nilai mungkin mendapat nilai 7. dan nilai itu sudah dilihat dari semua sisi, terutama dalam pembacaan kitabnya masih belum teliti. Padahal bahtsul masa’il itu yang paling penting adalah ke tahqiq-an dalam baca kitab, sehingga kalau saya mendegar mereka baca kitab kadang saya tidak paham terhadap apa yang mereka baca, sehingga saya harus minta “mana redaksinya”, apalagi dibaca dengan cepat. Padahal membaca dan memahami kitab adalah modal utama dalam menelaah kitab. Model-model yang dilakukan masih berputar sekitar teks belum pada tataran istinbat yang menggunakan kaidah-kaidah ushuliyah dan qowaidul al-fiqhiyyah. Selama model yang mereka pakai adalah pendekatan teks ونحوه وما يليها maka modal utamanya adalah ketelitian dan kebenaran dalam memahami teks kitab.

  


Baca Juga : Wawasan Kebangsaan

Ketika menanggapi atau mendiskripsikan masalah (تصوير المسائل), seringkali musyawirin masih saling beradu pemahaman terhadap eksistensi masalah tersebut?

  

Memang yang pertama di dalam bahtsul masa’il adalah harus ada diskripsi masalah. Karena jawaban yang benar dalam menanggapai masalah itu adalah tergantung terahadap pemahaman yang benar terhadap suatu masalah itu. Jadi  جواب المسله فرع عن تصوره  (jawaban suatu masalah merupakan bagian dari diskripsi masalah), sehingga kalau tashowwurnya salah mungkin jawabannya salah juga, dengan istilah lain فهم السؤل نصف الجواب  (memahami suatu masalah adalah separuh dari jawaban). Oleh karena itu, seharusnya  diskripsi masalahnya harus jelas. Kalau permasalahan itu berkaitan dengan hal-hal yang baru, harus mendatangkan orang-orang yang ahli dibidangnya, ketika berkaitan dengan kedokteran harus mendatangkan dokter, berkaitan dengan peranian hars mendatangkan ahli pertanian/ petani dan lain sebagainya dalam rangka tashowwur masalah.

  

Tahapan-tahapan yang dilakukan oleh peserta bahtsul masa’il antara lain: mengajukan pertanyaan/masalah, diskripsi masalah, pengajuan referensi / jawaban, tanggapan dari masing-masing jawaban, rumusan jawaban masalah dan tashih. Apa hal itu sudah memenuhi kreteria tahapan bahtsul masa’il?

  

Tahapan-tahapan dalam bahtsul masa’il itu meliputi: diskripsi masalah, tanggapan terhadap diskripsi masalah / kritik masalah, kemudian dicarikan persetujuan masalah, yang disetujui adalah bentuk masalahnya apa? Karena tidak semuanya masalah yang disetujui itu tidak seperti masalah yang ada pada undangan dan jawaban terhadap suatu masalah yang disepakati yang sudah pasti melalui ma’khodz karena pendekatannya menggunakan pendekatan teks.

  

Mungkin perlu ada acara kritikan terhadap kesimpulan yang dibacakan oleh tim perumus, karena kadang-kadang kesimpulannya tidak seperti apa yang dibaca sebelumnya, kadang saya tidak yakin terhadap kesesuaian apa yang disimpulkan dengan apa yang dibacakan. Kadang kesimpulan yang ada tidak seperti apa yang ada dalam diskripsi masalah. Oleh karena itu, tim perumus harus membaca terhadap apa yang disampaikan “ betulkah teks ini artinya begini dan seterusnya”.

  

Bagaimana kiai menanggapi rumusan jawaban dari tim perumus? Sebenarnya tim perumus itu dari satu sisi juga termasuk peserta bahtsul masa’il yang juga mempunyai hak untuk menyampaikan pendapatnya, begitu juga pendapatnya bisa saja ditanggapi oleh peserta yang lain, dan hal itu juga dibenarkan dalam bahtsul masa’il. Akan tetapi, bukan berarti pendapatnya yang harus diambil, karena tim perumus itu setara kedudukannya dengan peserta yang lain artinya tidak lebih tinggi kedudukannya daripada peserta yang lain.

  

Menurut kiai, bagaimana seharusnya yang terjadi di dalam sistem bahtsul masa’il? Yang harus diperbaiki adalah ketepatan dalam membuat rumusan hukum dan hal ini harus banyak latihan caranya membuat rumusan hukum. Karena rumusan itu harus jelas, singkat dan mudah dipahami oleh peserta. Karena kadang-kadang ada kesenjangan antara ibarah kitab dengan rumusan atau kesimpulan, karena nash itu kadang tidak langsung dan ketika itu tidak langsung maka harus ada sambungan. Misalnya hukumnya haram dan nashnya seperti ini. Kadang-kadang di dalam nash itu ada yang langsung menukik pada persoalan walaupun substansinya ada pada ibarah itu, makanya perlu ada sambungan.

  

Ada informasi bahwa LBM mengalami bias Syafi’iyah? Kita yang ada di indonesia ini, secara umum menganut Syafi’iyyah dalam segala konteks ibadah, sedangkan dalam muamalah tidak harus mengambil pendapat syafi’iyah, karena yang menjadi prioritas dalam muamalah adalah maslahah  kepada ummat, sehingga tidak menjadi persoalan pendapat mereka mengambil dari syafi’iyyah. Dan terkadang, secara mayoritas referensi yang diambil adalah pendapat-pendapat imam syafi’i atau syafi’iyah dan sedikit sekali yang mengambil dari pendapat imam yang lain. Ini hanya kekurangan literasi yang mengakomodir semua kitab imam madzhab serta didominasinya pembacaan mereka terhadap kitab klasik hanya terfokus kepada qaul Imam syafi’i, baik dimasyarakat ataupun ketika masih belajar dipesantren, sehingga kecendrungannya senantiasa mengambil ibaroh dari apa yang biasa mereka baca.