Gus Dur, Natal dan Masa Depan Beragama
HorizonAli Mursyid Azizi
Memasuki bulan Desember, selain dikenal sebagai bulan Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) juga identik dengan perayaan Natal umat Kristen. Banyak cerita yang bisa yang bisa diangkat kembali ke publik bagaimana hubungan Gus Dur dengan tokoh Kristen bernama Romo Mangun. Bahkan ia pun pernah menunaikan sholat di kamar Romo Mangun yang di dalamnya lengkap akan aksesoris peribadahan Kristen.
Dari aksi nyeleneh Gus Dur dan berbeda dengan para Kiai Nahdlatul Ulama (NU) pada umumnya, sempat mendapat penolakan dari kalangan Nahdliyin sendiri. Hal demikian tidak lepas dari pandangan bahwa kalangan tokoh NU sendiri masih jarang yang berani berinteraksi langsung dengan umat agama lain di Indonesia.
Tidak banyak orang yang tahu tentang misi besar Gus Dur yang tengah merajut benang persatuan antar umat beragama kala itu. Tahun 1996, ketika itu terjadi perusakan beberapa Gereka di Situbondo akibat kerusuhan. Pada kejadian itu, Gus Dur memerintahkan tentara Nahdliyin (Banser) untuk mengawal jalannya perayaan Natal umat Nasrani di berbagai daerah. Hingga pada akhirnya terjadi peristiwa mengenaskan yang kini kembali dikenang di jagad media sosial, yaitu aksi heroik Riyanto (anggota Banser) penyelamat Gereja Eben Heaser Mojokerto dari bom teroris.
Sempat Gus Dur dikafirkan oleh salah seorang Habib lantaran terlibat dalam acara khidmat Gereja lantaran ia melantunkan Puisi Yesus Kristus di depan jamaat Kristen. Dari kejadikan ini bahkan Gus Dur dicap murtad oleh kalangan Islam garis keras yang kerap kali mengkafirkan dan mendi’ahkan. Namun, demikian di hadapan Gus Dur merupakan hal kecil yang tidak perlu untuk diladeni (dibalas).
Jika ingin mengulik kembali pandangan Gus Dur tentang Natal, perlu kiranya membaca karyanya yang bertajuk “Harlah, Maulid, dan Natal” yang ditulis pada Desember 2003 ketika berada di Yerussalem. Gus Dur dalam karyanya tersebut menafsirkan secara terperinci bagaimana pandangannya perihal Natal umat Nasrani, sebagaimana bahasa penyampaiannya yang telah disederhanakan oleh Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M. Ag (Aktivis Gusdurian dan Wakil Rektor III UIN Sunan Ampel Surabaya), sebagai berikut:
“…Istilah “Natal” merupakan saat Isa Al-Masih dilahirkan oleh “perawan suci” ke dunia bernama Maryam… Istilah Natal dalam Qur’an dikenal-disebut dengan “yauma wulida” artinya: hari kelahiran, yang mana oleh para mufassir ditujukan pada lahirnya Nabi Isa, di dalamnya terkutip: “kedamaian atas orang yang dilahirkan (hari ini)” (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan pada beliau atau pada Nabi Daud. Sebaliknya Firman Allah dalam surat al-Maryam: “Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku” (al-salamu ‘alayya yauma wulidtu), demikian jelas merujuk pada ucapan Nabi Isa.
Bahwa kemudian Nabi Isa dijadikan anak Tuhan oleh umat Kristiani, merupakan hal yang lain lagi. Demikian asrtinya, upacara Natal secara jelas diakui dalam Qur’an, dan sebagai kata penunjuk kelahiran beliau, yang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang sama tetapi dengan maksud yang berbeda, merupakan hal yang tidak perlu dipermasalahkan. Jika penulis merayakan natal adalah penghormatan untuk beliau dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai salah satu Nabi Allah SWT. Kemerdekaan bagi kaum muslimin untuk turut menghormati hari lahirnya Nabi Isa, yang dalam konteks saat ini dikenal Natal. Mereka bebas merayakan atau tidak, karena demikian sesuatu yang tidak dilarang oleh agama.”.
Baca Juga : Alasan Kampus Islam Sulit Menjadi Pilihan?
Ukhuwah Basyariyyah: Sebuah Tali Pengikat
Apa yang dilakukan Gus Dur terhadap umat agama lain tidak lepas dari prinsip Islam yang berlandaskan Al-Qur’an. Tidak hanya pada kalangan Kristiani, Gus Dur kerap kali membangun dialog hangat dengan pemeluk Hindu, Buddha, Aliran Kepercayaan dan bahkan beliau dijadikan tokoh penting oleh kalangan Khonghucu atas perannya melindungi umat Tionghoa di tanah air.
Aspek mendasar yang patut dipahami bersama dari tindakan Gus Dur dalam menjalin hubungan dengan pemeluk agama lain yaitu menempatkan diri sebagai sesama manusia. Atau lebih praktisnya memanusiakan manusia. Tidak lain yaitu tidak merasa paling unggul atau merendahkan golongan tertentu. Perintah nilai-nilai Islam untuk menjalin persaudaraan atas dasar sesama manusia / makhluk Tuhan (ukhuwwah basyariyyah) adalah pisau utama Gus Dur dalam menepis paradigma kelompok ekstrem yang kerap kali menodong Gus Dur kafir.
Ukhuwwah Basyariyyah ibarat tali pengikat kehidupan beragama. Tidak hanya berlaku pada umat muslim saja, namun hakikat maknanya perlu dipahami oleh berbagai kalangan pemeluk agama. Bahwa betapa pentingnya menjaga persaudaraan dalam kehidupan sosial-budaya-agama di Indonesia yang begitu bercorak (banyak perbedaan). Dari sini nantinya segala bentuk hari raya pemeluk agama, baik Idul Fitri, Nyepi, Waisak dan bahkan Natal yang saat ini dilaksanakan oleh kalangan Nasrani berjalan penuh khidmat, aman, dan memahami arti persaudaraan.
Teringat atsar atau bahasa kekinian disebut quotes dari Sahabat Nabi Ali bin Abi Thalib dalam hal ini, yaitu: “Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan”.
Masa Depan Agama di Indonesia
Pemikiran dan tindakan Gus Dur bisa dibilang seribu langkah lebih maju daripada yang lain. Sebab, yang beliau pikirkan adalah bagaimana masa depan bangsa ini, begitu pula cara beragamanya. Dalam postingan yang diviralkan kalangan nahdliyin beberapa hari yang lalu salah satunya dari akun instagram @nuonline_id, dimana Alisa Wahid mengatakan bahwa prioritas Gus Dur dalam kehidupuan yaitu: pertama Islam, kedua Indonesia, ketiga NU, dan keempat baru keluarga.
Dari sini nampak sekali bahwa urusan bagaimana beragama dengan harmonis, tidak hanya dalam internal Islam saja namun juga berlaku terhadap agama lain. Istilah yang juga dikenalkan Gus Dur tentang toleransi, moderasi dan pluralisme beragama pun perlu dipahami secara seksama, bahwa pada hakikatnya adanya perbedaan di segala lini termasuk agama merupakan hal yang niscaya.
Al-Qur’an sebagai rujukan primer umat Islam juga menegaskan tentang hakikat perbedaan dalam surah al-Hujarat: 13, artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal….”
Maka menilik berbagai pemikiran Gus Dur, mulai dari membumikan toleransi, pluralis, atau yang kini muncul istilah populer Moderasi Beragama yang digaungkan Kementrian Agama RI merupakan langkah besar dalam upaya merawat harmonisasi beragama. Maka jika berkeinginan mencapai masa depan beragama yang lebih berkemajuan dan penuh rasa toleran, maka sosok seperti Gus Dur lah oleh Alvin L. Betran disebut panutan (role model) atas perannya yang begitu besar dalam urusan toleransi umat beragama.
Gus Dur adalah tokoh panutan semua kalangan dalam hal apa pun, baik di segi akhlak, keteladanan, keindonesiaan, bahkan dalam hal keagamaan pun pemikiran beliau adalah masa depan bangsa ini untuk menuju kehidupan harmonis, saling percaya dan menjaga.