Ketika Kuasa Jadi Senjata: Bahaya Relasi Tidak Seimbang dalam Kekerasan Seksual
HorizonBayangkan kamu datang ke kelas dengan harapan mendapat ilmu, ke rumah ibadah untuk mencari ketenangan, atau ke rumah sakit untuk mengobati diri. Tapi alih-alih merasa aman, kamu justru bertemu mimpi buruk dalam bentuk orang-orang yang seharusnya bisa kamu percaya.
Di balik gelar, seragam, jubah, atau jas putih, ternyata ada orang-orang yang menjadikan kekuasaan sebagai senjata. Mereka bukan penjahat di lorong gelap. Mereka ada di depan kelas, di balik mimbar, di ruang praktik medis, bahkan di kantor kepolisian. Dan ironisnya, kejahatan itu terjadi justru karena mereka punya kekuasaan—dan kita, sebagai masyarakat, membiarkannya.
Kasus-kasus yang muncul di belakangan ini membuat kita tercengang. Seorang dosen UGM, Prof. Edy Meiyanto, dihentikan setelah terbukti melecehkan mahasiswinya. Di sebuah pesantren di Jombang, seorang kyai memperkosa belasan santriwati. Seorang dokter spesialis dari UNPAD, Priguna Anugrah, memperkosa anak pasien yang seharusnya ia rawat. Bahkan seorang Kapolres Ngada, AKBP Fajar, melaporkan melecehkan tiga anak di bawah umur.
Semua pelaku itu punya satu kesamaan yang mengerikan: mereka memegang posisi kekuasaan. Dan kekuasaan itulah yang membuat mereka merasa kebal, seolah tak terkesan hukum. Ini bukan sekadar soal hasrat atau nafsu. Ini adalah tentang dominasi. Tentang seseorang yang tahu ia punya kekuatan lebih, lalu menyalahgunakannya untuk menguasai tubuh dan mental orang lain.
Filsuf asal Prancis, Michel Foucault, pernah mengatakan bahwa kekuasaan seringkali termanifestasi dalam kendali atas tubuh. Relasi yang tidak seimbang antara guru-murid, dokter-pasien, pemuka agama-jamaah, atau aparat-rakyat membuka peluang terjadinya kekerasan. Dan sistem kita masih terlalu lemah untuk mencegahnya.
Menurut laporan Komnas Perempuan tahun 2022, 6 dari 10 korban kekerasan seksual memilih diam. Bukan karena tidak ingin melawan, tapi karena takut. Takut tidak dipercaya. Takut disalahkan. Takut dilabeli buruk oleh masyarakat, apalagi jika pelakunya adalah tokoh berpengaruh. Sering kali, institusi tempat pelaku bekerja lebih sibuk menjaga nama baik daripada mendengarkan omongan korban.
Dalam hubungan kekuasaan yang timpang, suara korban akhirnya hilang. Bahkan untuk sekedar mengatakan “tidak”, mereka merasa tak punya ruang. Tak sedikit yang akhirnya menyalahkan diri sendiri, karena merasa tidak cukup kuat melawan, padahal yang terjadi sebenarnya adalah sistem tidak memberi perlindungan kepada mereka.
Baca Juga : Prasangka dan Keimanan
Ini bukan masalah individu, ini adalah kegagalan sistemik. Ketika lembaga pendidikan, institusi keagamaan, dan aparat hukum tidak bisa melindungi orang-orang yang berada di bawah naungannya, maka masyarakat kehilangan rasa aman. Rasa percaya luntur. Kita semua jadi korban, bukan hanya mereka yang mengalami langsung kekerasan itu.
Psikolog Dr. Rosemarie Tong menyebut bahwa kekerasan seksual berdasarkan kekuasaan yang merusak struktur sosial. Dan menurut kriminolog Dr. David Garland, kejahatan seperti ini seharusnya dihukum lebih berat. Karena selain menyakiti korban secara fisik dan psikologis, pelaku juga mempertahankan posisi kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat.
Sudah saatnya kita menolak anggapan bahwa ini hanya masalah individu. Kita harus melihat ini sebagai penyakit dalam sistem. Karena kalau pelaku terus dibiarkan, korban terus dibungkam, dan institusi terus menutup mata, maka kekerasan seksual akan selalu punya tempat untuk tumbuh.
Jangan lagi diam. Jangan lagi memberi ruang pada dalih “yang penting tidak mencemarkan nama baik.” Nama baik siapa? Karena setiap kali kita bungkam demi menjaga citra, kita justru memperkuat para pemangsa.
Mendengar suara korban. Percayalah pada cerita mereka. Dorong institusi untuk transparan dan tegas. Dan jika kamu berada dalam posisi kekuasaan—apa pun bentuknya—gunakan itu untuk melindungi, bukan menyakiti.
Karena kekuatan seharusnya jadi pelindung, bukan pisau yang menyayat diam-diam.