(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Kontradiksi Beragama dalam Multikulturalisme: Islam Tajuk Nusantara dengan Islam Arab Konservatisme

Horizon

Oleh: Rendra Adam Nugroho

Mahasiswa Sarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

  

Islam dalam bingkai kebudayaan atau unsur kedaerahan kini menghasilkan berbagai cara pandang, yang kemudian berakibat pada terciptanya kelompok-kelompok dalam agama Islam. Hadirnya kelompok-kelompok ini sebenarnya bukan menjadi masalah, namun permasalahan baru muncul ketika adanya sikap destruktif dari sebagian kelompok, terutama bagi mereka yang terlalu pragmatis dan fanatik terhadap kelompoknya. Kontradiksi yang muncul adalah bahwa beragama tidak bisa di campur dengan budaya, agama adalah sesutu yang murni dan tidak bisa di tambah atau kurangi. Namun tanpa sadar mereka sudah terjebak dalam kebudayaan-kebudayaan Arab sebagai tempat Islam ini di turunkan. Sehingga apa yang berada diluar kebiasaannya dianggap melanggar ketentuan agama.

  

Seperti yang kita amati di akhir-akhir ini, kelompok ortodoks kini mulai melakukan pergerakan yang masif di Indonesia. Bahkan pergerakannya tidak sebatas pada penyebaran paham, tetapi telah menginjak pada memperlihatkan eksistensinya. Meski wadah dari kelompok ini sudah dilarang oleh pemerintah, tapi mereka tetap melakukan pergerakan bawah tanah dengan memanfaatkan berbagai media. Wacana jihad yang diangkat telah di wujudkan dalam tindakan yang destruktif dan tidak masuk akal. Seperti pada peristiwa bom bunuh diri yang sudah sering terjadi, ketika melakukan pengeboman pada yang mereka anggap berlawanan. Hal ini adalah buah dari cara berpikir yang konsevatif dan pragmatif, sehingga mereka tidak dapat menerima apa yang berada diluar kebiasaan mereka.

  

Jika melihat kelompok radikal ini lebih mendalam, terdapat pertentangan antara misi mereka dengan Islam ketika pertama kali di turunkan. Jika Islam diturunkan agar menjadi rahmatan lil \'alamin maka lain halnya dengan mereka yang justru selalu menebar kebencian dan kebermusuhan baik dalam Islam itu sendiri maupun dengan agama lain. Alquran dan hadits di tafsirkan dengan pemikiran yang cekak, tanpa menilik kembali sebab-sebab munculnya ayat ataupun hadits tersebut. Atau bahkan mengutip potongan-potongan ayat tanpa melihat sebelum ataupun sesudahnya. Seolah-olah pandai dan ahli memahami Alquran dan hadits tapi sejatinya jauh dari substansi kitab Allah. Ujaran mereka yang terkesan mulia dan seolah ingin menjaga memurnian dan kejayaan Islam sebenarnya jatuh pada sikap merasa paling benar. Kecenderungan ofensif mereka tidak sesuai dengan realitas kehidupan dengan mengabaikan seruan Islam yang mengutamakan kemanusiaan dan kedamaian.

  

Sebenarnya tidak ada yang salah dalam sikap konservatif, setiap manusia berhak berekspresi dan memilih cara mereka beragama asal memperhatikan betul substansi dari jalan yang dipilihnya. Dan juga hal tersebut masih dalam jangkauan urusan antara individu dengan Tuhannya tanpa harus mencampuri bahkan sampai merugikan orang lain. Hal itulah yang dalam bahasa jawa di sebutkan, \"tepa salira, tansah awas, eling lan waspada.\" Artinya dalam setiap urusan dengan sesama manusia, jangan sampai ada pertikaian yang nantinya membawa kerugian, dan selalu ingat bahwa Tuhan selalu memperhatikan hambanya. Selalu waspada pada kebenaran yang di pahami saat ini, karena tidak ada nilai mutlak dalam benar dan salah. Kebenaran yang di yakini saat ini bisa jadi adalah kesalah yang belum di pahami. Dan begitu juga seharusnya sikap dalam beragama.

  

Dalam masyarakat jawa, Islam terkesan menjadi lebih adaptatif tanpa harus meninggalkan nila ke-Islam-annya. Artinya ada aspek yang harus di sesuaikan tanpa melanggar batas-batas beragama. Segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara mahdloh tidak bisa di ubah, namun di luar itu kita di perkenankan memgekspresikan bentuk kecintaan kita terhadap Tuhan. Dalam ungkapan jawa, \"Jawa di gawa, arab di garap, barat di ruwat\". Artinya karena kita berada di jawa, kita tidak harus meninggalkan unsur-unsur kejawaan. Dan meski begitu bukan berarti kita tidak bisa menerima segala bentuk budaya dari luar.

  

Beragama dengan Tajuk Islam Nusantara adalah jalan yang dihasilkan setelah proses panjang para walisanga dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Yaitu ketika para walisanga ini melihat bahwa orang jawa telah memiliki kebudayaan-kebudayaan serta tradisi yang sudah melekat dalam diri mereka. Sehingga pada prosesnya, para walisanga tidak menyebarkan agama Islam dengan penuh pertentangan dan ketegangan. Namun ajaran agama diberi jalan beriringan dengan kebudayaan lokal, sehingga masyarakat jawapun tidak melakukan penolakan secara langsung. 

  

Kemudian nilai-nilai yang dirasa kurang pas dan berlawanan dengan ajaran Islam kemudian di sesuaikan. Seperti dalam upacara-upacara yang di dalamnya terdapat suguhan \"nasi tumpeng\". Jika pada awalnya nasi tumpeng ini disuguhkan dengan menggunakan daging manusia (ingkung manusia) sebagai lauknya, maka oleh para walisanga kemudian di sesuaikan dengan menggantinya menggunakan daging binatang ternak seperti ayam dan menyertakan doa-doa Islami meski menggunakan bahasa Arab ataupun di terjemahkan dalam bahasa Jawa. Penyesuaian-penyesuaian seperti inilah yang dilakukan secara perlahan dan terus menerus sehingga kini tercipta yang kita kenal sebagai Islam Nusantara.