(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Negosiasi Dakwah di Tengah Paradoks Keberagamaan Akibat Pandemi Covid-19

Horizon

Oleh: Drs. Prihananto., M.Ag

(Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UINSA Surabaya)

  

Pandemi Covid-19 telah mengubah semua lini dan tatanan kehidupan. Perubahan mendera pada aspek ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, politik dan keberagamaan masyarakat. Praksis kehidupan yang sebelumnya ada menjadi berkurang, dibatasi bahkan hilang. Sebaliknya kebiasaan yang dulunya tidak ada menjadi ada.  Perubahan tersebut kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai the new normal. Sebenarnya konsep the new normal ini bukanlah sesuatu yang baru karena pernah muncul dan digunakan pada tahun 2003 oleh Roger McNamee dalam artikel di majalah Fast Company yang kemudian dijadikan sebuah buku populernya berjudul “The New Normal: Great Opportunities in a Time of Great Risk”. Hasil tracing penggunaan istilah yang demikian inilah patut diduga menyebabkan World Economic Forum (WEF) menyatakan “There is nothing new about the new normal”.

  

Tanpa bermaksud mempermasalahkan asal usul dan subtansi makna istilah the new normal dan derivasinya, pandemi Covid-19 telah mempopulerkan istilah ini se antero jagad raya dan dunia maya. Gaung the new normal semakin terasa seiring dengan penerapan kebijakan publik untuk memutus rantai penyebaran dan penularan Covid-19 seperti adaptasi kebiasaan baru, tatanan normal baru, pembatasan sosial berskala besar, dan sebagainya. Obrolan pak Jo dan pak Min di sebuah warung kopi di pelosok pedesaan berikut ini sebagai penanda betapa pandemi Covid 19 “mengisi” ruang diskursif mereka berdua.

  

Pak Jo:  Waduh gara-gara korona terawih harus di rumah, tidak boleh salaman, salat berjamaah di masjid makmumnya disuruh berjauhan

Pak Min: Aku tidak peduli, masak orang sekarang lebih takut pada korona daripada Allah. Bagiku semua penyakit termasuk korona itu takdir dari Allah, jika Allah menakdirkan sakit, kita tidak bisa menolak. Jadi sakit sehat, hidup dan mati itu takdir Allah

Pak Jo : Kalau aku sih tetap manut lan nurut apa anjuran pemerintah. Bukankah sering kita dengarkan pengajian kiyai bahwa selain menyerahkan semua urusan kita kepada Allah, kita harus ikhtiar

  

Penggalan dialog ala warung kopi tersebut merepresentasikan bagaimana sikap keberagamaan pak Jo dan pak Min terhadap pandemi Covid-19. Responsi sikap seperti ini muncul ketika mereka berdua melihat aktivitas keagamaan mulai salat berjamaah, shalat Jumat, salat Idul Fitri dan Idul Adha, ritual pengurusan jenazah, sampai dengan kegiatan pengajian semua serba mengikuti protokol kesehatan. Dialog pak Jo dan pak Min tidak sekadar miniatur respon warga desa tetapi bisa kita pakai sebagai sketsa sikap beragama di kalangan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. 

  

Bahkan fenomena tergambarkan dalam paragraf di atas, merupakan sikap paradoks umat Islam dalam menghadapi wabah sepanjang lintasan sejarah peradaban dunia. Pandemi Covid-19 tidak hanya melahirkan paradoks keberagamaan, melainkan juga bentuk paradoks lainnya, sebagaimana dipaparkan oleh Remco van de Pas dalam Clingendael Report (May, 2020) berjudul “Globalization Paradox and the Coronavirus Pandemic”. Michael Walters Dols akademisi sejarah dan agama pada California State University, mencatat bahwa paradoks umat Islam di tengah wabah “maut hitam” (the black death) telah muncul sejak abad pertengahan.  Dua buku karyanya “The Black death in the Middle East” (Princenton University Press: 1977)  dan “Medieval Islamic Medicine” (Berkerley: 1992) menjelaskan bahwa dua wajah paradoks umat Islam dimaksud adalah mazhab takdir dan mazhab ikhtiar.

  

Mazhab takdir memahami wabah sebagai ketentuan teologis, takdir yang tidak bisa ditolak. Umat Islam harus memperbanyak doa, amal, taubat, mendekatkan diri kepada Allah. Pengikut mazhab takdir memiliki sikap fatalistik yang tercermin dari ungkapan keyakinan mengapa harus takut pada Corona, takut itu hanya kepada Allah karena hidup dan mati merupakan ketentuan Allah. Jika menyimak obrolan warung kopi di awal tulisan ini, sikap dan pemahaman pak Min merupakan representasi mazhab takdir atau dalam terminologi Azumardi Azra dikategorisasikan sebagai splinter agama (Republika, 26/3/2020).

  

Mazhab ikhtiar atau kelompok mainstream pinjam istilahnya Azra memahami wabah sebagai kenyataan empiris yang menuntut ikhtiar untuk mengatasinya. Sembari mendekatkan diri kepada Allah, umat Islam wajib melakukan upaya maksimal untuk mencari keselamatan. Doktrin teologis yang disemaikan kelompok ini antara lain menghindari petaka harus didahulukan daripada maslahat. 

  

Sikap orang Islam, tidak terkecuali Pak Jo dan Pak Min, hari ini dalam menghadapi pandemi tidak dapat dipisahkan dari “memori kolektif” yang diwarisi dalam bentuk dua pemahaman tersebut. Bahkan dua wajah paradoks agama muncul lebih tegas pada saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.

  

Sikap keberagamaan yang menampilkan parodoksial ini tentu menjadi amatan serius bagi kalangan akademisi dan praktisi dakwah. Fenomena paradoks keberagamaan di tengah pandemi Covid-19 akan memantik analytical question seperti apa dan bagaimana pesan dakwah yang disampaikan kepada Pak Jo dan Pak Min yang bertahan pada pemahaman keyakinan masing-masing, media dakwah apa yang applicable dan fashionable, kualifikasi dan kompetensi apa yang mesti dimiliki oleh da’i. Tentu masih bisa ditambah dengan sederetan potensi problematika lainnya yang berangkat dari analisis komponen dakwah, baik dalam perspektif dakwah sebagai sebuah sistem dengan komponen da’i, mad’u, maddah, wasilah, dan atsar, maupun dakwah sebagai sub sistem dari sebuah sistem makro. Juga bukan merupakan suatu tindakan “latah” apabila akademisi dan praktisi dakwah dalam mengembangkan dan menegosiasikan dakwah dengan menggunakan perspektif teori perubahan Pentahelix Colaboration (lima jalinan) antara lain pemerintah, masyarakat, akademisi, pengusaha dan media.  

  

Kajian kritis komponen dakwah yang dilakukan diharapkan memberikan respon secara futuristik terhadap perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang makin menjadi paradigma kehidupan sehari-hari. Menurut International Institute for Environment and Development (IIED) karakter the new normal adalah grow global solidarity, listen to science and value key workers who apply it, the path to a new normal must be clean and green, the power of citizen participation (Prof. Jusuf Irianto, materi Webinar: Penyusunan Perencanaan Strategis FDK UINSA Surabaya, Rabu, 9/9/2020). Kemudian, jika ditinjau dari makna di atas serta perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, menurut hemat saya wajah keberagamaan mazhab ikhtiar atau kelompok mainstream akan memiliki daya tekan yang lebih besar. Sehingga, akan banyak diikuti oleh banyak orang karena lebih adaptif terhadap perubahan.

  

Paradoks keberagamaan yang terlahir dari pandemi Covid-19 akan menjadi peluang untuk reformulasi (memperhalus kata reformasi) dan mempromosikan dakwah yang lebih terbuka, berprespektif rahmatan lil alamin, responsif, adaptif terhadap tuntutan perkembangan zaman yang serba unpredictable dan turbulensi ini. Asumsi dan alur berpikir seperti inilah yang menginspirasi judul tulisan ini memakai kata “negosiasi dakwah”, sebuah tawaran bahwa aktivitas dakwah juga terbuka untuk bernegosiasi dengan perubahan zaman, sebagaimana kita bisa hidup damai berdampingan dengan Covid-19.

  

Tulisan ini baru sebatas “pancingan” terhadap munculnya kajian serius tentang dakwah pada masa pandemi maut hitam ini. Dengan keyakinan akademis dan teologis, jika kajian itu dilakukan secara terencana, terorganisir, terukur dan terlaksana akan membuka akselerasi pencapaian visi dan misi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UINSA Surabaya melalui dakwah transformatif yang berbasis riset dan teknologi informasi. Sehingga amanat penting narasumber terpelajar : Prof., Masdar Hilmy., S.Ag., MA., Ph.D, Prof., M. Mas’ud Said., MM., Ph.D., Prof., Dr., Drs. H. Jusuf Irianto., M.Com dan Prof., Dr. H. Nur Syam.,M.Si dalam Webinar Penyusunan Perencanaan Strategis FDK UINSA Surabaya mampu terejawantahkan dalam tindakan nyata semua civitas akademika kita. Semoga.