(Sumber : www.nursyamcentre.com)

Pentingnya "Emotional Well Being" Menghadapi Gelombang Pandemi Kedua

Horizon

Oleh: Novita Ayu Febriana 

Mahasiswa PPs UIN Sunan Ampel Surabaya 

  

Saat ini Indonesia masih dalam situasi darurat akibat wabah yang menyerang bangsa ini yaitu COVID 19. Wabah ini tidak memilih siapa yang akan dijangkiti, apa statusnya dan jabatannya. Sehingga keberadaannya sangatlah nyata dan membahayakan umat manusia di dunia. Terutama COVID gelombang kedua yang saat ini sedang menerpa masyarakat Indonesia yang dengan mutasi virus yang berbagai macam bentuk dan namanya seperti delta, lamda, kappa. Kondisi ini menyebabkan masyarakat Indonesia harus menjalankan segala bentuk protokol kesehatan seperti menggunakan masker double atau bertipe KN-95, KF-94 agar lebih terproteksi secara ketat, mencuci tangan menggunakan sabun, menyiapkan hand sanitizer yang sudah berlisensi kesehatan, menjaga jarak, dan demi upaya mengendalikan angka COVID akibat masih padatnya aktivitas yang mengakibatkan kerumunan serta banyaknya interaksi manusia, pemerintah menggalakan program yang bernama PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat).

  

Dengan semakin diperketatnya aturan untuk di rumah saja, informasi yang setiap harinya diterima pun banyak sekali korban-korban yang meninggal karena COVID. Hampir setiap hari penulis juga menerima berita duka di grup-grup media sosial dari rekan se kolega, teman sekolah, keluarga teman dekat, bahkan tetangga dan orang dari circle kita pun terkena dampaknya. Belum lagi pemberitaan yang dilihat di media baik berita di televisi, media cetak, dan internet setiap harinya menampilkan fenomena mengenai semakin tingginya angka COVID karena proses penularan yang semakin cepat, penderitaan orang-orang yang terjangkit virus tersebut karena tidak mendapatkan penanganan tepat, ada pula orang-orang yang masih menolak covid, maraknya pemberitaan tentang konspirasi virus delta dan vaksinasi, dan masih banyak lagi berita lainnya yang semakin tidak jelas arahnya. Kondisi ini tidak jarang membuat orang-orang yang melakukan isolasi mandiri di rumah, maupun yang masih memiliki tuntutan bekerja di luar jika mereka dalam kondisi yang tidak sepenuhnya sehat secara fisik maupun psikis akan mudah mengalami panik, depresi bahkan dalam taraf tertentu bisa menjadi paranoia. Sekalipun seseorang sudah menjaga pola hidupnya sehat secara fisik, namun jika tidak diiringi kondisi jiwa yang juga sehat maka akan mudah sekali tergoncang dan sangat bisa menurunkan imunitas.

  

Salah satu solusi yang bisa menjawab jika seseorang mulai mengalami gejala panik, depresi, dan juga sudah mulai stress dan tertekan di tengah situasi yang semacam ini adalah adanya emotional well-being atau bahasa sederhananya adalah kematangan emosi di dalam diri seseorang. Menurut Doyle, Hanks & Macdonalds dalam Pshycollogical Well Being, kematangan emosi adalah perhatian diri seseorang terhadap perasaan anxiety, depresi, takut, frustasi dan harapan hidup serta kemampuan untuk relaks dan berbahagia menghadapi dengan kondisi hidup yang dimiliki. Carol D.Ryff juga menyatakan kematangan emosi tidak hanya dilihat dari dimensi diri sendiri/subyektif tetapi juga bagaimana ia memposisikan diri dengan sosial dan lingkungannya. Dari beberapa pemaparan ilmuwan tersebut, bisa ditarik menjadi beberapa indikator sebagai berikut ; (1) dimensi subyektif, yaitu adanya kesadaran diri, kemampuan relaks dan juga kemampuan berbahagia dalam menghadapi masalah/ kehidupan yang ia miliki. (2) dimensi sosial dan lingkungan yang bisa diwujudkan dalam kemampuan memposisikan diri atau bisa juga disebut empati.

  

Jika di implementasikan dalam membangun kematangan emosi diri setiap individu di masa pandemi ini, penulis memaknai dimensi subyektif menjadi beberapa kondisi diri sebagai berikut (1) Memiliki awareness atau kepekaan, kesadaran dengan perasaan yang saat ini sedang dirasakan. Saat kita terserang panik dengan banyaknya pemberitaan yang terjadi, kondisi diri juga mungkin tidak terlalu prima sehingga mudah sewaktu-waktu drop, maka yang pertama dilakukan adalah kita memahami saat itu kita sedang merasa apa. Seringkali manusia saat merasa takut, panik, marah atau dalam kondisi emosi tertentu, mereka lupa merasakan sebenarnya mereka dalam kondisi emosi yang seperti apa. Sehingga sangat mudah dikuasai perasaan tersebut dan melakukan hal-hal yang terkadang di luar nalar seperti marah berlebihan hingga melempar barang, menyalurkannya pada orang lain, bahkan dalam taraf tertentu bisa melakukan sesuatu yang membuat dirinya celaka. Dengan adanya awareness ini membantu kita dalam mengenali diri kita, sehingga jika sudah memahami kondisi emosi kita bisa mencari tahu bagaimana upaya untuk mengelolanya agar tidak menimbulkan dampak-dampak yang negatif yang bisa menyakiti diri sendiri atau bahkan orang lain di sekeliling kita.

  

(2) Kemampuan untuk relaks atau menenangkan diri. Saat kita ingin cepat meredakan emosi, terkadang kita menggunakan tekhnik yang banyak dikembangkan yaitu cepat-cepat berfikir positif sampai terkadang kita masih tidak sadar kita masih merasa panik, takut, cemas dan dikuasai emosi. Jika kondisi perasaan masih menguasai, pikiran tidak bisa cepat-cepat beradaptasi ( Ryff,1989). Kita melupakan satu hal yang krusial yang bisa membantu kita untuk relaks. Hal tersebut adalah BERNAFAS. Dalam banyak studi mengenai meditasi, bernafas adalah kunci untuk menenangkan fikiran dan perasaan menuju kefokusan agar batin kita merasa tenang. Dengan batin yang tenang, mungkin juga bisa dengan bantuan instrument/music yang menenangkan, kita lebih bisa berfikir jernih dan memutuskan langkah-langkah apa yang bisa dilakukan selanjutnya.

  

(3) Setelah kita relaks, kemudian kita bisa mencoba untuk melatih kemampuan berbahagia dalam menghadapi masalah. Tentunya frase ini sangat mudah diucapkan namun sulit saat dilakukan. Untuk bisa menghadapi, tentunya membutuhkan sejumlah keberanian untuk melihat, menatap kedepan dan bergerak. Dr. Ruth Pearce seorang peneliti dibidang psikoanalitik dan perkembangan jiwa menyatakan bahwa semua orang punya insting untuk menghindarkan diri dari ancaman, sehingga ia berani. Dari argumentasi tersebut bisa disimpulkan juga bahwa sebenarnya di dalam diri setiap umat manusia sudah diberikan gift berupa insting untuk berani dan bertahan dalam menghadapi berbagai macam persoalan yang ada di depannya. Keberanian ini tidak sama dengan nekat, yang artinya tanpa perencanaan tanpa kewaspadaan kita bisa saja bertahan dengan menerobos aturan yang ada, kemudian bersikap skeptis terhadap keberadaan virus, apatis, yang malah bisa membahayakan diri kita sendiri. Berani menghadapi berarti kita berani bersikap sesuai dengan kapasitas yang kita miliki, dan tetap memikirkan konsekuensi atas pilihan kita. Contoh misalnya kita orang yang sangat mudah parno, kepikiran akan segala pemberitaan, kita bisa saja membatasi untuk tidak melihat informasi yang mungkin bisa saja menjadi toxic jika terus kita konsumsi.

  

Membatasi tidak sama dengan berhenti mencari informasi. Tetapi tahu batasan mana informasi yang saat ini kita butuhkan untuk kesehatan fisik dan jiwa kita, dan mana informasi yang sekiranya tambah membuat kita takut untuk menghadapi situasi ini. Seperti kata Analisa Widyaningrum seorang konsultan psikologi dalam channel youtubenya, too much information can kill you dalam kondisi yang seperti ini. Selanjutnya adalah tetap waspada, dan mengerti konsekuensi pilihan kita. Jika kita dirumah, maka tantangan yang kita hadapi adalah kebosanan, tekanan berbagai rutinitas dan deadline yang sama, serta ketakutan jika kelak berinteraksi dengan dunia luar. Jika kita mengetahui konsekuensi dari tantangan yang kita hadapi semacam itu, maka fokus pada solusinya seperti jika bosan dengan aktivitas maka cari variasi aktivitas lain yang bisa membunuh kebosanan namun tetap produktif seperti melakukan hobi lain, berkomunikasi virtual dengan orang lain, berolahraga untuk membuang hormon-hormon negatif, dan sebagainya. Jika memang terpaksa harus beraktivitas diluar rumah, maka yang harus dilakukan adalah memperketat protokol kesehatan, tetap patuh pada aturan yang tetap diberlakukan dan keikhlasan untuk menerima jika ada resiko-resiko terpapar. Namun resiko tersebut tetap bisa dikendalikan dengan keinginan dari kita untuk tetap menjaga kesehatan dan proteksi diri dari penularan virus.

  

Dimensi sosial berhubungan dengan kemampuan empati yaitu kemampuan memposisikan diri ditengah masyarakat atau kehidupan sosial. Seringkali individu memposisikan diri sebagai ‘korban’. Entah mengistilahkan korban positif covid, korban konspirasi elit dan istilah lainnya seolah-olah mereka bukan bagian dari masyarakat yang juga ikut sama-sama menjaga kesehatan. Pemosisian diri sebagai korban terkadang terkesan “egois” dimana seseorang tersebut merasa benar, sehat dan menyalahkan orang lain yang menularkan virus tersebut. Kondisi ini yang bisa menyebabkan ketimpangan cara berfikir dan membuat orang semakin abai dengan lingkungan sekitarnya karena keselamatan dirinyalah yang paling penting. Titik tengahnya adalah bagaimana setiap orang menjaga dirinya dan membangun mindset bisa saja dia mungkin menulari orang di sekitarnya, sehingga timbul kepedulian untuk saling menjaga. Kepada orang yang sudah terkena, juga tidak menghindari tetapi memberikan support berupa moril maupun materiil. Semoga dengan membangun Emotional Well-Being ini kita bisa menjadi pribadi yang kuat dan tetap tenang dalam menghadapi situasi pandemi hingga usai pada akhirnya.

  

Wallahu a’lam bi al shawab.