Perempuan dan Laki-laki dalam Al-Qur’an
HorizonEva Putriya Hasanah
Artikel ini akan memberikan gambaran tentang pandangan ayat-ayat Al-Qur'an dari perspektif tafsir M. Quraish Shihab. M. Quraish Shihab merupakan sorang figur yang moderat. Sikap moderatnya terbukti dengan gagasan-gagasannya yang dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Quraish Shihab berhasil mengunakan bahasa yang sederhana, lugas, dan rasional dalam menjelaskan ajaran-ajaran Islam. Ia juga adalah seorang penafsir yang kontekstualis. Dalam hal ini ia menekankan untuk memahami wahyu Illahi dengan cara kontektual dan tidak terjebak pada makna tekstual. Walaupun masih harus berpodaman pada kaidah-kaidah tafsir yang masih baku. Serta menekankan perlunya hati-hati dalam menafsirkan al-Quran sehingga tidak terjatuh pada kekeliruan penafsiran yang mengakibatkan suatu pendapat atas nama al-Quran. Ia pun memiliki banyak sekali karya yang bisa dijadikan rujukan. Quraish Shihab selaku mufassir yang hidup pada zaman modern agaknya akan menjadi penengah di tengah kondisi pro-kontra posisi perempuan dalam Islam.
Quraish Shihab menyatakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah suatu yang menjadi kepastian. Sebab, perbedaan sudah menjadi kodrat yang sudah termaktub dalam al-Quran. Perbedaan tersebut dari segi biologis antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian laki-laki maupun perempuan, sebagai makhluk individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing. Quraish Shihab juga menegaskan bahwa Allah swt selain menciptiakan adanya perbedaan laki-laki dan perempuan namun juga memberikan anugerah keistimewaan pada keduanya, al-Quran memberikan isyarat dalam Q. al-Nisa‘ (4) :32) :
“Janganlah kamu iri hati terhadap keistimewaan yang dianugerahkan Allah swt terhadap sebagian kamu atas sebagian yang lain, laki-laki mempunyai hak atas apa yang diusahakannya dan perempuan juga mempunyai hak atas apa yang diusahakannya.”
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa perbedaan yang sudah diciptakan oleh Allah swt terhadap laki-laki dan perempuan, menyebabkan adanya fungsi utama yang harus mereka emban masing-masing. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan berbeda atas dasar fungsi dan berbeda dalam tugas yang diemban. Laki-laki dan perempuan juga memperoleh kesamaan hak, atas apa yang diusahakannya atau sesuai dengan apa yang menjadi kewajibanya. Menurut Quraish Shihab, perbedaan biologis manusia tidak menjadikan perbedaan atas potensi yang diberikan oleh Allah swt kepada manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Keduanya memiliki tingkat kecerdasan dan kemampuan berpikir yang sama yang dianugerahkan oleh Allah swt. Di dalam al-Qur’an, Allah swt memuji Ulil Albab, yaitu yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian dan bumi. Zikir dan pikir yang mengantarkan manusia untuk menyingkap rahasia-rahasia alam semesta. Ulul albab tidak terbatas dalam laki-laki tetapi juga untuk perempuan. Karena setelah al-Quran menguraikan ayat-ayat yang membahas sifat-sifat ulul albab, berikutnya Al-Quran menegaskan dalam Q.S. Ali Imran (3) : 195 :
“Maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan mereka dengan firman: Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan.”
Dengan demikian, kaum perempuan setara dengan dan sejajar dengan kaum laki-laki dalam potensi intelektualnya. Sebagaimana kaum laki-laki, perempuan mempunyai kemampuan berpikir, mempelajari dan mengamalkan apa yang mereka hayati dari bertafakur dan berzikir kepada Allah swt dan juga dari yang mereka pikirkan dari alam semesta ini. Laki-laki dan perempuan juga sama dan setara di hadapan Allah swt.
Memang dalam al-Quran terdapat ayat yang berbicara tentang laki-laki sebagai pemimpin para perempuan (Q.S. An-Nisa (4) 34,) akan tetapi, kepemimpinan tersebut tidak boleh mengantarkan kepada kesewewang-wenangan. Karena al-Quran di satu sisi memerintahkan untuk tolong-menolong antara laki-laki dan perempuan pada sisi yang lain al-Qur’an juga memerintahkan untuk berdiskusi dan musyawarah dalam persoalan mereka. Tugas kepemimpinan itu selintas adalah sebagai sebuah keistimewaan dan derajat yang tinggi dari perempuan. Namun derajat itu adalah kebesaran hati suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban-kewajibanya.
Baca Juga : 5 Tahun Damar: Refleksi Perjalanan dan Harapan Baru untuk Masa Depan
Menurut Quraish Shihab, persamaan antara laki-laki dan perempuan baik laki-laki maupun perempuan, juga persamaan antar bangsa, suku, dan keturunan, adalah pokok ajaran dan prinsip utama dalam ajaran Islam, dalam al-Quran Allah swt swt berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptidakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling kenal-mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah swt adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnua Allah swt Maha Mengetahui dan lagi Maha Mengenal (Q.S. al-Hujarat (49) : 13)
Ayat di atas menegaskan tinggi rendah derajat seseorang ditentukan oleh nilai pengabdian dan ketakwaan kepada Allah swt. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam, laki-laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan yang mendasar dan subtansial dalam beberapa hal utama seperti asal kejadian, hak-haknya dalam berbagai bidang, dan kedudukan serta perannya, tugas dan tanggung jawabnya. Ayat tentang kepemimpinan laki-laki dalam Ayat 34 dari surah an-Nisa‘ memang diyakini oleh mayoritas mufassir bahwa kaum laki-laki di atas kaum perempuan, dan posisi itu merupakan sesuatu yang kodrati (given). Artinya bahwa Allah memang secara kodrati menempatkan serta mengunggulkan posisi kaum laki-laki di atas kaum perempuan. Kerenanya, kesuperioritasan laki-laki tidak bisa diubah dan mutlak. Kebanyakan mereka menggunakan ayat lain untuk mendukung pendapatnya, yaitu dalam surah Al-Baqarah[2]: 228.
Dalam surah al-Nisa‘[4]: 34 tersebut di atas menggunakan bentuk jamak yaitu qawwamun sejalan dengan makan kata al-rijal yang berarti banyak laki-laki. Seringkali kata ini diterjemahkan sebagai pemimpin. Tetapi menurut Quraish Shihab terjemahan tersebut belum sepenuhnya menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang dikandungnya. Atau dengan kata lain, dalam pengertian ―kepemimpinan tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan. Dalam hal ini, Quraish Shihab tidak menyepakati jika kata al-rijal yang di maksud laki-laki secara umum, karena konsiderannya bukan demikian. Terlebih lagi lanjutan ayat tersebut dan ayat berikutnya secara amat jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah tangga. Artinya dalam konteks ayat ini hanyalah laki-laki yang telah menjadi suami, yakni laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga saja, tidak berlaku dalam ranah publik.Sosok pemimpin yang mampu mengayomi, menuntun, memelihara lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama dan merasa memiliki.
Berbagai persoalan kadang kerap terjadi dalam setiap unit, terlebih keluarga, sehingga mutlak adanya seorang pemimpin. Karenanya Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin dalam sebuah keluarga dengan dua pertimbangan pokok. Pertama sesuai dengan penggalan ayat melebihkan Allah karena sebagian mereka atas sebagian yang lain dan dimaknai oleh Quraish Shihab dengan masing-masing suami istri memiliki keistimewaan masing-masing. Akan tetapi, keistimewaan yang dimiliki oleh kaum laki-laki lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang diberikan kepada kaum perempuan. Pun sebaliknya, bahwa keistimewaan perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada laki-laki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak. Adapun disebabkan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka bentuk madi (lampau) dalam penggalan ayat tersebut bagi Quraish Shihab menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada perempuan telah menjadi suatu kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat dahulu hingga sekarang. Baginya, alasan kedua ini cukup logis jika dikaitkan dengan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga. Tetapi, pada hakikatnya, ketetapan ini bukan hanya di atas pertimbangan materi. Terbukti bahwa kebanyakan laki-laki secara psikologis enggan diketahui dibelanjai oleh perempuan, dan merasa malu jika ada yang mengetahui kebutuhan hidupnya ditanggung oleh istrinya. Karena itu, menurut Quraish Shihab agama Islam semua tuntunannya sesuai dengan fitrah manusia.
Dari dua faktor tersebut di atas, keistimewaan fisik maupun psikis yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan yang menuntut adanya hak dari setiap kewajiban bukan berarti menjadi kewajiban taat secara mutlak. Jangankan terhadap suami, berbakti terhadap ibu bapak pun tidak boleh mencabut hak-hak pribadi seorang anak. Terlebih dalam keluarga, kepemimpinan laki-laki atas perempuan yang dianugerahkan Allah kepada suami tidak boleh mengantarnya kepada berbuat sewenang-wenang. Dalam menyelasikan permasalahan misalnya, musyawarah lebih diutamakan, termasuk persoalan rumah tangga.
Dalam tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menyatakan penafsiran ayat-ayat tentang penciptaan perempuan (hawa) yang berasal dari tulang rusuk laki-laki (Adam) sesungguhnya adalah sebuah ide yang mempengaruhi. Seperti yang pernah diutarakan oleh Rasyid Ridha bahwa ide tentang kisah Adam dan Hawa seperti itu adalah berasal dari kitab perjanjian lama. Dan sesungguhnya al-Quran tidak pernah memuat ide tersebut secara eksplisit di dalam redaksi ayat-ayatnya. Justru al-Quran diturunkan dalam rangka mengikis segala perbedaan yang membedakan laki-laki dan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.
Quraish Shihab menyimpulkan bahwa (kalaupun)pasangan Adam diciptakan dari tulang rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan perempuan selain Hawa demikian juga atau lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Ini karena semua laki-laki dan perempuan anak cucu Adam lahir dari gabungan antara pria dan wanita, sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat yang lain bahwa sebagian kamu adalah sebagian yang lain‖ (QS. Ali ‗Imran [3]: 195).
Laki-laki lahir dari pasangan pria dan wanita, begitu juga wanita. Karena itu, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya. Ini artinya, hak-hak perempuan baik hak di luar rumah, hak memperoleh pendidikan, hak politik dan sebagainya, setara dan sederajat dengan hak yang dimiliki oleh para kaum laki-laki, demikian juga dengan kewajiban dan peran perempuan, al-Quran tidak mendiskriminasi perempuan, dan membicarakan hal itu semua dalam konteks keadilan dan kesetaraan.
Quraish menyatakan bahwa kedangkalan pengetahuan agama lah yang menyebabkan merosotnya kedudukan perempuan serta pudarnya keistimewaan mereka. Namun, mirisnya di tengah masyarakat tidak jarang agama dikambinghitamkan sebagai penyebab merosotnya kedudukan perempuan. Al-Qur‘an konsiten menghapus ketidakadilan terhadap kaum perempuan tampak dalam ayat 58-59 dari surah al-Nahl[16]. Ayat tersebut mengecam mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak laki-laki, sebaliknya bersedih dengan kelahiran anak perempuan dengan menyatakan bahwa perbuatan tersebut amat buruk. Ayat ini dan semacamnya diturunkan dalam rangka mengikis habis segala macam pandangan yang membedakan laki-laki dengan perempuan, dalam bidang kemanusiaan khususnya. Ayat lain yang menggambarkan kekejaman terhadap anak perempuan adalah dalam QS. Al-Takwir[81]:9. Kecaman-kecaman tersebut dimaksudkan untuk mengantarkan kita bahwa kedua jenis anak laki-laki dan perempuan masing-masing memiliki keutamaan, tidak lah yang satu lebih utama dari yang lainnya.