Perjalanan KH. Ma’shum Muhtar, Kiai Karismatik Asal Turen
HorizonOleh: Sundari
Mahasiswa Program Doktor PAI UNISMA
Pondok Pesantren Manabiul Huda Desa Tumpukrenteng Kecamatan Turen Kabupaten Malang yang berkembang saat ini didirikan oleh seorang kiai yang berkarisma yaitu Romo KH. Ma’shum Mukhtar yang sudah melegenda orang awan memanggilnya dengan sebutan Kiai Tar. Secara topografi Desa Tumpukrenteng termasuk dalam kategori daerah dataran rendah dengan ketinggian ±440 meter dari permukaan laut. Desa Tumpukrenteng Kecamatan Turen Kabupaten Malang adalah wilayah dataran rendah yang mempunyai batas pada sebelah utara Desa Kidangbang Kecamatan Wajak, sebelah timur Desa Sananrejo Kecamatan Turen, sebelah barat Desa Sudimoro Kecamatan Bululawang dan sebelah selatan Desa Talangsuko Kecamatan Turen.
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa lembaga pendidikan agama Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kiai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya. Salah satu cara penyebaran dan pengajaran agama Islam di Indonesia dilakukan oleh lembaga pendidikan yang dikenal dengan sebutan pondok pesantren. Perannya sangat besar dalam masa-masa awal penyebaran Islam di Nusantara. Lembaga pendidikan agama Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kiai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kiai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.
KH. Ahmad Ma’shum Muhtar adalah putra daerah yang dilahirkan pada tahun 1939, beliau merupakan putra dari Mbah H. Sarijan dan Mbah Hj. Marijah yang berprofesi sebagai petani. Sejak kecil beliau sudah mondok untuk belajar agama Islam yang pertama dari pesantren sepuh yaitu Itihadul Muslimin Turen yang diasuh oleh KH. Manaf. Setelah tamat melanjutkan ke Pondok Pesantren Miftakhul Huda Gading Kasri Malang yang diasuh oleh KH. M. Yahya. Kemudian beliau melanjutkan ke Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi dan pindah lagu ke Pondok Pesantren Al-Ikhsan Jampes Kediri kemudian diambil menantu oleh KH. Muhammad Yahya.
Beliau menikah pada awal tahun 1970 dengan Ibu Nyai Chodijah (lahir tahun 1950) yang merupakan putri pertama KH. Muhammad Yahya dan dikaruniai 6 (enam) orang putra putri. Setelah menikah beliau mendirikan Pondok Pesantren Manabiul Huda di tanah keahirannya Desa Tumpukrenteng pada akhir tahun 1970.
Seiring dengan perkembangan dan pertambahan santri yang semula menjadi satu bangunan dengan rumah induk, pada tahun 1982 beliau menambah bangunan baru yang ditempati para santri. Kegigihan perjuangannya merintis pesantren beliau dibantu oleh KH. Masdar Fauzi pengasuh Pondok Pesantren Al-Ikhsan Pakisaji Kabupaten Malang.
Membimbing para santrinya dalam bidang tasawuf, beliau juga pernah menjadi Rois Jatman Kabupaten Malang yang menangani bidang pengamal tareqat. Terkenal sebagai ulama yang berkepribadian mulia dan memiliki keilmuan yang tinggi di bidang agama Islam. Beliau telah memberikan kontribusi besar dalam mengajar agama. Selain itu, beliau juga memiliki banyak cerita dan peristiwa yang menarik dalam hidupnya yang dapat menjadi pelajaran dan inspirasi bagi generasi muda. Dalam sejarah masa mudanya beliau ikut berjuang dalam membela bangsa dari rongrongan faham komunis yang masuk pesantren. Banyak ilmu duniawi diajarkan selain keagamaan juga mengajarkan bagaimana meraih uswah agar santri selain memperdalam agama tetapi juga diajarkan bagaimana cara memenuhi kebutuhan ekonomi. Seperti yang diketahui oleh putra-putrinya bahwa beliau tidak pernah meninggalkan salat berjamaah walaupun sedang dalam keadaan sakit. Kegigihan dan keistimewaan yang menjadi suri tauladan bagi putra-putrinya bahwa ketika beliau makan selalu mencari untuk diajak makan bersama dan meja makan menjadi media dan forum untuk memberi nasihat-nasihat “Sing rukun karo sedulur”. Beliau tidak makan sebelum putra-putrinya berkumpul di ruang makan.
Pondok Pesantren Manabiul Huda, tempat menimba ilmu sesuai dengan akidah aswaja an-nahdliyyah, tempat menempa akhlaqul karimah, tempat menimba ilmu ala madzahibil arbaah, kawah condrodimuko bagi para santri. Nilai-nilai ajaran beliau di pesantren harus diestafetkan, bukan diwariskan. Tentu kesiapan seluruh keluarga dan santri ponpes untuk menerima estafet nilai-nilai para perjuangan Kyai. Di antara nilai tersebut adalah komitmen untuk berdakwah. Kini kegiatan Pondok Pesantren Manabi’ul Huda dilanjutkan oleh oleh enam putra putrinya dan H. Syafaat Muhammad putra ketiganya yang menjadi ketua pengasuh pesantren Manabiul Huda, Turen, Malang, Jawa Timur. Pondok Manabi’ul Huda ini tidak menutup dalam menerima kunjungan yang ingin bersilaturahmi dari manapun. Tertulis dalam sosmed umat kristiani Turen beberapa waktu yang lalu ingin memperkuat toleransi keberagaman yang ada di wilayah. Indonesia terdiri dari kepulauan dengan adat istiadat yang berbeda yang dihuni oleh masyarakat multikultur dalam membangun hidup damai.
Beliau wafat pada hari ke-27 Ramadan 2009 dimakamkan di pemakaman keluarga yang terletak di belakang Masjid pesantren. Sosoknya dikenal sebagai tokoh ulama pemikir dan pejuang dalam pendidikan Islam di wilayah Malang selatan.