Pesantren Rakyat, Antara Abangan Dan Nilai Surgawi
HorizonOleh Abdullah Sam
Mahasiswa Program Doktoral PAI Multikultural UNISMA
Pada hari Rabu, 25 Juni 2008 berdirilah ide pendirian Pesantren Rakyat. Pesantren Rakyat ini hanyalah kubangan air keruh lagi kecil yang berada di padang pasir di bawah panasnya terik sinar matahari di mana di sekelilingnya banyak onta-onta haus dan kafilah-kafilah sedang melakukan perjalanan jauh sehingga kubangan air tersebut terasa lebih berharga dari pada emas permata yang mereka bawa. Begitu pula dengan Pesantren Rakyat, yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah lingkungan masyarakat stasiun, pasar, perjudian, togel, perselingkuhan, tempat wisata, penginapan gelap dan di daerah prostitusi terbesar di Kab. Malang, di mana masyarakatnya sangat plural atau heterogen sehingga mempengaruhi mental dan perilaku keseharian masyarakat dan generasi muda di sekelilingnya.
Di tengah berkembangnya sistem pendidikan Islam di Indonesia, pendidikan pesantren masih menjadi tujuan masyarakat untuk menitipkan anak-anak mereka menimba ilmu dan membentuk karakter generasi penerus yang diharapkan mampu dan siap menjadi pemimpin-pemimpin bangsa masa depan. Di antara model pesantren yang berkembang di masyarakat adalah Pesantren Rakyat yang pertama kali dirintis dan dikembangkan di Desa Sumberpucung Kecamatan Sumberpucung Kabupaten Malang. Pesantren Rakyat Al-Amin merupakan medan budaya nyantrinya kaum abangan yang semua aktivitasnya ala rakyat yang kemudian dibubuhi dengan nilai-nilai Ke-Islaman, Ke-Indonesiaan dan Kemanusiaan. Jika ditelaah kembali tipologi masyarakat Jawa berdasarkan penelitian Geertz (1960) tipologi kaum abangan memiliki garis pemisah dengan kaum santri, namun dalam realitas pesantren rakyat ini, kaum abangan yang hidup di dunia hitam penuh kemaksiatan yang penulis istilahkan dengan kaum abang ireng dalam kenyataannya dapat dipertemukan dengan kaum santri meskipun santri dimaksud adalah santri pinggiran.
Dalam kegiatannya, pesantren rakyat tidak saja mengajari ngaji kepada para santri dengan kitab tertentu, melainkan juga menggerakkan masyarakat untuk bekerja dalam menyelesaikan problem-problem kehidupan bersama, misalnya problem ekonomi, sosial, keagamaan, kesenian, pendidikan bagi anak-anaknya, dan lain-lain. Oleh karena itu, santri pada Pesantren Rakyat bisa dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu santri inti, santri kalong, dan santri pendukung. Disebut sebagai santri inti adalah mereka yang belajar mengaji dan bermukim di Pesantren Rakyat itu. Jumlahnya tidak banyak, hanya belasan orang, dan semua tidak dipungut biaya. Sedangkan santri kalong adalah mereka yang pada setiap hari datang dan belajar di pesantren itu tetapi tidak menginap. Adapun santri pendukung adalah siapa saja warga penduduk di desa itu yang berkeinginan belajar tentang pengetahuan dan ketrampilan apa saja yang diperlukan untuk mengembangkan dirinya.
Aktivitas Pesantren Rakyat sehari-hari bukan sebatas menyangkut kegiatan kyai dan santri sebagaimana di pondok pesantren pada umumnya, melainkan berupa gerakan semua warga kampung untuk menyelesaikan problem hidupnya yang mungkin bisa dilakukan secara bersama-sama. Semboyan yang dikembangkan oleh Pesantren Rakyat adalah: bahwa semua orang boleh belajar, semua orang boleh mengajar, dan gelarnya boleh dibuat sendiri. Belajar di Pesantren Rakyat bukan dimaksudkan untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah, melainkan untuk mendapatkan pengetahuan, wawasan, maupun ketrampilan yang dibutuhkan dalam kehidupannya sehari-hari. Pembelajaran tentang berbagai jenis pengetahuan dan ketrampilan dimaksud dilakukan secara fleksibel, bebas, murah, dan mendasarkan pada prinsip kebersamaan dan atau tolong menolong antar sesama. Warga desa itu yang memiliki pengetahuan tentang peternakan, pertanian, kerajinan, kesenian, agama, dan lain-lain diminta mengajarkannya kepada warga lain yang membutuhkan.
Kekuatan kolaborasi antara kaum abangan dengan kaum santri ini terletak pada; Pertama, modal sosial yang dikembangkan melalui pendampingan secara istiqamah berorientasi pada pemberdayaan dan peningkatan serta pemerataan kesejahteraan; Kedua, medan budaya yang bernuansa tradisi lokal, kental dengan simbol-simbol kerakyatan sehingga menimbulkan rasa nyaman khususnya bagi santri abang ireng; Ketiga, pendekatan adaptatif, multi strategic, luwes dan berbasis kearifan lokal; Keempat; aktor pemimpinnya (Cak Dul) memiliki kredibelitas, integritas, komitmen kuat, istiqamah dalam berjuang serta mampu menjadi tokoh inspiratif bagi santrinya; Kelima, dukungan jejaring stakeholders yang akrab dan memiliki dedikasi yang tinggi dalam mengembangkan lembaga. Untuk itu Pesantren Rakyat Al-Amin merupakan medan budaya kolaboratif yang cukup efektif dalam menyantrikan kaum abangan (abang-ireng) dan santri pinggiran-miskin ala kerakyatan, berbasis kearifan lokal dengan pendekatan pemberdayaan multi strategic, sebagaimana model dakwah Sunan Kalijaga ketika menyebarkan Islam di Tanah Jawa.
Dengan demikian, Pesantren Rakyat dalam rangka menyantrikan rakyat, maka membuat semua kurikulum ala rakyat, ngaji kebutuhan rakyat, perekonomian ala rakyat, pertemuan atau diskusi ala rakyat, pendidikan ala rakyat, manajemen ala rakyat, pakaian ala rakyat, pergaulan ala rakyat dan dalam berbagai aspek bidang kehidupan konsepnya selalu ala rakyat, cuma kita tumpangi dengan nilai-nilai Islam yang sesuai dengan ajaran Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW serta para ulama’ terdahulu, baik dalam tataran syari’at, tharekat, hakikat atau ma’rifatnya.
Wallahu A’lam...!