Posisi Agama dalam Konstitusi Turki, Mesir dan Indonesia
HorizonOleh Dr. Achmad Murtafi Haris, Lc., M.Fil.I
(Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya)
Dalam ujian tesis mahasiswa S2 Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya tentang pengaruh media Turki dalam perpolitikan Receip Tayyip Erdogan, presiden Turki, muncul pertanyaan: Apakah benar Erdogan memperjuangkan Islam lewat politik atau dia memanfaatkan Islam untuk kepentingan politik?
Pertanyaan seperti ini jamak keluar dalam diskursus agama-politik. Jika Erdogan pada posisi memperjuangkan aspirasi Islam lewat politik, pertanyaannya sejauh mana hal itu dibutuhkan sehingga yang berkepentingan akan menyalurkannya lewat Erdogan atau Erdogan mewakili aspirasi mereka. Apakah selainnya tidak memperjuangkan aspirasi kelompok pengusung nilai-nilai Islam atau yang dalam tipologi Clifford Gert disebut kaum santri? Bukankah semua yang bertarung dalam politik Turki adalah muslim yang inheren dalam dirinya nilai-nilai Islam?!
Untuk menjawab ini perlu melihat fakta keberagamaan di Turki dan bagaimana negara memposisikan agama dalam kehidupan bernegara sesuai konstitusi Turki. Jika kondisi keberagamaan terbatas, maka isu keagamaan mendapat ruang untuk diperjuangkan. Jika tidak, maka tidak relevan. Dalam konteks Turki, praktek keagamaan memang mengalami pembatasan dan menjadikan orang yang taat beragama seolah tidak layak berada di pemerintahan yang sekuler. Hingga tahun 1990-an, kata mahasiswa Turki di Mesir, hampir tidak ada pemimpin Turki yang pergi haji kecuali Suleiman Demirel, presiden di masa perdana menteri Tansu Ciller. PM wanita yang enerjik yang kalau berjalan selalu cepat. Hingga muncul Necmettin Erbakan dengan Partai Kemakmuran-nya pada 1996 yang berhasil memenangkan pemilu. Meski tidak sampai 2 tahun berkuasa, sebelum dikudeta militer, Erbakan setidaknya pernah menorehkan sejarah pemerintah Turki tidak anti agama meski gegara itu dia dijatuhkan oleh militer dengan tuduhan melanggar prinsip sekularisme dalam tata kelola pemerintahan.
Selain pemerintahan yang seolah menjadi hak kaum sekular, kebijakan menjauhkan segala identitas agama dari ranah publik menambah pekatnya sekularisme itu. Dari awal republik berdiri oleh Mustafa Kemal Ataturk, jilbab dilarang dipakai di ruang publik. Jangankan seragam pegawai atau sekolah diizinkan berjilbab, untuk masyarakat yang berurusan dengan lembaga pemerintahan bahkan ke rumah sakit pun dilarang memakai jilbab. Kenyataan menjadikan agenda Erdogan untuk memperjuangkan aspirasi kaum santri Turki menjadi relevan. Ketika ideologi berada pada posisi ekstrim, maka agenda moderasi terbuka untuk diperjuangkan di ranah politik. Setidaknya, ia bisa menjadi isu pendulang suara di pemilu. Aspirasi kelompok apa pun, apalagi kelompok besar, adalah materi yang bisa dikonversi ke dalam poin politik. Dalam hal inì, Erdogan diuntungkan dengan ekstrimitas sekularisme Turki dan perolehan suara nyata yang dia dapatkan darinya.
Apakah hal serupa bisa diterapkan di negara muslim yang lain? Mayoritas negara muslim di mana pun tidak secara terang-terangan membangun ideologi sekuler seperti Turki. Kebanyakan mereka mengambil jalan tengah dan tidak menjauhkan agama dari politik meski tidak semua mengizinkan partai berideologi agama. Mayoritas negara muslim akomodatif terhadap aspirasi umat Islam. Bahkan negara memfasilitasi keperluan agama dan tidak menjauhkan mereka dari budaya nasional. Mesir dan Indonesia adalah contohnya. Tidak hanya agama mendapat tempat di ruang publik, bahkan secara formal, agama mendapat posisi yang agung yang termaktub dalam konstitusi.
Dalam Pembukaan konstitusi Mesir (dibajah/preamble) amandemen 2014, disebutkan posisi agama yang fundamental sebagai sumber utama hukum negara: “naktubu dusturan yu’akkidu anna mabadi’ al-shari’ah al-islamiyyah al-masdar al-ra’isi li al-tashri’” (kita menulis konstitusi yang menegaskan bahwa prinsip-prinsip syariat Islam adalah sumber utama legislasi).
Sementara di Indonesia, juga dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar negara yang menjiwai seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini berbeda dengan pembukaan konstitusi Turki (amandemen 1995) yang secara eksplisit menyebutkan pemisahan urusan agama dari politik: “..that sacred religious feelings shall absolutely not be involved in state affairs and politics as required by the principle of secularism..” (perasaan keagamaan yang sakral mutlak tidak boleh dilibatkan dalam urusan negara dan politik sesuai tuntutan prinsip sekularisme). Materi ini rawan terhadap marginalisasi agama. Tidak heran jika berkali-kali militer Turki membubarkan partai atau kabinet yang dianggap mengusung aspirasi Islam dengan tuduhan melanggar konstitusi.
Berbeda dengan itu, pembukaan konstitusi Indonesia dan Mesir justru menyebut secara eksplisit posisi agama yang fundamental sebagai sumber nilai dan hukum negara. Dengan posisi negara yang moderat bahkan akomodatif terhadap agama, maka isu agama bukanlah sesuatu yang kritis untuk diperjuangkan seperti halnya di Turki. Di Indonesia isu keislaman telah terakomodir dalam apa yang disebut sebagai program keummatan yang tidak hanya partai Islam yang mengusungnya tapi juga partai nasionalis seperti Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), Partai Golongan Karya (GOLKAR), dan Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA). Mereka semua memiliki saya organisasi keagamaan seperti Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI) milik PDI-P, Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) milik Golkar, dan Gerakan Muslim Indonesia Raya (GEMIRA) milik Gerindra. Sementara di Turki, partai politik tidak boleh mengusung platform agama atau mereka akan dituduh melakukan sabotase terhadap ideologi negara.
Agama sebagai Pendulang Suara
Urusan agama dan politik memang kerap berkelindan. Agama sangat bisa diperjuangkan lewat politik dan di saat yang sama, kaum politisi sangat diuntungkan oleh dukungan kelompok agama. Dalam sistem demokrasi yang memberikan kuasa kepada suara rakyat, maka perolehan suara dari kelompok apa pun mutlak diperlukan. Hal ini menuntut kekuatan polutik apa pun untuk bermain lintas kelompok identitas. Jika di Indonesia, partai nasionalis memiliki sayap organisasi keagamaan, di Mesir, Partai Kebebasan dan Keadilan milik al-Ikhwan al-Muslimun, menggandeng umat Kristen Koptik dan mengangkat dari mereka sebagai wakil ketua partai. Jumlah warga Koptik yang mencapai 6-10% warga Mesir patut diperhitungkan selain untuk menunjukkan bahwa partai yang diusung Ikhwan itu akomodatif terhadap aspirasi non-muslim. Beginilah lazimnya berdemokrasi yang didasarkan pada Vox Populi Vox Dei (suara rakyat suara tuhan). Sekularisme Turki yang menjauhkan kelompok agama dari politik akhirnya merugi oleh hilangnya dukungan kaum agamawan. Sebuah realitas demokrasi yang harus difikir ulang oleh penggembala sekularisme di Turki.