Struktur Fungsional Manajemen Masjid
HorizonOleh: Bambang Subandi., M.Ag
(Dosen Manajemen Dakwah UIN Sunan Ampel Surabaya)
Sentral kegiatan umat Islam berada di masjid. Kegiatan ini meliputi ibadah ritual maupun ibadah sosial. Pelaksanaan kegiatan ini tidak lepas dari manajerial. Di dalam manajemen masjid, unsur-unsur yang meliputinya adalah pengurus dan petugas takmir masjid, keuangan masjid, program dan kegiatan, strategi dan pengelolaan, aset masjid, dan jamaah masjid. Masing-masing unsur ini saling berhubungan dan saling membutuhkan satu sama lain. Selain itu, tiap-tiap unsur juga memiliki fungsi dan membentuk struktur yang kokoh. Asumsi ini memberikan jalan bagi teori struktural-fungsional untuk menganalisis organisasi takmir masjid.
Unsur-unsur Manajemen dalam Hadis
Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Ayyub] dan [Qutaibah] -yaitu Ibnu Sa'id- dan [Ibnu Hujr] mereka berkata; telah menceritakan kepada kami [Isma'il] -yaitu Ibnu Ja'far- dari [Al 'Ala'] dari [Ayahnya] dari [Abu Hurairah], bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya dan anak shalih yang selalu mendoakannya."(Muslim: 3084, Abu Dawud; 2494, al-Tirmidzi: 1297, al-Nasa\'i: 3591, Ibnu Majah: 237, Ahmad: 8489)
Secara umum, unsur manajemen berjumlah enam komponen. Keenam ini lazim disingkat sebagai 6 M, yakni man, market, money, machine, method, dan material. Keenam unsur ini yang berwujud manusia adalah man dan market. Man berarti sumber daya manusia yang berada dalam suatu organisasi atau lembaga. Market adalah kelompok manusia yang dijadikan sasaran dalam manajemen. Hal ini menunjukkan, bahwa kegiatan manajemen dikerjakan oleh manusia dan ditujukan untuk manusia. Di dalam hadis di atas, manusia ini diungkapkan dengan kata walad. Manusia dalam komponen man adalah orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan organisasi. Mereka adalah pengurus, pembina, pengawas, petugas, instruktur, direktur, manajer, supervisor, kepala sekolah, guru, khatib, panitia, narasumber, dan sebagainya. Sementara itu, kelompok manusia yang dijadikan sebagai pasar sasaran adalah jamaah, komunitas, nasabah, siswa atau mahasiswa, konsumen, pengguna, publik, massa, donatur, khalayak, serta masyarakat.
Komponen man dikembangkan dalam cabang ilmu manajemen, yaitu manajemen sumber daya manusia (SDM). Manajemen SDM merekrut orang-orang dengan kualifikasi tertentu. Mereka memiliki integritas, kapabilitas, akseptabilitas, loyalitas, dan senioritas di atas rata-rata kelompok pasar sasaran. Tidak sedikit SDM organisasi berasal dari kelompok pasar yang telah melampaui dan memenuhi kualifikasi yang ditetapkan oleh organisasi. Kualifikasi ini dinyatakan dengan istilah mushlih, yaitu reputasi yang diakui secara sosial. Reputasi ini dihasilkan dari sifat personal yang terpuji serta dampak yang signifikan kepada orang lain. Artinya, tujuan umum manajemen dakwah adalah peningkatan kualitas keimanan seseorang atau kelompok. Peningkatan ini diukur melalui empat tahapan, yaitu pribadi yang rusak secara sosial (mufsid), pribadi yang tercela secara personal (fasid), pribadi yang terpuji secara personal (shalih), dan pribadi yang terpuji secara sosial (mushlih). Parameter yang digunakan adalah perintah dan larangan agama. Orang yang hanya menjalankan perintah dan meninggalkan larangan tanpa memberikan pengaruh kepada orang lain berada pada level kedua, yaitu shalih. Jika kebaikan tersebut berdampak kepada orang lain, maka ia menggapai level tertinggi, yaitu mushlih. Sebaliknya, orang yang menerjang larangan dan mengabaikan perintah secara personal dinilai sebagai fasid. Jika hal ini berdampak buruk kepada orang lain, ia dikategorikan sebagai mufsid. Jadi, lembaga atau organisasi dakwah menetapkan target pribadi yang terpuji secara personal kepada sasaran dakwah (walad shalih).
Manajemen SDM berpijak pada asas yang dibangun oleh pendiri organisasi atau lembaga. Asas ini memuat nilai dan norma yang dijadikan pedoman dalam mengembangkan budaya organisasi. Setiap generasi dalam kepengurusan lembaga atau organisasi tidak hanya mendoakan generasi sebelumnya (yad'u lah), tetapi juga mereka melanjutkan perjuangan dari generasi terdahulu. Kesinambungan ini memperkokoh karakter dan identitas lembaga atau organisasi. Dengan karakter yang kuat, suatu lembaga atau organisasi bisa dibedakan dari lembaga atau organisasi yang lain. Kerja sama akan mudah terbentuk bila karakter dipahami oleh masing-masing pihak. Karakter dan identitas tersebut juga mewarnai pembentukan manajemen strategis dan manajemen produksi.
Baca Juga : Donald Trump dan Manifestasi Islamophobia
Kompetensi keilmuan yang dimiliki oleh stakeholder lembaga atau organisasi terwujud dalam manajemen strategis. Ia diistilahkan dengan method dalam unsur-unsur manajemen. Manajemen strategis memuat proses dan sistem manajemen. Proses manajemen menapaki tahapan-tahapan Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling (POAC). Masing-masing tahapan ini dilaksanakan dengan pendekatan, strategi, metode, teknik, dan taktik. Keseluruhan proses tersebut diarahkan untuk menghasilkan produk barang dan jasa atau manajemen produksi (Material). Produk ini ditawarkan dan disajikan kepada pasar sasaran sebagai pengetahuan yang bermanfaat. Manfaat suatu produk diukur dengan peningkatan keimanan dan kepribadian. Oleh karena itu, program dan kegiatan harus memberikan kontribusi yang positif (yuntafa' bih). Demikian pula, produk barang yang dihasilkan memuat nilai halal, manfaat, terjangkau, dan mudah diaplikasikan. Keabsahan suatu produk tidak hanya pada proses pembuatan dari bahan baku, barang mentah, hingga barang jadi, tetapi juga ia mencakup keabsahan dalam transaksi (aqad). Unsur kesamaran informasi (tadlis), ketidakjelasan produk (gharar), perjudian (maysir), kezaliman, dan riba harus dihindarkan.
Pencapaian tujuan organisasi di atas tergantung pada sarana dan prasarana serta logistik yang mencukupi. Pernyataan redaksi hadis tentang sedekah menunjuk pada manajemen aset (Machine) dan manajemen keuangan (Money). Aset meliputi barang yang tidak bergerak seperti tanah dan bangunan serta barang yang bergerak semacam peralatan dan fasilitas. Manajemen aset berangkat dari pengadaan barang, pemeliharaan, perbaikan, hingga inventarisasi. Sementara itu, logistik maupun keuangan dikelola dalam sisi penerimaan, pembukuan, pengeluaran, hingga investasi. Di dalam Islam, penerimaan logistik keuangan dapat digali melalui wakaf, zakat, hibah, hadiah, dan sedekah. Tentu saja, penerimaan ini tergantung pada status kepemilikan aset.
Suatu lembaga atau organisasi dapat dinyatakan sebagai lembaga atau organisasi dakwah maupun Islam jika status kepemilikan asetnya bernilai wakaf. Status nilai ini menunjukkan, bahwa lembaga atau organisasi dakwah atau Islam dikelola oleh umat Islam dan digunakan untuk kepentingan umat Islam, karena pemiliknya adalah umat Islam. Kepemilikan pribadi atau kelompok yang belum dinyatakan wakaf tidak bisa dinilai sebagai aset lembaga atau organisasi dakwah maupun Islam, sekalipun seluruh kegiatannya memuat dakwah Islam. Sebaliknya, aset wakaf yang dimaksudkan sebagai pengembangan bisnis dan investasi tetap dinyatakan sebagai lembaga atau organisasi dakwah. Sebab, aset wakaf dimiliki umat Islam, semua keuntungan diarahkan untuk kepentingan umat Islam. Kerugiannya juga ditanggung oleh umat dengan pengelola wakaf sebagai nazhir atau wakilnya.
Struktural-Fungsional Takmir Masjid
Masjid tidak hanya berupa bangunan rumah ibadah. Lebih dari itu, ia adalah institusi umat Islam yang paling strategis. Kekuatan umat Islam berada di masjid. Jika masjid dimanfaatkan secara optimal, maka kekuatan umat Islam makin kokoh. Secara makro, masjid dipandang sebagai institusi sosial yang kecil. Ia mengikuti perubahan institusi sosial yang lebih besar darinya, antara lain struktur pemerintahan dan organisasi sosial keagamaan. Secara mikro, masjid bisa memelihara institusi yang lebih kecil darinya, yaitu keluarga. Hal ini mengasumsikan, bahwa antara masjid dan keluarga terjalin hubungan timbal balik. Harmoni sebuah keluarga ditentukan oleh kepedulian pengurus takmir masjid dalam pembinaan keluarga-keluarga di sekitar masjid. Semaraknya kegiatan masjid dipengaruhi oleh antusiasnya keluarga-keluarga di sekitar masjid. Berikut ini adalah gambaran yang menjelaskan posisi masjid dalam sistem sosial.
Keterkaitan masjid dengan organisasi sosial keagamaan dan pemerintah dilihat dari bentuk sistem sosial masyarakatnya. Sistem sosial dengan nilai yang religius akan mementingkan masjid, bahkan dijadikan pusat kegiatan sosial keagamaan. Dalam lingkungan masyarakat yang religius, masjid tidak hanya difungsikan sebagai tempat pelaksanaan ibadah ritual, melainkan pula pengembangan potensi umat. Pengembangan ini dapat berupa lembaga pendidikan, lembaga ekonomi, lembaga keuangan, lembaga sosial-budaya, bahkan lembaga pertahanan. Hal ini berbeda dengan masyarakat yang sekuler dalam memanfaatkan masjid. Bagi kaum sekuler, masjid hanya dijadikan sebagai tempat ibadah ritual saja. Semua aktivitas di luar ritual keagamaan diletakkan di luar masjid. Secara struktural, kedua corak masyarakat di atas memiliki struktur yang sama. Hanya saja, secara fungsional, keduanya berbeda.
Pengelolaan masjid meliputi enam unsur manajemen, yaitu pengurus takmir masjid (man), keuangan masjid (money), strategi pengelolaan masjid (method), kegiatan masjid (material), aset masjid (machine), dan jamaah masjid (market). Keenam unsur ini dapat diringkas dalam tiga aspek, yaitu aspek struktur (pengurus takmir dan jamaah), aspek kultur (kegiatan dan strategi), serta aspek manufaktur (keuangan dan aset). Bagi Durkheim, aspek struktur dan manufaktur adalah fakta sosial materi, sementara aspek kultur merupakan fakta sosial non materi. Menurut teori sistem, pengurus adalah input utama yang didukung oleh keuangan dan aset sebagai instrumental input. Masing-masing input ini dipadukan, lalu dikelola dengan aspek kultur. Proses pengelolaan ini memerlukan pendekatan, strategi, metode, teknik, dan taktik. Hasil pengelolaan berupa output, yaitu jamaah. Jadi, pengelolaan takmir masjid berangkat dari pengurus berakhir pada jamaah. Dengan kata lain, takmir masjid bertujuan untuk peningkatan mutu jamaah oleh pengurus.
Di dalam hadis di atas, manajemen masjid dapat diarahkan pada tiga hal. Pertama, tujuan akhir proses manajerial Islam adalah peningkatan mutu sumber daya manusia (walad shalih yad'u lah). Indikator mutu SDM adalah kesinambungan kultur antar generasi. Generasi awal tidak dilupakan, bahkan dijadikan teladan bagi generasi penerusnya (yad'u lah). Di dalam pengelolaan masjid, jajaran pengurus merupakan kelompok senior dengan status yang lebih tinggi di masyarakat. Kelompok elit ini melakukan pembinaan kepada para jamaah. Kelak, di antara jamaah ini diangkat sebagai pengurus takmir masjid. Proses transformasi ini dilakukan secara gradual dengan beberapa tahapan. Kepengurusan masjid pun menghindari konflik dan mengutamakan harmoni. Oleh karena itu, kesinambungan, harmoni, dan reformasi evolusi melekat pada pengelolaan masjid, sehingga ia relevan untuk dianalisis dengan teori struktural fungsional.
Kedua, kultur yang dikembangkan oleh pengurus takmir masjid memiliki nilai manfaat. Indikator kemanfaatan suatu kultur dilihat dari kandungan dan dampak. Kandungan kultur yang diajarkan dalam masjid digali dari sumber ajaran Islam. Kandungan ini tidak bertentangan dengan nilai moralitas dalam sumber ajaran Islam. Oleh karena itu, kegiatan untuk menelaah kandungan kultur yang dijalankan dalam masjid adalah pendidikan. Dampak dari kultur dilihat dari sisi peningkatan keimanan dan kesejahteraan. Kegiatan yang berorientasi pada dampak kultur adalah ekonomi bisnis, sosial budaya, kesehatan, dan pertahanan keamanan. Donor darah yang diselenggarakan oleh pengurus takmir masjid merupakan wujud kegiatan dampak kultur. Begitu pula, pendidikan dan pelatihan untuk para pengurus takmir masjid adalah bagian dari strategi pengelolaan masjid.
Ketiga, manufaktur merupakan sarana awal yang menunjang pengelolaan masjid. Ia dinyatakan sebagai penunjang, karena keberadaannya bukan menjadi persyaratan mutlak. Artinya, hamparan tanah lapang bisa dijadikan masjid, meski ia tidak dilengkapi gedung dan pendanaan. Meskipun manufaktur berperan sebagai penunjang, ia memiliki yang penting, yakni wujud eksistensi takmir masjid. Di dalam teori sistem yang dikemukakan Parsons, sistem memiliki batas wilayah (boundary) untuk membedakan struktur internal dan struktur eksternal. Batas wilayah masjid adalah kawasan yang telah dinyatakan sebagai wakaf masjid. Status wakaf ini difungsikan untuk mengabadikan aset dan keuangan masjid. Tanpa status wakaf, kepemilikan masjid menjadi swasta yang bisa dialihkan pada suatu saat.
Penutup
Lembaga masjid berbeda dengan lembaga keagamaan yang lain. Struktur, kultur, dan manufakturnya memiliki keunikan tersendiri. Secara garis besar, masjid merupakan struktur utama umat Islam. Para tokoh agama umat Islam dapat diketahui eksistensinya melalui masjid. Demikian pula, kekuatan umat Islam bisa diamati dari kehadiran mereka di masjid. Jadi, dapat disimpulkan bahwa eksistensi muslim berada di masjid.