Syafari Syawal: Merawat Adat, Menyambung Sejarah
HorizonOleh: Ahmad Dhafid Penghabehan
Falsafah Jawa mengatakan “Jowo Digowo, Arab Digarap, Barat Diruwat.” Pepatah tersebut secara turun-temurun diwariskan para leluhur kepada generasi setelahnya. Budaya masyarakat Jawa yang cenderung pada budaya “tutur” dari pada budaya “tulis”, merupakan salah satu hambatan generasi muda dalam menangkap dan memahami makna, serta mengimpelementasikan setiap local wisdom dalam kehidupan. Tradisi serta kebudayaan yang merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia dapat menjadi kontrol, aturan serta tuntunan manusia dalam tatanan kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari hasil-hasil pencapaian yang dapat berupa peninggalan, gagasan, atau suatu kepercayaan yang dimanifestasikan dalam kehidupan masyarakat.
Pada masyarakat Jawa khususnya daerah Matraman, kepercayaan Kejawen masih dipegang teguh hingga saat ini, sebagai landasan filosofis yang mengakar cukup kuat pada masyarakat. Hal ini berlaku pada setiap saat yang berguna dalam memenuhi kebutuhan sebagai layaknya seorang manusia dan secara fitrahnya adalah hidup berdampingan dengan manusia lain. Para sesepuh mengatakan bahwa daerah atau adat Matraman merupakan sebutan bagi daerah-daerah yang berada di bagian barat Provinsi Jawa Timur, yang masih mendapat pengaruh kuat budaya kerajaan Mataram.
Mengutip dari goodnewsfromindonesia.id, Arifiana Budi menyebutkan beberapa daerah yang terpengaruh adat kerajaan Mataram antara lain, Kabupaten Ngawi, Madiun, Pacitan, Magetan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Kediri, Blitar, Nganjuk, Tuban, Lamongan, dan Kabupaten Bojonegoro. Jika dilihat dari adat istiadat yang berlaku pada masng-masing daerah tersebut, masyarakat wilayah Matraman mirip dengan dengan masyarakat di daerah Yogyakarta dan Surakarta.
Pada artikel ini penulis akan mengulik bagaimana tradisi syafari syawal yang begitu meriah dan dari tahun ke tahun senantiasa dilakukan masyarakat Desa Padangan, Kecamatan Ngantru, Kabupaten Tulungagung. Hari raya idul fitri merupakan momen yang luar biasa bagi masyarakat muslim, khususnya masyarakat pedesaan. Barangkali kita tidak akan menemui bagaimana effort yang luar biasa melebihi apa yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat daerah Matraman selatan, dalam menyambut hari raya idul fitri. Penulis menemukan bukan hanya babakan agama saja yang ditingkatkan selama Ramadhan, namun menjelang akhir Ramadhan biasanya masyarakat desa Padangan sesegera mungkin menyelesaikan pekerjaan dalam rangka mempersiapkan kebutuhan rumah untuk keperluan hari raya.
Bagi masyarakat Matraman, hari raya bukan hanya soal ketupat dan opor ayam, lebih dari itu semuanya benar-benar dipersiapkan secara matang. Sebagai contohnya adalah kegiatan membersihkan rumah yang dilakukan secara totalitas. Mulai dari memoerbarui cat rumah, membersihkan lingkungan sekitar, hingga belanja kebutuhan jajan yang akan disajikan selama hari raya idul fitri. Kegiatan-kegiatan semacam itu hanya dapat ditemui ketika menjelang hari rayaIdul Fitri saja.
Hari Raya Idul Fitri dianggap big moment karena hanya pada waktu itulah masyarakat melakukan open house dan bersilaturahmi dengan kerabat dan juga tetangga bahkan lingkungan sekitar yang melingkupi hinga ratusan rumah. Sanak saudara yang berada di perantauan akan berbondong-bondong pulang demi sekedar sungkem kepada orang tua dan kelaurganya, dengan dalih mudik lebaran.
Ada satu hal yang barangkali jarang ditemui di luar daerah Jawa Matraman adalah konstruk masyarakat terhadap perayaan hari raya selama 6 hari penuh dan ditutup dengan lebaran ketupat atau masryarakat menyebutnya kupatan. Pada 1 syawal atau hari pertama lebaran, tradisi masyarakat adalah sungkem kepada orangtua, atau melakukan ziarah makam/nyekar kepada orang tua beserta silsilahnya.
Baca Juga : Lahirnya 'Ulum Al-Qur'an
Setelah sungkem dan saling memberikan pengakuan lahir dan batin, syafari syawal atau keliling dari rumah ke rumah dilakukan mulai dari pagi hingga bahkan malam hari. Hal ini tergantung dari letak demografis masyarakat dan jumlah kepala keluarga yang ada. Bagi seorang kepala keluarga akan menahan diri untuk melakukan syafari syawal dan bertugas untuk menerima tamu di rumah, dan syafari syawal dilakukan oleh anggta keluarga lain. Lingkungan masyarakat yang beragam akan sangat menentukan seberapa lama syaafarri sywal dilakukan. Ada lingkungan masyarakat yang dibentuk berdasarkan pembagian cakupan RT, ada juga lingkungan masyarakat yang dibentuk atas dasar letak geografis seperti posisi jalan raya yang mengitari daerah perumahan. Jumlah kepala keluarga atau rumah yang disinggahi dapat mencapai puluhan bahkan ratusan rumah.
Hari kedua syafari syawal dilanjutkan dengan mengunjungi sanak saudara yang masih berada dalam lingkup desa. Yang menarik dari masyarakat Desa Padangan adalah jumlah saudara se desa sangatlah banyak. Hal ini disebabkan karena jodoh yang telah ditetapkan Oleh Gusti Kang Akaryo Jagad ternyata dekat sebatas dusun atau desa. Maka kemudian bukanlah hal baru jika kita temui satu keluarga yang memiliki banyak saudara hanya dalam satu desa.
Pada hari ketiga hari raya, kegiatan berkunjung dari rumah ke rumah dilanjutkan dengan mengunjungi saudara yang berada di luar desa atau luar kota. Karena seorang kepala keluarga tinggal di rumah, biasanya sebelum anggota lain berangkat berkunjung, seorang bapak atau kepala keluarga tersebut memberikan arahan atau mengingatkan agar kegiatan berkunnjung benar-benar dilakukan secara tuntas tanpa melewatkan 1 rumah saudara.
Memasuki hari keempat, kondisi lalu lintas syafari syafal adalah puncaknya. Jika kunjungan kepada keluarga di luar kota belum selesai pada hari ketiga, maka dilanjutkan pada hari keempat. Pada hari ke lima dan ke enam, bisa mayoritas masyarakat telah tuntas dalam melakukan kunjungan lingkungan tetangga, saudara dalam lingkup desa dan bahkan luar kota. hari ke lima dan ke enam merupakan saat bagi seorang kepala keluarga untuk melakukan kunjungan ke tetangga dan kerabat dekat. Ibart shift kerja, anggota keluarga lain akan melakukan jaga di rumah untuk menyambut barangkali masih ada tamu yang berkunjung ke rumah.
Hari ke tujuh lebaran akan ditutup dengan tradisi kupatan di langgar (musholla) atau masjid terdekat. Ketupan yang telah dimasak dengan macam-macam sayur akan di bawa ke musholla atau masjid, dan dilanjutkan dengan do’a bersama. Do’a bersama dipipimpin oleh seorang sesepuh desa yang fasih dalam ngajadne. Ngajadne merupakan mukoddimah yang berisi rangkaian hajat, harapan dan do’a, yang dilantunkan dengan Bahasa Jawa Kawi atau Bahasa Jawa Kuno. Karena hanya orang-orang tertentu yang dapat menguasainya, maka dari itu ngajadne hanya dipimpin oleh sesepuh dan dilanjutkan dengan do’a yang dipimpin oleh kyai setempat.
“Yen ora di dunung-dunungne bakal lali sedulure lan putus anak putune” pepatah ini memiliki arti kurang lebih “Jika tidak diberitahu dan diarahkan secara terperinci, maka yang terjadi adalah anak cucu kita kelak tidak akan tahu siapa saja saudaranya dan bagaimana silsilah keluarganya”. Begitulah pepatah yang seringkali menjadi pesan para sesepuh sebelum anak cucunya melakukan kunjungan. Pada masyarakat Jawa Matraman ada istilah-istilah khusus yang digunakan dalam memberikan lakob atau nama panggilan bagi saudara lain, yang terdiri dari; mas/mbak, pak/bu, pak dhe/mbok dhe, mbah, mbah buyut, dan seterusnya. Istilah-istilah ini sangat dipengaruhi oleh hirarki keturunan.
Sebagai contohnya adalah ilustrasi berikut:
Dhafid adalah seorang anak dari pak Sani dan bu Mudawiyah. Yovi adalah anak dari pak Samingan dan bu Yati. Pak Samingan ini adalah adik kandung dari pak Sani, meskipun umur yovi lebih tua dari Dhafid maka Yovi memanggil Dhafid dengan tambahan “Mas”. Karena bapak Yovi adalah adik kandung dari bapak Dhafid, maka dalam memanggil bapaknya Dhafid, Yovi menggunakan istilah siwo/pak dhe.
Dari ilustrasi tersebut dapat kita pahami bahwa pada tiap panggilan khusus yang berlaku disebabkan oleh siapa saudara kandung yang lebih tua. Dan hal ini berlaku seterusnya kelak bagi anak-anak dari saudara kandung tersebut.
Penulis menangkap makna bahwa dalam penyebutan panggilan khusus bukan semata-mata menunjukan tingginya derajat seseorang dari segi pangkat ataupun harta. Akan tetapi istilah panggilan-panggilan tersebut dalam rangka memberika penghormatan terhadap hirarki atau silsilah keluarga yang memiliki umur lebih tua. Pada akhirnya rentetan syafari syawal yang begitu panjang merupakan langkah untuk “nguri-nguri kabudayan jawi” atau melestarikan adat Jawa yang syarat akan kebijaksanaan. Dengan terus melakukan silaturahmi, maka persaudaraan tidak akan terputus hingga lintas generasi.
Akhir kata penulis mengucapkan ngaturaken sedoyo kelepatan, minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin.