(Sumber : nursyamcentre.com)

Bahaya Toxic di Media Sosial

Informasi

Era digital saat ini tak dapat dipungkiri bila media sosial menjadi sarang beragam racun atau yang kerap disebut toxic. Toxic merupakan sesuatu hal apapun, baik visual atau verbal yang masuk pada pada diri seseorang yang kemudian berpengaruh negatif pada diri dan kehidupan seseorang tersebut. Sayangnya, toxic di media sosial tersebut dapat berpengaruh negatif secara signifikan pada kesehatan mental dan tumbuh berkembangnya seseorang.

 

Berpengaruh Negatif Pada Tumbuh dan Berkembang Seseorang

 

Seperti halnya disampaikan  Dr. Nailatin Fauziyah, S.Psi. M.Si. M. Psi Ketua Prodi Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya, ia menyampaikan bahwa media sosial saat ini dipenuhi oleh toxic. Toxic tersebut cukup berbahaya bagi diri seseorang. Hal ini dikarenakan toxic mampu berpengaruh negatif pada perilaku dan kehidupan seseorang. Sedang,  perilaku seseorang sangat bergantung pada apa yang dikonsumsinya.

 

"Perilaku seseorang bergantung pada hal apapun yang sering ia dapat. Nantinya hal tersebut mampu membentuk pengembangan konsep diri dan self image. Sedangkan, secara psikologis, toxic sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembang seseorang," ucapnya saat diwawancara crew Nur Syam Centre, (07/08).

 

Tak hanya itu, toxic adalah racun bagi seseorang. Toxic di media sosial pun cukup beragam, misalnya dapat berupa visual dan verbal. Seperti halnya disampaikan Nailatin, toxic tak terbatas pada suatu hal yang berbentuk visual, seperti video dan gambar. Melainkan, toxic dapat juga berupa kata-kata. Ia pun menyampaikan bahwa semua hal tersebut sangat meracuni seseorang. Sebab, apapun yang dilihat oleh pancaindra akan berpengaruh pada perilaku seseorang. Serta, membentuk memori dalam ingatan seseorang yang berjangka panjang.

 

"Tidak mungkin kita dapat menghapus. Sebab, sesuatu yang diterima oleh pancaindra kita akan tersimpan di memori kita selamanya.  Kalo dalam psikologi  disebut long term memori. Mungkin saat ini tidak mengingat, tapi sewaktu-waktu mengingat  kembali," jelasnya.

 

Semua Berpotensi Menjadi Toxic

 

Beragam bentuk unggahan di media sosial, baik berbentuk visual atau verbal sama memiliki potensi menjadi toxic. Sebab, saat seseorang melihat dan membaca apapun akan mampu membangun imajinasi seseorang tersebut. Demikian disampaikan Nailatin, ia menyatakan bahwa setiap unggahan di media sosial, baik visual atau verbal memiliki potensi menjadi toxic. Sementara, setiap unggahan di media sosial memiliki efek yang berbeda-beda, misalnya jika seseorang melihat unggahan yang berbentuk visual, maka bisa jadi dapat memancing emosinya. Sedangkan, jika seseorang membaca unggahan yang berbentuk kata-kata, maka bisa jadi dapat menciptakan kesalah pahaman.


Baca Juga : Gernerasi Milenial dan Fleksibilitas Kerja

 

"Hal itu bergantung pada orang dalam mempersepsikan sesuatu. Jika, toxic bisa dihindari maka dihindari. Caranya dengan tidak mudah mempercayai apapun yang ada di media sosial. Lalu, lebih cerdas memilih media dan bijak dalam menyikapi media, seperti melihat konteksnya, mengkaji lebih mendalam, dan tidak reaktif. Sebab, jika seseorang tidak berpikir panjang kemudian langsung reaktif pada apapun yang dilihat dan dibaca, maka dapat berpengaruh negatif pada diri kita. Itulah toxic," imbuhnya.

 

Kendati demikian, beragam unggahan di media sosial tak hanya mampu berpengaruh negatif bagi seseorang yang kemudian disebut toxic, melainkan juga mampu berpengaruh positif. Demikian yang disampaikan Nailatin, selain mampu berpengaruh negatif, unggahan di media sosial juga mampu berpengaruh positif bagi diri seseorang. Hingga mampu membuat seseorang menjadi semakin percaya diri dan imun semakin meningkat. Sedangkan, toxic mampu berpengaruh negatif yang membuat seseorang menjadi paranoid dan kosep diri yang rendah.

 

"Unggahan di media sosial yang mampu memberi pengaruh positif, misalnya saat seseorang membaca quote-quote yang menginspirasi. Maka, setelah membaca quote tersebut akhirnya mengalir energi positif yang akhirnya mampu menjadi hal yang positif pada diri orang tersebut. Maka, itu bukan toxic. Sebab, suatu hal yang dibaca di sosial media tidak sampai berpengaruh negatif pada diri seseorang dan kehidupan seseorang," katanya.

 

Menghindari Dengan Tabayyun

 

Menghindari diri dari toxic adalah suatu hal yang sebisa mungkin dilakukan. Sebab, toxic mampu berpengaruh negatif yang cukup signifikan pada diri seseorang. Demikian Nailatin menyampaikan bahwa toxic mampu berpengaruh negatif pada diri seseorang. Maka, salah satu cara untuk dapat terhindar dari toxic yakni  tabayyun. Tabayyun adalah merefleksikan kembali akan kebenaran suatu hal dengan mempertimbangkan terlebih dahulu apapun yang dilihat dan dibaca. Serta, tak mudah percaya dengan begitu saja.

 

"Pertimbangkan terlebih dahulu apapun yang dilihat dan dibaca di media sosial. Apakah dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan dan juga dilihat bagaimana isi beritanya. Hingga ketika masuk dalam pikiran kita akhirnya tidak menjadi beban negatif. Sebab, jika didasari atas pertimbangan terlebih dahulu terkait apapun yang dilihat dan dibaca, maka beban negatifnya tidak seberat ketika kita menerima suatu hal tersebut dengan apa adanya," ujarnya.

 

Emosi yang Stabil Dan Pikiran yang Jernih

 

Selain dengan tabayyun, seseorang juga perlu menyeimbangkannya dengan keadaan emosi yang stabil dan pikiran yang jernih saat melihat dan membaca apapun di media sosial agar terhindar dari toxic. Demikian perlu didasari dengan pertimbangan yang jernih. Nailatin kembali menyampaikan bahwa seseorang yang melihat sesuatu hal apapun yang didasari dengan pertimbangan yang jernih dan tak mudah percaya, maka akan muncul efek psikologis yang berbeda.

 

"Jika tidak didasari dengan emosi yang stabil dan pikiran yang jernih. Maka, media sosial dapat meracuni  hingga mampu mendekstruktif perilaku seseorang. Maka, bersikaplah tenang dan tidak menerima apapun dari sosial media apa adanya," tuturnya.

 

Cerdas Dan Bijak Bermedia

 

Lantas menghindari toxic media sosial di era digital saat ini, tak cukup hanya dengan tabayyun, emosi yang stabil, dan pikiran yang jernih. Melainkan, juga perlu cerdas dalam memilih media dan bijak dalam menyikapi media. Nailatin pun mengatakan bahwa hendaknya seseorang cerdas dan bijak dalam bermedia. Sementara, menurutnya untuk dapat menjadi seseorang yang bijak dalam menyikapi media, sudah semestinya memperkaya literasinya.

 

"Sebab untuk menjadi bijak, seseorang perlu banyak memiliki refrensi. Sehingga, dengan itu seseorang tersebut mempunyai banyak wacana. Akhirnya, hal tersebut yang dapat memunculkan banyak pertimbangan dari segala sudut di dalam diri seseorang saat melihat dan membaca hal apapun di media sosial," pungkasnya. (Nin)