(Sumber : nursyamcentre.com)

Banjir Hoaks Covid-19 di Media Sosial, Empat Cara Ini Gencar Dilakukan JAPELIDI

Informasi

Tercatat hingga 8 Agutus 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menemukan sebanyak 1.028 hoaks tersebar di berbagai platform media sosial terkait disinformasi tentang virus Corona (Covid-19). Adapun rinciannya, yaitu bulan Januari sebanyak 40 hoaks, Februari sebanyak 100 hoaks, Maret 265 hoaks, April sebanyak 219 hoaks, Mei sebanyak 172 hoaks, Juni 102 hoaks, dan Agustus sebanyak 22 hoaks.

 

Jaringan Pegiat Literasi Media (Japelidi) merupakan salah satu komunitas yang bergerak melawan hoaks Covid-19. Japelidi telah berdiri sejak tahun 2017, Novia Kurnia dari Universitas Gadjah Mada dan Santi dari Universitas Bandung sebagai pendiri utama. Tak lama lambat laun komunitas ini menarik perhatian kalangan akademisi khususnya para dosen. Hingga, banyak dari para dosen pegiat literasi digital khususnya dengan baground komunikasi ikut bergabung dalam Japelidi. Kini Japelidi telah beranggota sebanyak 185 lebih anggota yang tersebar di 30 lebih kabupaten di Indonesia.

 

Dr. Lestari Nurhajati Wakil Rektor IV, Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR sekaligus anggota aktif Japelidi merupakan salah seorang yang mengusulkan ide dan gagasan 'kampanye melawan hoaks Covid-19'.  Seperti yang disampaikan Lestari, ia menyampaikan bahwa ide dan gagasan kampanye melawan hoaks Covid-19 muncul saat pertama kali diumumkan oleh Presiden Joko Widodo terkait adanya masyarakat Indonesia yang terinfeksi Covid-19.

 

"Pada tahun 2020 tepatnya tanggal 13 Maret, saya mengusulkan kepada ketua Japelidi terkait kampanye melawan hoaks Covid-19. Akhirnya, setelah itu, kampanye anti hoaks jilid satu dimulai.  Lalu, sampai Jilid dua, yaitu bulan Agustus. Disitu saya belajar buat konten-konten digital, yang mana ternyata tidak mudah untuk membuat itu semua," ujarnya saat diwawancara oleh crew NSC by phone, (07/10).

 

Kampanye Online dan Offline

 

Seiring terus membanjirnya informasi seputar Covid-19, baik di media online ataupun media sosial. Tak dipungkiri hoaks juga membanjiri media online dan media sosial. Hal ini seperti disampaikan Lestari, ia mengatakan bahwa hoaks kini banyak beredar di media sosial. Hingga, menurutnya, hoaks yang beredar di media sosial tersebut perlu dilawan secara bersama.

 

"Banyaknya hoaks harus dilawan supaya masyarakat tenang. Pemerintah jadi bisa fokus menangani pandemi, dan ekonomi tetap dapat berjalan," tuturnya dalam acara Webinar Berseri UNAIR, (06/10).

 

Banyaknya hoaks yang membanjir di media sosial, akhirnya membuat Japelidi berinisiatif untuk melawan hoaks Covid-19 dengan berbagai cara, yaitu kampanye online dan offline. Hal ini disampaikan Lestari, demi melawan Covid-19, Japelidi melakukan gerakan kampanye online sekaligus kampanye offline agar gerakan melawan hoaks Covid-19 dapat berdampak secara masif pada masyarakat luas.


Baca Juga : Menengok Kembali Kisah Perjuangan KH. Daroini Ali Lampung

 

Kampanye offline dilakukan oleh Japelidi dengan membagikan beberapa kebutuhan protokol kesehatan, seperti sabun, hand sanitizer, dan juga poster. Seperti halnya disampaikan Lestari, ia mengatakan bahwa Japelidi juga bergerak melawan hoaks Covid-19 dengan cara kampanye offline. Hal ini dilakukan agar literasi digital masyarakat terkait Covid-19 dapat tumbuh dengan bagus. Adapun kampanye offline dilakukan dengan membagikan beberapa kebutuhan protokol kesehatan di berbagai kota dan daerah di seluruh Indonesia.

 

"Di Jakarta membagikan hand sanitizer, seperti penjual kaki lima karena kan kalo pekerja di kota tidak sempat untuk mencuci tangan dengan menggunakan air mengalir. Kalo, di daerah membagikan sabun, seperti Yogyakarta, Lamongan, Bali, dan masih banyak lainnya," ucapnya.

 

Adapun konten-konten yang dibuat oleh Japelidi, baik poster dan video, yakni seputar standar jaga diri dan jaga keluarga, menghindar stiqma pada tenaga kesehatan, menghindar stigma pada korban Covid-19, menghindar stigma pada jenazah Covid-19, dan undang-undang privasi data diri pasien Covid-19.

 

Namun, kampanye online tetap menjadi cara utama yang masif dilakukan oleh Japelidi. Demikian halnya disampaikan oleh Lestari, ia menyampaikan bahwa Japelidi menyebarluaskan poster dan video berisi konten-konten melawan hoaks Covid-19 melalui perantara media sosial. Ia kembali menyampaikan bahwa kampanye online adalah fokus dan cara utama yang dilakukan oleh Japelidi untuk menyebarluaskan gerakan melawan hoaks Covid-19.

 

"Teman-teman Japelidi menyebarluaskan konten di media sosial. Melakukan edukasi. Kemudian, kita melawan hoaks dengan menunjukkan informasi yang benar. Kita memberi tahu informasi seputar Covid-19 mana yang benar dan mana yang salah. Menunjukkan solusi dengan kebenaran data yang ada. Kemudian, diluruskan dengan menunjukkan fakta yang sebenarnya," jelasnya.

 

Pendekatan Komunikasi Dengan 45 Bahasa Lokal

 

Demi tersampaikannya pesan dalam konten yang disebarluaskan pada masyarakat luas, Japelidi menggunakan pendekatan komunikasi kultural dengan menggunakan 45 bahasa daerah dan dua bahasa asing saat membuat konten. Demikian disampaikan oleh Lestari, ia mengatakan bahwa Indonesia terdiri dari banyak pulau dengan berbagai bahasa. Hingga, menurutnya, Japelidi perlu menggunakan pendekatan komunikasi kultural agar pesan dapat tersampaikan dengan mudah pada masyarakat luas.

 


Baca Juga : Our Father : Sebuah Realitas Sosial yang Pahit

"Kita tidak dapat memungkiri bahwa Indonesia terdiri dari ribuan bahasa. Sehingga, harus menggunakan pendekatan dengan berbagai bahasa yang ada. Lebih enak dengan pendekatan bahasa lokal," imbuhnya.

 

Dalam acara Webinar Berseri UNAIR 2020, data yang ditampilkan dalam slide presentasinya menjelaskan, bahwa Japelidi telah membagikan kebutuhan protokol kesehatan ke berbagai kota di Indonesia, yaitu Jakarta, Yogyakarta, Kulonprogo, Salatiga, Semarang, Lamongan, Malang, Bandung, Ponorogo, Depok, Tangerang, Surabaya, Sukabumi, Blora, Grobongan, Bogor, Gresik, Tegal, Wonogiri, Cilacap, Magelang, Bali, Sumatera, Kalimantan, NTT, NTB, dan Papua.

 

Kolaborasi Dengan Pemangku Kepentingan

 

Pada kesempatan Webinar Berseri UNAIR 2020 yang bertajuk 'Mencari Kebenaran di Ruang Digital: Digital Literasi dan Banjir Informasi', Lestari sebagai salah satu pembicara juga menjelaskan bahwa gerakan kampanye melawan hoaks Covid-19 juga mendapat dukungan dari berbagai pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan tersebut mendukung Japelidi dengan turut menyebarluaskan poster dan video melawan hoaks Covid-19 melalui berbagai kanal, seperti media massa, platform, dan media sosial. Hingga, gerakan Japelidi dalam kampanye melawan hoaks Covid-19 dapat tersebar luas di tengah masyarakat secara masif.

 

"Japelidi mendapat dukungan dari pemangku kepentingan secara moril bukan finansial. Pemangku kepentingan turut menyebarluaskan konten melawan hoaks Covid-19 yang dibuat oleh Japelidi. Misalnya, dukungan dari bagian pemberdayaan perempuan, Kominfo, dan TVRI," ujarnya.

 

Memberi Ruang Reproduksi Konten Secara Luas

 

Gerakan Japelidi kampanye melawan hoaks Covid-19 akhirnya diterima dan didukung oleh berbagai kalangan, baik lembaga pemerintahan non kementerian dan masyarakat. Demikian disampaikan Lestari, ia menyampaikan bahwa konten yang diproduksi oleh Japelidi, seperti poster melawan hoaks Covid-19 mendapat respon positif di tengah masyarakat. Bahkan, banyak masyarakat yang mereproduksi poster di daerah masing-masing secara pribadi.

 

"Saya kaget, ini kan jadi surprise untuk Japelidi, ternyata banyak masyarakat yang cetak poster sendiri. Lalu, masyarakat menempelnya di lokasi umum di daerah masing-masing. Selain itu, juga ada BNPT yang meminta izin untuk mereproduksi ulang poster yang dibuat oleh Japelidi," ungkapnya.

 

Meski demikian, konten yang dibuat oleh Japelidi lantas bukan tak mendapat kritik di tengah masyarakat. Justru, sebagian masyarakat mengkritik konten yang dibuat oleh Japelidi. Setelah konten tersebut dibuat dengan waktu yang tak begitu singkat dan disertai dengan usaha yang tak biasa. Demikian disampaikan Lestari, ia mengatakan bahwa saat poster yang dibuat oleh Japelidi, lalu disebarluaskan dengan menggunakan bahasa lokal justru menuai kritik dari masyarakat.

 

"Setelah disebarluaskan poster di tengah masyarakat. Hal yang wajar jika ada kritik terkait penggunaan bahasa. Sebab, bahasa itu soal selera dan rasa. Sebelumnya, kita (Japelidi) membuat konten itu bisa dua hari sampai tiga. Non stop sampai malam, bahkan sampai subuh. Proses diskusi dan dialog yang sangat tidak mudah sebab banyak usulan yang datang dari berbagai orang.  Tapi, disana jadi asyik dan menarik. Namun, tentu disana juga ada proses efesiensi yang kurang," pungkasnya.

 

Japelidi demikian mengadakan berbagai kegiatan untuk membangun literasi digital masyarakat guna melawan hoaks Covid-19, seperti penelitian, pembuatan buku panduan, seminar, dan workshop. Misalnya, penelitian yang telah dilakukan terkait tingkat literasi digital secara umum yang melibatkan 50 kabupaten, 86 peneliti, dan 2280 responden.

 

Sementara,  sejak bulan Maret hingga bulan Agustus, Lestari sebagai ketua Tim Kampanye melawan hoaks Covid-19 dan 23 anggota lainnya telah menghasilkan poster digital sebanyak 59 poster dengan 15 topik dan 2 videografis. Sedang, topik yang paling fenomenal, yaitu 'Jaga Diri Jaga Keluarga' dengan 42 bahasa daerah, bahasa Indonesia, bahasa Mandarin, dan bahasan Inggris. (Nin)