Bonus Demografi 2045, Prof. Nur Syam : Organisasi Islam Wasathiyah Harus Terlibat
InformasiMasyarakat Indonesia kerap kali dinyatakan sebagai masyarakat paternalistik. Hal ini semakin tampak saat kepatuhan terhadap pemimpin institusi sosial keagamaan masih menempati posisi penting di dalam kehidupan sosial keagamaan maupun lainnya. Seperti yang disampaikan Prof. Dr. Nur Syam, di Indonesia selama pemimpin bisa menjadi teladan dalam bersikap dan berperilaku, maka pimpinan institusi pasti akan dijadikan sebagai contoh dan akan dihormati.
"Makanya dalam mengembangkan Islam Wasathiyah untuk Indonesia yang lebih baik, maka para pemimpin organisasi (khususnya organisasi keislaman) harus terlibat secara aktif di dalam pergulatan keindonesiaan, keislaman dan kemoderenan," ujar Nur Syam dalam acara temu tokoh organisasi yang diselenggarakan oleh Kemenag. Prov. Jawa Timur, 3 Desember 2020 di Hotel Yellow Surabaya.
Demikian dalam acara tersebut turut hadir, yaitu Drs. Jamal, MPdI., Kabid Urais dan Zawa, Kemenag Provinsi Jawa Timur, acara ini dihadiri oleh utusan PWNU Jawa Timur, PD Muhammadiyah Jawa Timur, Muslimat NU Jawa Timur, Aisyiyah Jawa Timur dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia Jawa Timur.
Berorganisasi adalah Kebutuhan
Secara sosiologis masing-masing individu memiliki beragam kebutuhan yang tak dapat dilepaskan di dalam relung kehidupan, yaitu kebutuhan biologis, kebutuhan sosial dan kebutuhan integratif. Demikian Nur Syam menjelaskan bahwa kebutuhan biologis meliputi, yaitu makan, minum, berpakaian, rumah, seksualitas. Sementara, kebutuhan sosial antara lain berkumpul, bertemu, diakui, diapresiasi, berorganisasi, berprofesi, dan bersilaturahim. Sedang, kebutuhan integratif, yaitu berketuhanan, pemenuhan rasa kasih saying, dicintai, ketenangan, kedamaian, keselamatan dan kerukunan.
"Agar terjadi kehidupan yang bahagia atau sejahtera maka semua aspek ini harus terpenuhi," ucapnya.
Sebagai makhluk sosial, setiap individu memerlukan berorganisasi, yaitu organisasi sosial baik bercorak formal atau informal. Yang formal memiliki struktur kepemimpinan, anggota dan regulasi yang mengaturnya. Sedang, yang informal tidak memiliki kepemimpinan dan tidak terdapat regulasi terkait dengan pengaturannya. Seperti yang disampaikan Nur Syam, dirinya percaya bahwa setiap organisasi, baik formal maupun informal memiliki basis etika relasional.
"Basis regulasi dan etika dijadikan sebagai pedoman dalam relasi internal maupun eksternal organisasi," imbuhnya.
Baca Juga : Obat Penyakit "Lonely in the Crowd"
Demikian terdapat banyak organisasi di Indonesia, antara lain adalah Organisasi Profesi yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Apoteker Indonesia (IPI), Ikatan Perawat Nasional Indonesia (IPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PAGI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI), Ikatan Ahli Informatika Indonesia (IAII), Ikatan Dokter Gigi Indonesia (IDGI), Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Ikatan Dosen Republik Indonesia (IDRI) dan sebagainya.
Sedangkan yang termasuk Organisasi Keagamaan adalah Muhammadiyah, NU, Jam\'iyatul Washliyah, Nahdlatul Wathon, Persatuan Umat Islam (PUI), PERTI, Al Irsyad, PERSIS, FPI, GP Anshar, IPM, Aisyiah, Muslimat NU, Fatayat NU, PMII, HMI, Wanita Islam, dan sebagainya.
Sementara, organisasi berbasis Islam dapat dipilah menjadi beberapa kategori, yaitu yang wasathiyah adalah NU, Muhammadiyah, Jam\'iyatul Washliyah, Nahdhatul Wathan, PERTI, dan lainnya. Demikian yang termasuk dalam radikalis, yaitu HTI, MMI, JAD, JAT, dan sebagainya. Sedang, yang termasuk konservatif, seperti FPI, MTA, dan sebagainya.
"Adapun ciri-cirinya bisa dilihat dari konten yang diungkapkan. Islam Wasathiyah dengan Islam, dan tradisi atau kebangsaan. Islam radikal adalah jihad, khilafah, negara islam. Islam konservatif adalah islam kaffah, Islam syumuliyah, kembali ke Qur\'an dan sunnah, anti TBC," ujarnya.
Moderasi Agama adalah Visi Bersama
Moderasi beragama harus menjadi visi semua organisasi yang berlabel Islam Wasathiyah. Misi dan program bisa berbeda sesuai dengan tujuan dan target organisasi. Semua program dan kegiatan harus bermuara pada mengembangkan Islam wasathiyah. Nur Syam pun mengatakan bahwa NU dan Muhammadiyah telah menetapkan bahwa Pancasila, dan NKRI adalah pilihan terbaik. Dalam konteks politik kebangsaan, maka NU dalam politik menyatakan Indonesia sebagai darul salam. Muhammadiyah dengan Darul Ahdi Was Syahadah.
"Visinya sama menerima Indonesia sebagai negara berdaulat dengan menjadikan empat pilar kebangsaan sebagai keharusan berbangsa dan bernegara," tegasnya.
Kembali Nur Syam menerangkan bahwa Muhammadiyah menyebutnya sebagai Darul \'Ahdi wasy Syahadah atau negara tempat untuk melakukan dan mengisi kebersamaan dan kebaikan, yaitu pandangan Muhammadiyah bahwa di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negaranya dapat mengakomodasi setiap warga negaranya untuk melakukan konsensus nasional dan mengisinya dengan kehidupan beragama, sosial, budaya, hukum, politik, ekonomi, pendidikan dan pertahanan keamanan untuk meneguhkan jati diri bangsa.
Sementara, NU juga menetapkan Indonesia sebagai Darus Salam atau negara perdamaian. NU menyetujui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi di Indonesia.
"Mendukung resolusi jihad dan konsepsi waliyyul amri dharuri bisy syaukah, bahwa kepemimpinan nasional (baca Presiden Soekarno) sebagai pemimpin bangsa di masa darurat, tetapi mengikat secara sah terhadap umat Islam dan bangsa Indonesia," terangnya.
Bergandeng Tangan Demi Kemaslahatan Umat
Antar organisasi Islam Wasathiyah agar saling menjaga kehormatannya. Serta, menghindari benturan misi dan program antar sesama. Maka, antar organisasi Islam Wasathiyah harus bekerja sama untuk kemaslahatan umat. Selain itu, juga perlu saling belajar apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan masing-masing. Bahkan, dapat mengembangkan program kebersamaan untuk membangun Islam Wasathiyah agar lebih baik dan prinsip Keislaman, Keindonesian dan kemoderenan.
"Para pemimpin Islam jangan saling bertarung untuk merasa benar sendiri. Para pemimpin Islam harus bergandengan tangan untuk mengembangkan kehidupan umat Islam supaya lebih baik. Para pemimpin harus berorientasi pada pengembangan ekonomi dan Pendidikan umat agar kehidupannya lebih baik," jelasnya.
"Para pemimpin harus membawa kapalnya menuju satu titik kesejahteraan, dan keselamatan. Para pemimpin harus membawa kapalnya untuk Indonesia yang lebih baik. Sehingga Bonus Demografi tahun 2045 itu akan benar-benar menjadi momentum untuk melihat Indonesia yang menjadi negara baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Dan ini semua tergantung kepada para pimpinan organisasi Islam Wasathiyah," pungkasnya.