Di Balik Riam yang Tenang: Duck Syndrome, Media Sosial, dan Tekanan di Balik Kesempurnaan
InformasiEva Putriya Hasanah
Setiap pagi, Riani bangun pukul lima. Rutinitasnya sempurna: olahraga ringan, sarapan sehat, lalu dandan rapi sebelum berangkat kampus. Di media sosial, ia adalah mahasiswa semester lima yang cemerlang—IPK 3.98, asisten dosen, ketua komunitas debat, dan kerap menjadi panitia acara kampus. Setiap foto yang diunggahnya menampilkan senyum lebar, tangan menggenggam segelas matcha latte, atau berpose santai di perpustakaan dengan buku tebal di meja. Komentar selalu berdatangan: "Inspirasi banget, Ri!" atau "Gimana bisa kamu segitu produktifnya?".
Tapi tak ada yang melihat apa yang terjadi setelah layar ponsel padam.
Setiap malam, Riani duduk di depan laptop hingga mata perih. Ia menyelesaikan laporan praktikum sambil menahan sesak di dada. Kadang-kadang, tangannya gemetar saat mengetik, tapi dia tidak pernah izin. "Aku baik-baik saja," bisiknya ke teman sekamar yang menawarkan bantuan. Di balik pintu kamar mandi, ia pernah menekuk badan ke lantai, menggigit tangan agar tak terdengar saat serangan panik menghantam. Esoknya, ia tetap masuk kelas dengan riasan sempurna, menjawab pertanyaan dosen dengan suara lantang.
Suatu hari, di tengah ujian tengah semester, tangan tiba-tiba kaku. Keringat dingin mengalir dari pelipis saat ia mencoba mengingat rumus yang semalam dihafal berulang-ulang. Kertas di depannya kosong. Detak jantungnya berdesakan seperti drum perang. Ketika dosen bertanya apakah ia perlu ke UKS, Riani menggeleng, senyum tipis terpaksa. "Hanya kurang tidur," katanya. Padahal, malam sebelumnya, ia menangis diam-diam sambil memeluk guling, merasa dirinya tak cukup baik meski nilai A selalu ia raih.
Aku takut. Takut jika orang tahu ia sebenarnya kelelahan, takut dianggap lemah, takut kehilangan label "sempurna" yang ia rajut bertahun-tahun.
Persis seperti bebek di kolam kampus: tenang di permukaan, kaki mengayuh tak henti-hentinya di dalam air. Hal yang dialami oleh Riani ini dikenal dengan sebutan duck syndrom.
Istilah “Duck Syndrome” berasal dari analogi bebek yang terlihat tenang di permukaan udara, sementara kaki-kakinya mengayuh tak henti-hentinya di bawah. Fenomena ini banyak ditemui di kalangan pelajar atau profesional muda yang memproyeksikan kesuksesan, sementara tekanan mental dan emosional mereka tersembunyi. Secara ilmiah, ini berkaitan dengan perfeksionisme maladaptif—dorongan untuk tampak sempurna meskipun menyumbangkan kesehatan mental. Media sosial memperparah siklus ini dengan menciptakan ilusi kesempurnaan yang terus dibandingkan dengan realitas orang lain.
Baca Juga : Cyber Dakwah: TikTok Sebagai Media Baru
Media Sosial: Panggung yang Memperkuat Ilusi
Platform seperti Instagram atau Twitter telah menjelma menjadi panggung virtual di mana Riani—dan banyak individu lain—merasa ditekan untuk terus mempertahankan citra “personal branding” kesempurnaan. Algoritma media sosial, yang secara aktif mendorong konten bernada positif atau kisah sukses, secara tidak langsung memvalidasi kebiasaan menyembunyikan kelemahan. Pengguna seperti Riani pun terdorong untuk menciptakan narasi kehidupan ideal, di mana setiap unggahan harus dipol hingga tak menyisakan ruang. Fenomena ini mengukuhkan ilusi bahwa kesempurnaan adalah standar yang harus dipenuhi, sementara kegagalan atau kerapuhan manusiawi dianggap sebagai aib yang perlu ditutupi.
Studi dalam Journal of Abnormal Psychology (2019) mengungkap korelasi signifikan antara penggunaan media sosial secara intensif dengan peningkatan angka kecemasan dan depresi, khususnya di kalangan generasi muda. Kelompok ini rentan terjebak dalam perbandingan sosial, yaitu kecenderungan untuk menilai diri sendiri berdasarkan pencapaian, penampilan, atau popularitas orang lain di dunia maya. Paparan terus-menerus terhadap kesuksesan semu di media sosial memicu perasaan tidak cukup baik, yang lambat laun menggerogoti kesehatan mental. Realitas ini menampilkan betapa platform digital justru menjadi lahan subur bagi pertumbuhan tekanan psikologis.
Bagi Riani, kehilangan label “sempurna” adalah mimpi buruk. Dalam lingkungan kompetitif media sosial, kelemahan sering dianggap sebagai kegagalan yang berpotensi merusak citra. Psikolog klinis Dr. Sylvia Putri menjelaskan bahwa fenomena ini berkaitan erat dengan Duck Syndrome —keadaan di mana seseorang terlihat tenang di permukaan, tetapi berjuang keras di balik layar. Sindrom ini dipicu oleh ketakutan akan penilaian negatif, yakni ketakutan akan penilaian buruk jika ketidaksempurnaan mereka terungkap. Riani, misalnya, terus mempertahankan ilusi kesempurnaan karena khawatir dianggap “gagal” oleh lingkaran sosialnya.
Media sosial pun memperkuat siklus destruktif ini. Semakin banyak pujian atau validasi yang diterima atas pencitraan yang dibangun, semakin dalam pula rasa takut kehilangan pengakuan tersebut. Setiap “like” atau komentar positif menjadi candu yang menyemangati Riani untuk terus menyembunyikan kenyataan diri. Ironisnya, siklus ini justru memperlebar jarak antara diri yang autentik dengan persona yang diproyeksikan. Dampaknya, kecemasan akan ketidaksempurnaan tidak hanya mengancam kesehatan mental, tetapi juga batas antara ilusi dan kenyataan.
Baca Juga : Habib Rizieq Shihab Dalam Percaturan Politik Perlawanan