(Sumber : CNBC)

Doom Spending, Media Sosial dan Ancaman Kemiskinan Generasi

Informasi

Eva Putriya Hasanah

  

Generasi Z dan milenial harus menerima dua hal pahit sekaligus. Bagaimana tidak, 9,89 juta generasi mereka masih mengalami kesulitan menemukan pekerjaan. Belum selesai dengan kenyataan pahit itu, generasi Z dan milenial juga diperkirakan lebih miskin daripada generasi sebelumnya.

  

Hal ini muncul akibat munculnya fenomena doom spending yang kini sedang menjadi tren. Menurut Bruce Y Lee, profesor kebijakan dan manajemen kesehatan di City University of New York, doom spending terjadi ketika seseorang merasa tertekan dengan hal-hal seperti kekacauan politik di Amerika Serikat (AS), kekacauan iklim di seluruh dunia, dan hal-hal lainnya, seperti yang dinyatakan dalam Psychology Today. Jadi, orang membeli lebih banyak barang untuk mengatasi stres. Namun, doom spending tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. 

  

Sederhananya, doom spending adalah membelanjakan uang untuk menghilangkan stres di tengah ketidakpastian ekonomi dan ketidakpastian hubungan internasional. 

  

Survei Keamanan Finansial Internasional CNBC mengsurvei 4.342 orang dewasa di seluruh dunia dan menemukan bahwa hanya 36,5 persen orang dewasa percaya bahwa mereka lebih baik secara finansial daripada orang tua mereka, sementara 42,8 persen sisanya percaya bahwa mereka sebenarnya lebih buruk daripada orang tua mereka. Selain itu, survei yang dilakukan oleh Intuit Credit Karma pada November 2023 terhadap lebih dari 1.000 orang di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 96% orang AS khawatir dengan kondisi ekonomi saat ini dan lebih dari 25% menghabiskan uang untuk mengatasi stres. Survei ini menunjukkan bahwa generasi Z dan milenial mungkin lebih miskin daripada generasi sebelumnya. 

   

Menurut Yusuf Rendy Manilet, ekonom dari Center of Reform on Economics (Core) di Indonesia, khusus di Indonesia belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa fenomena doom spending telah muncul. Dia menjelaskan bahwa pengetahuan tentang keuangan di Indonesia saat ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara yang dibandingkan. 

   

Data menunjukkan bahwa orang Indonesia kurang memahami keuangan. Indeks Literasi Keuangan Nasional berada di angka 65,43%, menurut hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan pada tahun 2024. Angka tersebut masih lebih kecil dibanding tingkat literasi keuangan di Malaysia, Singapura, dan Thailand masing-masing mencapai 88,37%, 97,55%, dan 95,58%. Tingkat literasi keuangan yang relatif rendah itulah, yang menurut Yusuf akan berkorelasi dengan fenomena atau perilaku doom spending.

  

Peran Media Sosial


Baca Juga : Minyak Goreng Langka Hadirkan Kebijakan yang Antisipatif

  

Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi generasi muda. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Facebook tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai tempat untuk berbagi informasi dan gaya hidup. Namun, di balik manfaat tersebut, terdapat sisi gelap yang dapat mengarah pada doom spending—kebiasaan belanja impulsif yang sering kali berdampak negatif pada kondisi keuangan individu.

  

Bagaimana Media Sosial Mendorong Perilaku Konsumtif?

  

1. Budaya Pamer: Media sosial telah menciptakan budaya di mana individu merasa perlu untuk menunjukkan kehidupan mereka dengan cara yang ideal. Banyak pengguna memposting foto-foto barang-barang baru, liburan, atau pengalaman mewah. Lihatannya yang glamor sering kali membuat orang lain merasa tidak puas dengan apa yang mereka miliki, mendorong mereka untuk berbelanja demi meningkatkan citra diri.

  

2. Iklan yang Menargetkan: Dengan algoritma canggih, media sosial dapat menampilkan iklan yang disesuaikan dengan minat dan perilaku pengguna. Iklan ini sering kali menampilkan produk-produk yang sedang tren atau diskon menarik, menciptakan rasa urgensi untuk membeli agar tidak ketinggalan tren. Hal ini dapat mendorong pengeluaran yang tidak perlu.

  

3. Pengaruh Influencer: Banyak pengguna media sosial mengikuti influencer yang mempromosikan berbagai produk. Ketika influencer yang mereka idolakan menggunakan atau merekomendasikan produk tertentu, banyak orang merasa terdorong untuk membeli barang tersebut, meskipun mereka sebenarnya tidak membutuhkannya. Ini menciptakan siklus konsumsi yang berlebihan.

  

4. Perbandingan Sosial: Media sosial memudahkan pengguna untuk membandingkan diri dengan orang lain. Melihat teman atau tokoh publik yang memiliki barang-barang baru atau gaya hidup yang mewah dapat memicu rasa tidak puas dan mendorong individu untuk mengeluarkan uang lebih banyak untuk \"menyamai\" mereka.

  

Perilaku doom spending yang diperparah oleh media sosial dapat memiliki dampak serius terhadap kondisi keuangan individu, terutama di kalangan generasi muda. Beberapa dampak tersebut meliputi:

  

1. Penumpukan Utang: Ketika pengeluaran melebihi pendapatan, individu mungkin terpaksa meminjam uang atau menggunakan kartu kredit untuk memenuhi keinginan belanja. Fitur pembayaran seperti \'Buy Now, Pay Later (BNPL)\' turut mendorong perilaku belanja impulsif. Ini dapat menyebabkan penumpukan utang yang sulit dilunasi. 

  

2. Kehilangan Tabungan: Kebiasaan belanja yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan hilangnya tabungan yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan mendesak. Akibatnya, individu mungkin tidak memiliki cadangan finansial saat menghadapi keadaan darurat.

  

3.Keterbatasan Akses ke Sumber Daya: Jika pengeluaran digunakan untuk barang-barang konsumtif yang tidak perlu, individu mungkin tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Ini dapat memperburuk kondisi kemiskinan dan mengurangi kualitas hidup mereka.

  

4. Dampak Psikologis: Rasa bersalah dan stres akibat pengeluaran yang berlebihan dapat mempengaruhi kesehatan mental. Ketika individu merasa terjebak dalam siklus belanja dan utang, mereka mungkin mengalami depresi atau kecemasan yang lebih parah.

  

Dengan memahami bagaimana fenomena ini terjadi, individu dapat mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampak negatifnya. Edukasi keuangan dan kesadaran diri adalah kunci untuk mengatasi perilaku konsumtif yang tidak sehat dan mencapai stabilitas finansial yang lebih baik. Sebagai masyarakat, penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pengelolaan keuangan yang bijak dan mengurangi tekanan sosial yang dapat memicu perilaku belanja yang tidak sehat.