(Sumber : Jernih.co)

Kecanduan Internet: Kita Semua Lagi Kena, Tapi Jarang Mau Ngaku

Informasi

Eva Putriya Hasanah

  

Coba deh jujur ​​sama diri sendiri: sehari kamu habiskan berapa jam buat mantengin HP? Dari bangun tidur buka notifikasi, scrolling TikTok sambil sarapan, ngecek IG di tengah kerja, sampai malam scroll timeline sampe ketiduran. Kalau kamu merasa berhubungan, selamat, kamu tidak sendiri. Tapi kabar buruknya, ini bukan cuma soal kebiasaan, tapi sudah masuk kategori kecanduan.

  

Ya, Indonesia resmi jadi negara dengan tingkat kecanduan internet tertinggi di dunia. Studi terbaru nunjukin kalau lebih dari 19% anak-anak di Indonesia sudah Kecanduan internet, dan yang dewasa pun nggak jauh beda. Aktivitas online udah kayak oksigen, nggak bisa hidup tanpa itu.

  

Masalahnya, banyak yang tidak sadar kalau ini sudah serius. Kita mikirnya, "Ah, cuma sebentar," padahal tiba-tiba udah dua jam berlalu cuma buat scroll tanpa arah. Ironisnya, bikin kita merasa bosan, makin kita pegang HP. Makin kita capek, makin kita cari hiburan instan dari layar. Ini kayak siklus yang muter terus dan susah dihentikan.

  

Anak-anak pun tidak lepas dari jeratnya. Dunia nyata jadi tidak terasa semenarik dunia digital

  

Anak-anak zaman sekarang banyak yang tumbuh bersama gadget. Ngak aneh kalau akhirnya mereka lebih mengenal karakter game daripada nama teman sebangku. Waktu bermain di luar, ngobrol langsung, atau sekadar ngegambar di kertas makin jarang. Semua diganti dengan layar: main game, nonton YouTube, atau main media sosial. Mereka bisa betah berjam-jam duduk sambil ngelus layar tanpa rasa bosan.

  

Masalahnya, ini bukan cuma soal waktu. Interaksi sosial, konsentrasi belajar, bahkan kesehatan mental jadi taruhan. Banyak anak jadi mudah marah, susah tidur, sampai kehilangan motivasi buat belajar. Orang tua, guru, bahkan psikolog mulai angkat suara. Tapi sayangnya, solusi kadang mentok di larangan tanpa pendampingan.

  

Yang dewasa juga tidak jauh beda. Cuma beda aplikasinya, tapi sama-sama kecanduan


Baca Juga : Optimisme Tahun 2023: ADP untuk Indonesia (Bagian Dua)

 

Jangan dulu merasa aman kalau kamu udah bukan anak-anak. Orang dewasa sekarang juga banyak yang susah lepas dari HP. Bedanya, kalau berita anak-anak main game dan nonton video lucu, kita lebih ke doomscrolling, nonton gosip seleb, ikutin politik panas, sampai mantengin update saham dan kripto. Tapi intinya sama: tidak bisa lepas dari layar.

  

Lucunya, banyak dari kita sadar kalau ini tidak sehat. Tapi begitu HP nganggur dikit, langsung pengin buka. Otak udah kayak diprogram sama algoritma, scroll, klik, scroll lagi. Kalau ada notifikasi masuk, tangan langsung refleks buka. Batas antara “butuh digital” dan “kecanduan digital” semakin lama semakin kabur.

  

Yang kita butuhkan: bukan sekedar aturan, tapi juga kesadaran

  

Kondisi ini sebetulnya bisa dicegah, asal ada keseimbangan. Tapi jujur ​​aja, itu lebih mudah diomongin daripada dilakuin. Literasi digital bukan hanya tentang ngerti cara pakai aplikasi, tapi juga ngerti dampaknya bagi psikologis dan sosial kita. Kita perlu mulai membuat aturan utama buat sendiri: jam offline, waktu tanpa layar, dan aktivitas fisik atau sosial yang rutin.

  

Buat anak-anak, peran orang tua dan guru krusial banget. Bukan dengan marah-marah atau nyita HP, tapi dengan ngasih contoh dan bikin aktivitas seru di luar gadget. Ngajak ngobrol, jalan-jalan, main bareng—aktivitas kecil tapi dampaknya besar.

   

Detoks digital: tren yang seharusnya menjadi gaya hidup, bukan sekadar tantangan

  

Beberapa orang sudah mulai mencoba yang namanya detoks digital, puasa gadget untuk beberapa waktu. Ada yang sehari penuh tanpa medsos, ada juga yang ngatur screen time maksimal 2 jam sehari. Ini bukan membuat gaya-gayaan, tapi cara membuat “balikin kendali” atas waktu dan perhatian kita sendiri.

  

Bayangin kalau kita bisa lebih sering ngobrol beneran sama temen, baca buku fisik, atau ngopi sambil nikmatin suasana tanpa gangguan notifikasi. Hidup mungkin jadi lebih pelan, tapi juga lebih sadar.

  

 Waktunya kita sadar, bukan sekadar khawatir

  

Internet itu alat, bukan tuan. Dia harusnya membantu hidup kita jadi lebih mudah, bukan malah bikin kita lelah tanpa sadar. Kecanduan digital ini nyata, dan bisa menimpa siapa saja. Anak-anak, remaja, orang tua, bahkan yang ngerasa paling produktif sekalipun.

  

Sekarang tinggal kita: mau terus jadi budak algoritma, atau mulai mengambil kendali dan hidup lebih seimbang?