Kilas Peretasan Media Massa di Era Covid-19
InformasiBelum lama terjadi aksi peretasan pada media massa, seperti Tempo.co dan Tirto.id. Aksi peretasan pada situs media Tempo.co terjadi tepat pada tanggal 21 Agustus 2020. Demikian, pada tanggal yang sama, aksi peretasan juga menimpa situs media Tirto.id. Aksi peretasan tersebut termasuk bagian dari tindakan yang dapat memberangus kebebasan pers. Seperti halnya disampaikan Drs. Syaifudin Zuhri, M.Si Dosen Komunikasi Penyiaran Islam UIN Sunan Ampel mengatakan bahwa aksi peretasan jelas melanggar kebebasan pers, yang demikian adalah salah satu pilar demokrasi. Namun, sayangnya hingga kini belum ada pernyataan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah atas kasus tersebut.
Berdasar unggahan di laman Tempo.co (22/08), Pemimpin Redaksi Tempo.co Setri Yasra menyatakan bahwa aksi peretasan bukan hanya sekali, melainkan telah terjadi dua kali. Kronologi aksi peretasan, tepat pada pukul 00.00 WIB layar situs Tempo.co menampilkan layar putih yang bertuliskan 403 forbidden. Lalu, setelah setengah jam, situs berubah menjadi warna hitam dan dengan iringan lagu Gugur Bunga selama 15 menit.
Dalam layar situs yang telah berubah menjadi warna hitam, juga tertulis sebuah tulisan 'Stop Hoax, Jangan BOHONGI Rakyat Indonesia, Kembali ke etika jurnalistik yang benar patuhi dewan pers. Jangan berdasarkan ORANG yang BAYAR saja'. Selain itu, dalam layar juga tertera Deface By @xdigeeembok yang saat diklik beralih langsung ke akun twitter @xdigeeembok. Dalam keterangannya dinyatakan akun tersebut telah bergabung di twitter sejak Juli 2009 yang memiliki 465 ribu pengikut.
Tak lama aksi peretasan kembali terjadi pada pukul 02.26 WIB. Tampilan situs Tempo.co kembali seperti saat pertama kali diretas. Namun, setelah 5 menit tim dari Tempo.co sudah bisa mengambil alih kembali situs tersebut. Sementara, terjadinya aksi peretasan tersebut memunculkan beragam dugaan terkait hal yang melatar belakangi, yaitu sebab Tempo.co yang kerap menyoroti dan memprihatinkan politik dan sosial di dalam negeri dengan mengkritik rezim yang berkuasa, misalnya tentang Undang-Undang Cipta Kerja.
Sama halnya Tempo.co, aksi peretasan juga terjadi pada Tirto.id berdasarkan yang disampaikan Pemimpin Redaksi Sapto Anggoro di laman Tempo.co (23/08), menceritakan bahwa terdapat beberapa artikel terkait obat virus Corona yang menyinggung keterlibatan BIN dan TNI mendadak hilang.Setelah Tirto.id menaikan kembali tulisan, namun nyaris tulisan mendadak kembali hilang. Sedang, kedua media daring tersebut tepat pada tanggal 25 Agustus 2020 melaporkan terkait aksi peretasan tersebut ke Polda Metro Jaya.
Melanggar Kebebasan Pers
Kendati demikian, hingga kini pemerintah belum memberikan pernyataan sikap dan tindakan terkait terjadinya aksi peretasan pada media daring. Walau begitu, pers adalah salah satu pilar demokrasi. Didin mengatakan bahwa upaya menumbuh kembangkan pers yang sehat harus didukung semua pihak. Adapun, kritik dan sorotan tajam media adalah masukan yang berharga untuk perbaikan kerja atau program pemerintah.
"Misalnya terkait dengan program penanggulangan Covid-19. Namun, media juga menulis berita berdasar pada sumber yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan melalui mekanisme klarifikasi check and balancing," jelasnya saat diwawancara oleh crew Nur Syam Centre, (28/08).
Baca Juga : Kenali Ciri dan Atasi Burnout Syhndrome Menurut Psikolog
Media massa pun tak hanya melakukan perlawan dengan melaporkan aksi peretasan ke Dewan Pers atau kepolisian. Melainkan, media massa perlu mengajak organisasi-organisasi profesi, misalnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) untuk menghentikan aksi peretasan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Didin, media massa perlu membawa permasalahan terkait aksi peretasan ke ranah hukum. Aksi peretasan jelas termasuk dalam tindak pidana pers.
"Khusususnya Undang-Undang 40 tahun 1999 Pasal 4 ayat 1. Dan UU ITE Pasal 30 ayat 1,2, dan 3," tuturnya.
Media Massa Kini Tak Aman
Media massa kini dalam ruang yang tak aman. Sebab, pelaku aksi peretasan telah berhasil meretas media massa dengan begitu mudah. Hingga perlu dijamin dan dilindungi selama menjalankan fungsi-fungsi sebagai pers. Demikian Didin mengatakan bahwa semestinya pemerintah ikut menangani dalam menghentikan aksi peretasan. Misalnya, melalui Kemkominfo membuat regulasi baru hingga semua media terlindungi dengan aman.
"Semua teknologi secanggih apapun masih tidak aman atas gangguan teknologi. Sebab, teknologi akan dilawan dengan teknologi juga," imbuhnya.
Kendati demikian, hingga kini belum ada pernyataan sikap dan tindakan pemerintah terkait aksi peretesan media massa. Didin pun mengatakan demi menghentikan para pelaku peretas media massa dengan cepat, maka perlu dipikirkan secara bersama dengan melibatkan semua organisasi profesi pers.
"Sebaiknya semua organisasi profesi pers, persatuan perusahaan media, dewan pers, KPI, Kepolisian, Kemkominfo harus duduk bersama menyikapi hal ini dan berusaha dengan cepat menghentikan para pelaku peretas," ujarnya.
Baca Juga : Potensi Indonesia Menjadi Pusat Industri Halal Dunia
Membahayakan Bagi Pers
Adapun pemberitaan dalam suatu media massa memiliki ketentuan dan aturan pemberitaan sesuai dengan dapur redaksi. Demikian narasi dan diksi yang dipilih bergantung pada ketentuan dapur redaksi. Seperti halnya dikatakan Didin bahwa terdapat asas kepatutan yang harus diperhatikan sesuai dengan kaidah jurnalistik. Bahkan, semua berita yang bersifat kritik dari media massa harus dibuat sesuai standar.
"Jurnalis harus benar dalam memberitakan base and fact sesuai data dan fakta apa adanya. Jadi bukan boleh atau tidak boleh mengkritik, justru itu tugas media. Tugas pers sebagai alat kontrol atas kebijakan yang ada," ucapnya.
Kebebasan pers adalah kebebasan bertanggung jawab dalam menjalankan misi media sesuai dengan kemerdekaan pers yang dijamin dan dilindungi secara konstitusional. Hingga kehadiran pemerintah dalam mengambil tindakan dengan segera menghentikan aksi peretasan menjadi salah satu melindungi dan menjamin kebebasan pers. Didin mengatakan bahwa aksi peretasan media jelas mengganggu kebebasan pers dan menghalangi kerja pers.
"Padahal kebebasan pers itu dilindungi UU. Pemerintah punya instrument hukum, maka instrument ini yang harus dimanfaatkan untuk mengatasi peretasan. Bila dibiarkan akan membahayakan pers kita," ujarnya.
Ancaman Penjara Dan Denda Rp 500 juta
Sementara, berdasarkan Pasal Nomor 4 Dalam UU 40 Tahun 1999 Tentang Kebebasan Pers, yaitu ayat 1 berbunyi; kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Ayat 2 berbunyi; pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran. Ayat 3 berbunyi; pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan, informasi, dan ayat. Ayat 4 berbunyi; dalam mempertanggung jawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Bahkan, berdasarkan Pasal Nomor 6 Dalam UU 40 Tahun 1999 tentang peran pers nasional. Pers nasional melaksanakan perananannya, seperti memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinnekaan.
Selain itu, pers memiliki peran dalam mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Bakan, pers berperan dalam melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Serta, memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Demikian sanksi bagi yang menghalang-halangi kerja pers atau wartawan maka mendapat sanksi ancaman penjara dan denda. Sebagaimana dalam UU 40 tahun 1999 pasal 4 jungto 18 Undang-Undang tentang Pers menyatakan, 'Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan dengan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.' (Nin)