Kontroversi RUU HIP : Kembali Pada Rumusan Pendiri Bangsa
InformasiPembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) belakangan ini ramai menjadi perbincangan publik. Berbagai pihak mulai dari tokoh agama hingga politisi menolak RUU HIP. Adapun RUU HIP yang menjadi kontroversi di tengah masyarakat, yaitu bab II pasal 7, yang mana di dalamnya secara tak langsung menyatakan adanya kristalisasi nilai gotong royong dalam setiap nilai Pancasila yaitu konsep Ekasila. Serta, hilangnya makna sila pertama yang kemudian menjadi konsep Trisila yaitu sosio-demokrasi, sosio-nasionalisme, dan ketuhanan yang berkebudayaan.
Hal ini yang kemudian dinilai oleh tokoh agama dan politisi RUU HIP bermasalah, yaitu logika hukum yang aneh, menjadi bara panas, menimbulkan kegaduhan, mengganggu Pancasila, dan mengacaukan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan. Tak hanya itu, pembahasan RUU HIP juga memancing emosi banyak masyarakat dan aktivis. Hal ini disebabkan karena RUU HIP dinilai berpotensi mengancam negara, seperti menjadikan negara sekuler dan bangkitnya komunisme. Lantas, penilaian masyarakat tersebut terbalut emosi yang berujung konflik, yaitu terjadi aksi unjuk rasa menolak RUU HIP di depan gedung DPR/MPR RI Jalan Gatot Subroto, Jakarta (24/06/2020).
Penyusunan RUU HIP merupakan usulan DPR RI yang ditetapkan dalam Prolegnas RUU Prioritas 2020. Usulan RUU tersebut dilatarbelakangi karena belum adanya landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila adalah Falsafah Berbangsa dan Bernegara
Sejatinya menafsir ulang Pancasila tak lagi menjadi pembahasan yang penting. Menurut M Diah Agus Muslim Sekretaris MPW Pemuda Pancasila Jawa Timur mengatakan, semestinya yang menjadi pembahasan sekarang yaitu bagaimana nilai-nilai Pancasila dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Bahkan, semestinya saat ini membuat undang-undang yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Bukan justru membuat undang-undang yang tak dapat dilakukan oleh masyarakat.
"Pancasila menjadi falsafah dalam berbangsa dan bernegara. Sudah semestinya pembahasan saat ini adalah bagaimana sila-sila dalam Pancasila dapat dirasakan oleh masyarakat. Misalnya, nilai sila keempat dan sila kelima," ujarnya saat diwawancara via telfon, Senin (29/06/2020).
Sekretaris MPW Pemuda Pancasila Jawa Timur tersebut juga menyampaikan bahwa sebenarnya apa yang telah disiapkan undang-undang sudah menjadi konsesus bersama. Bahkan, pembahasan undang-undang tersebut telah melewati diskusi yang luar biasa. Terlebih, para pendiri bangsa telah mempersiapkan UUD 1945 dan pancasila dibuat sebagaimana mestinya sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa.
Baca Juga : Strategi Menangkal Misinformasi di Tengah Pandemi
"Sebenarnya harus kembali pada rumusan Pancasila yang telah dirumuskan oleh pendiri bangsa ini. Jangan kemudian Pancasila itu ditafsirkan dari salah satu pencetus saja. Iya, pasti ada yang keberatan jika hanya ditafsirkan dari satu pencetus," jelasnya.
Menurutnya, Pancasila sudah final sebab pancasila lahir atas dasar perumusan dari banyak pemikiran. Sedang, berdirinya sebuah pohon besar bernama Indonesia didirikan oleh banyak orang, komponen, dan unsur. Sementara, Pancasila telah dirumuskan oleh berbagai kalangan, seperti agamawan, religius, dan nasionalis yang akhirnya menjadi satu pedoman, konsensus, dan solusi bersama.
"Kalo yang digunakan adalah gagasan Bung Karno untuk mentafsirkan Pancasila, maka akan mempersempit Pancasila. Pancasila sudah final tidak perlu ditafsirkan lagi. Sebab, jika ditafsirkan ulang nantinya dapat berujung memecah belah Indonesia. Konsep ekasila dan trisila semakin tidak tepat karena bertentangan dengan UUD 1945 yang berada di atasnya. Dimana rumusannya sudah jelas, final, dan tidak perlu ditafsirkan lagi," ungkapnya kepada crew Nur Syam Centre.
Kendati demikian, Pancasila yang dipersempit menjadi konsep Ekasila atau Trisila sangat tidak tepat. Sebab, menurut Agus Salim tidak tepat mencampur aduk antara wilayah ketuhanan dan kebudayaan karena setiap hal memiliki definisi konsep masing-masing. Di sisi lain, di Indonesia tak ada warga yang tak berketuhanan.
"Maka, hal itu akan berdampak besar bagi bangsa Indonesia. Sebab, umat Islam di Indonesia beragam, yaitu Islam religius, nusantara, dan nasionalis. Jangan lantas seenaknya mentafsirkan sendiri. Maka, yang ada akan menimbulkan gejolak di masyarakat," jelasnya.
Pancasila sudah semestinya diwujudkan secara empiris dan faktual. Sebab, masyarakat terus berkembang dan akan terus mencari keseimbangan dalam rangka penyesuain-penyesuaian. Tapi, jika kebutuhan dasar belum terpenuhi. Lalu, sudah membuat patokan-patokan yang dirasa tak lagi dibutuhkan masyarakat. Maka, hal itu yang justru akan menjadi persoalan.
Senada dengan Agus Salim, KH. Anwar Iskandar Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amin Kediri menyampaikan, Pancasila sudah final dan selesai. Dalam Pancasila terdiri sila pertama berbunyi 'Ketuhanan yang Maha Esa' yang sudah disepakati oleh pendiri-pendiri bangsa saat rapat BPUPKI.
"Penafsiran pancasila dalam undang-undang sudah cukup. Kalo, memang mau penajaman tidak harus membuat undang-undag HIP. Tapi, buat penajaman undang-undang dalam persoalan ekonomi dan demokrasi. Dalam hal ini ekonomi kerakyatan dan demokrasi yang mengedepankan musyawarah mufakat. Dalam konteks tersebut penekanannya bukan undang-undang atas nama HIP. Bangsa ini tak butuh tentang HIP. Terlebih, di dalamnya ada upaya untuk memeras pancasila dan menghilangkan TAP MPR," ucapnya saat diwawancara oleh crew Nur Syam centre via telfon, Kamis (02/07/2020).
Baca Juga : Menjaga Harmoni dalam Perbedaan Hari Raya (3)
Pancasila adalah Payung Bangsa Indonesia
Berdasar pada sejarah Indonesia, konsep Ekasila dan Trisila termasuk konsep yang ditolak saat perumusan ideologi negara. Selain usulan kedua konsep tersebut, Bung Karno mengusulkan satu konsep lainnya, yaitu Pancasila. Hanya saja yang diterima adalah konsep Pancasila yang akhirnya menjadi ideologi bangsa Indonesia. Anwar Iskandar menyatakan, jika kemudian Pancasila dipersempit menjadi konsep Ekasila dan Trisila. Hal ini, secara tak langsung memeras Pancasila dan mengulang kembali sejarah Indonesia.
"Mau kemana sebenarnya undang-undang ini? Jika tidak ada manfaatnya, alangkah baiknya mengatur undang-undang persoalan ekonomi dan demokrasi. Hal ini sama saja melakukan suatu hal yang tidak perlu untuk dilakukan. Selain itu, hal ini juga akan mengundang kecurigaan," ungkapnya.
Anwar Iskandar juga menyatakan bahwa kontroversi RUU HIP juga dapat memicu terjadinya konflik yang dapat mengganggu stabilitas negara. Jika stabilitas tidak terwujud maka dampaknya ekonomi negara pun terpuruk. Bahkan, agama juga terkena dampaknya.
"Bagaimana seseorang dapat mengaji dan mengajar. Akhirnya menjadi kacau-balau. Pengaruhnya akan menjadi konflik bangsa yang terus-menerus. Sebaiknya legowo dan bagi yang mengusulkan HIP itu mundur satu langkah, tidak perlu berambisi untuk meneruskan," ujarnya.
Konsep Ekasila dan Trisila dalam RUU HIP yang menuai kontroversi tersebut tak hanya tidak relevan, bahkan juga tak dibutuhkan. Sebab, ketuhanan dan kebudayaan dua konsep yang berbeda. Hingga tak memungkinkan keduanya disejajarkan. Sementara lain, juga tak mungkin kepentingan aqidah dan ibadah bersumber pada budaya. Sebab, dalam konsep ketuhanan sendiri secara tersirat sudah mengatur tentang bagaimana berbudaya, yaitu nilai-nilai menghargai budaya. Selama budaya tersebut tak bertentangan dengan prinsip-prinsip aqidah. Serta, mengagungkan nilai-nilai agama dan menghormati agama-agama lain.
"Bagaimana kepentingan aqidah dan ibadah sumbernya budaya. Iya nggak bisa dong. Semestinya ketuhanan yang maha esa bukan ketuhanan yang berkebudayaan. Dengan begitu, hal Ini bukan berarti tidak menghargai budaya. Tapi, budaya tidak dalam kapasitas yang disejajarkan dengan ketuhanan. Sebab, sumbernya berbeda, yaitu agama dari wahyu dan budaya dari hasil kreativitas manusia," ungkapnya.
Walau demikian, sebelum merumuskan dasar negara Indonesia, para pendiri bangsa dahulu sudah berusaha dan berpikir bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural, baik dari segi politik, budaya, suku dan sebagainya. Hingga merumuskan dasar negara republik Indonesia sesuai dengan yang dibutuhkan, yaitu sebuah payung yang memungkinkan dapat menghargai dan melindungi semua perbedaan yang ada. Anwar Iskandar pun mengatakan, akhirnya diputuskan dan disepakati bersama bahwa pancasila sebagai dasar negara.
Sila pertama sebagai wujud penghormatan dan perlindungan untuk seluruh latar belakang masyarakat di Indonesia. Sementara, demi menghargai latar belakang yang berbeda-beda, para ulama-ulama pendiri bangsa dahulu merelakan kalimat yang berbunyi 'kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya' untuk dihapus. Hal itu merupakan pengorbanan yang besar dalam rangka menghargai agama-agama yang berbeda di Indonesia.
"Pancasila saya rasa sudah cukup untuk mewajahi seluruh latar belakang agama, budaya, politik yang majemuk dalam bangsa ini. Dan tidak perlu lagi dipersempit. Apalagi menghilangkan sebuah keputusan yang amat penting dalam bangsa ini. Saya minta kepada yang mengusulkan RUU HIP itu legowo agar persatuan bangsa tetap terjaga. Selain itu, yang tidak mengusulkan dapat mengendalikan diri. Jangan overdosis, artinya menuntut HIP dibubarkan dan ditutup hingga pemanzulan. Jangan itu overdosis," pungkasnya. (Nin)