Lagu “Labour”: Ketika Cinta Berubah Jadi Eksploitasi Emosional dan Gender
InformasiEva Putriya Hasanah
"It's not an act of love if you make her." – Paris Paloma
Lagu “Labour” dirilis pada 21 April 2023 oleh penyanyi-penulis lagu asal Inggris, Paris Paloma, di bawah label Netwerk Music Group. Meski dirilis dua tahun lalu, namun lagu ini banyak dipakai sebagai musik latar belakang berbagai pengguna TikTok dan media sosial lain hingga saat ini, untuk menyuarakan ketidakadilan yang perempuan alami. Lirik lagu ini dianggap menampar banyak perempuan: capek, dipakai, dan tidak didengar dalam hubungan yang katanya “cinta”.
Dengan gaya musik dark-folk yang atmosferik, Paris Paloma mengangkat isu yang sering dianggap “urusan pribadi” ke dalam ruang publik dan diskursus sosial: kerja emosional dan ketimpangan gender dalam hubungan romantis.
Cinta Kok Rasanya Kayak Nyuci Piring Tiap Hari?
Lewat baris:
“You sure make me do a whole lot of labour.”
Baca Juga : Maqashid al-Suwar: Ali 'Imran (Bagian Pertama)
Paloma memasukkan ulang arti cinta. Cinta seharusnya saling membahagiakan, bukan bersantai. Tapi ketika satu pihak terus “melayani” dan pihak lain hanya “menikmati”, apakah itu masih cinta?
Kalimat ini seperti punchline yang mengungkap ilusi cinta. Dalam wacana sosiologi keluarga, hubungan romantis heteroseksual masih banyak dibingkai dalam pembagian peran tradisional: laki-laki sebagai pelindung, perempuan sebagai pengasuh dan pengurus rumah tangga. Padahal, dalam praktiknya, peran ini sering menempatkan perempuan sebagai “tenaga kerja emosional” yang tidak diterima dan tidak diakui.
Lirik “you sure make me do a wide lot of labour” mengungkap fakta bahwa dalam hubungan patriarkal, cinta sering kali berubah jadi kontrak tak tertulis untuk merawat, menjaga, dan menyokong, tanpa balasan yang sepadan. Sebuah bentuk eksploitasi yang afektif, di mana cinta dijadikan legitimasi atas kerja tanpa henti.
Jadi Terapis, Ibu, Asisten Rumah Tangga, Sekaligus Pasangan
Lagu ini menampilkan daftar peran yang nyaris tak masuk akal:
““All day, every day: therapist, mother, maid. Nymph, then virgin, nurse, then servant”
Lirik ini terasa berhubungan untuk banyak perempuan yang hidup dalam hubungan yang tidak setara. Ini menggemakan gagasan-gagasan kerja emosional (kerja emosional), konsep yang dikembangkan oleh sosiolog Arlie Hochschild (1983). Kerja emosional Merujuk pada upaya mengelola emosi diri dan orang lain sebagai bagian dari peran sosial, dan dalam hubungan romantis, perempuan sering menjadi penanggung jawab utama.
Mereka diminta untuk jadi penyembuh saat pasangannya lelah, jadi ibu saat pasangannya manja, jadi pelayan saat rumah berantakan, dan jadi pemuas saat diminta. Semua dalam satu tubuh, satu hati, satu hubungan. Lagu ini menggambarkan betapa peran-peran itu dilakukan secara default oleh perempuan, seolah-olah sudah kodratnya. Padahal ini adalah hasil konstruksi sosial yang menormalkan ketimpangan.
Baca Juga : Rekreasi dan Relaksasi Psikis: Bumi Perkemahan Glagah Arum Lumajang
Kalau Punya Anak, Aku Tak Akan Bisa Selamatkan Dia
Paloma juga menyentuh isu yang lebih dalam:
“If we had a daughter, I’d watch and could not save her.”
Lirik ini mengarah pada apa yang oleh feminis disebut sebagai warisan patriarki antargenerasi. Anak perempuan tumbuh dalam sistem yang mengajari mereka untuk melayani, berkorban, dan diam atas luka mereka karena begitulah perempuan “yang baik”.
Dalam teori gender, konsep ini sering disebut sebagai sosialisasi gender, yaitu proses internalisasi nilai-nilai maskulinitas dan femininitas yang tidak setara sejak kecil. Paloma menyadari bahwa jika ia tidak keluar dari hubungan ini, ia tidak hanya menyakiti dirinya sendiri, tetapi juga membiarkan generasi berikutnya mewarisi luka yang sama.
Lagu ini mengingatkan kita, bahwa jika kita tidak memutus siklus ini, generasi setelah kita akan mewarisi luka yang sama.
Diam di Kamar, Tapi Suaranya Menyesakkan
Baca Juga : Puasa: Syahrul Tarbiyah (Bagian 1)
“The silence haunts our bed chamber.”
Sunyi Sebagai Kekerasan Emosional
Diam dalam hubungan tidak selalu berarti damai. Justru sebaliknya, keheningan yang terus-menerus bisa menjadi bentuk pengabaian emosional atau pengabaian emosional. Dalam psikologi hubungan, ini termasuk dalam spektrum kekerasan non-fisik yang sangat merusak, karena mengisolasi pasangan secara afektif dan membuat mereka merasa tidak terlihat.
Paris Paloma menunjukkan bahwa kekerasan dalam hubungan tak selalu berupa teriakan atau bentakan. Kadang-kadang, justru dalam diam yang panjang dan ketidakpedulian itulah luka terbentuk.
Cinta Tidak Harus Menyakitkan, Apalagi Memaksa
“It’s not an act of love if you make her.”
Cinta Sejati Tidak Pernah Dipaksakan
Baris ini adalah tesis utama lagu “Labour”. Ia menolak narasi cinta yang bersifat dominatif dan manipulatif. Cinta tidak seharusnya membuat seseorang merasa seperti “pelayan pribadi” atau “alat pemenuh kebutuhan”. Dalam hubungan etika yang setara, cinta dibangun atas dasar kesalingan saling merawat, mendengar, dan tumbuh bersama.
Baca Juga : Hard Power, Densus 88 dan Anti Radikalisme
Lagu ini menolak cinta yang menuntut pengorbanan satu pihak demi kenyamanan pihak lain. Ia menolak hubungan yang hanya indah di permukaan, tapi dalam praktiknya penuh tekanan tak terlihat.
Cinta bukan tentang menuntut, apalagi memaksa. Kalau kamu harus terus berusaha menjaga hubungan tanpa bantuan, tanpa penghargaan, bahkan tanpa rasa aman—itu bukan cinta. Itu kerja. Kerja yang melelahkan. Dan kamu tidak wajib terus bertahan di situ.
Lagu Ini Bukan Sekadar Musik Tapi Cermin Realita
“Labour” adalah lagu tentang perlawanan. Tentang keberanian berkata, “Aku capek.” Tentang menyadari bahwa mencintai tak berarti harus kehilangan dirimu sendiri. Lagu ini menyuarakan pengalaman banyak perempuan yang selama ini diam, tapi menyimpan luka.
Kalau kamu mendengar dan merasa terwakili, itu bukan kebetulan. Karena pada akhirnya, pertanyaan penting bukanlah apakah kamu masih mencintainya...
Tapi:
“Apakah aku masih mencintai diriku sendiri dalam hubungan ini?”