Menekan Penyebaran Covid-19 dengan Kearifan Lokal
InformasiDalam perbincangan yang dilakukan dengan tema “Cangkruan” oleh Dr. Sukowidodo, maka ada saran-saran menarik terkait dengan bagaimana menangani Covid-19 yang naga-naganya belum berkurang dan bahkan cenderung meningkat. Meskipun sudah dilakukan gerakan melalui kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), akan tetapi penyebaran wabah Covid-19 belum juga reda. Hal ini menandai bahwa masih ada yang tercecer dalam penanganan Covid-19 di Indonesia. Yang dilakukan oleh pemerintah dengan PPKM tentu sesuatu yang benar adanya dan tentu sudah melalui pengkajian yang sangat mendalam. Namun demikian, kurangnya sosialisasi terhadap program ini dan bagaimana seharusnya masyarakat memahami dan melakukannya tentu masih menyisakan persoalan.
Hadir dalam acara “Cangkruan” ini adalah Prof. Hotman Siahaan, Prof. Warsono, Dr. Suko Widodo, Pak Anom Surahno, Pak Rasiyo, Pak Nurwiyatno, Pak Isa Anshori, Dr. Maskur dan saya. Acara ini diselenggarakan via zoom, 14/07/2021, pukul 19.30 sampai 21.30 WIB. Meskipun tidak didesain secara khusus, namun akhirnya gayeng juga untuk membicarakan pengalaman selama menjalani kehidupan di tengah Pandemi Covid-19. Pak Rasiyo, misalnya banyak bercerita tentang pengalamannya selama menjalani kehidupan di saat pandemic Covid-19.
Pembicaraan akhirnya menukik pada persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia terutama pada saat PPKM dilakukan oleh pemerintah. Saya sampaikan bahwa PPKM itu seperti buah simalakama, artinya sebuah keharusan kebijakan tetapi mengandung dua hal yang kontradiktif. Di satu sisi harus dilakukan untuk memotong mata rantai penyebaran Covid-19 varian baru, dan di sisi lain banyak rakyat yang merasa merugi karena akses ekonomi yang terpangkas bahkan terpotong. Oleh karena itu terdapat tiga penggolongan masyarakat, yaitu yang menerima PPKM dengan sepenuh kesadaran, misalnya adalah para ASN dan kaum yang well educated, lalu yang menolak adalah mereka kaum menengah ke bawah yang merasakan dampak ekonomi paling besar dan kelompok yang tidak menolak dan juga tidak menerima, kelompok ini merupakan kelompok yang besar juga dan biasanya mereka melakukan sesuatu yang diyakininya. Mereka sadar akan bahaya Covid-19 tetapi mereka meyakini bahwa semua adalah bagian dari kehidupan yang harus dijalani. Selain itu juga bagaimana harus melakukan kebijakan PPKM yang lebih manusiawi. Artinya bahwa akses ekonomi yang vital tentu harus tetap dijaga dengan protocol kesehatan, sehingga masyarakat yang harus melakukan pekerjaannya tidak serta merta terpangkas habis aksesnya.
Prof. Hotman, melihat bahwa yang seharusnya menjadi perhatian adalah kepemimpinan, sebab masih dilihat perbedaan-perbedaan sikap para pejabat dalam menyikapi persoalan Covid-19. Misalnya ada yang mengabaikan dan ada yang melakukan dengan sangat ketat. Misalnya dalam menutup akses jembatan Suramadu, seharusnya kebijakan itu diambil dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat. Atau penutupan jalan-jalan protokol dan memberinya peluang ke jalan lainnya. Jadi rasanya ada yang kurang tepat dengan kebijakan ini. Menghadapi wabah Covid-19 ini juga menghasilkan “pertarungan” ekonomi yang luar biasa. Soal vaksin saja misalnya bisa terjadi saling menyatakan mana yang efektif, belum lagi juga masih ada para tokoh agama yang meragukan terhadap vaksin. Bahkan juga ahli kesehatan yang silang sengkarut tentang perlu atau tidaknya vaksinasi. Mestinya perguruan tinggi memiliki juga tugas yang penting untuk mengedukasi masyarakat agar masyarakat tidak hanya mendengarkan berita-berita yang salah tetapi juga mendengarkan yang benar. Ada pertarungan antara budaya dan kesehatan. Ada local-lokal wisdom yang seharusnya diperhatikan tetapi bisa saja ini tidak sesuai dengan ilmu Kesehatan.
Prof. Warsono menyatakan bahwa sekarang ini sedang terjadi pertarungan identitas melalui media sosial. Bisa dibayangkan bahwa seseorang mengunggah sesuatu yang berbeda hanya untuk memperoleh pengakuan dan viewer. Ada unggahan-unggahan melalui media tentang Covid-19 yang tujuannya untuk mencari panggung popularitas. Jadi, masyarakat disuguhi dengan berbagai informasi yang terkadang tidak mendidik dan karena pendidikan masyarakat Indonesia yang rendah, maka apa yang dibaca lewat media, maka hal itu dianggap benar.
Dr. Basis Susilo, menyatakan bahwa dalam kerangka untuk menyelesaikan problem pandemic Covid-19, maka tetap perlu pendekatan saintifik, yaitu melakukan berbagai cara untuk mengeliminasi wabah Covid-19 denan menggunakan pendekatan ilmiah. Masyarakat harus diberikan informasi yang benar sesuai dengan hasil-hasil kajian yang telah dilakukan. Memang sedang terjadi pertarungan, apakah mendahulukan ekonomi atau Kesehatan. Bagi negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Australia dan lainnya mendahulukan kesehatan melalui lock down, tetapi negara berkembang tidak berani karena tidak punya anggaran. Jadi ya PSBB, lalu PPKM yang begini-begini.
Sayangnya ada masalah teknis, sehingga saya tidak bisa lagi untuk memberikan masukan. Oleh karena itu, yang seharusnya saya sampaikan di dalam forum Cangkruan itu akan saya tuliskan untuk menjadi bahan pemikiran tentang bagaimana seharusnya melakukan tindakan di tengah pandemic Covid-19. Saya berpikir bahwa ada dua hal yang diperlukan di tengah pandemic Covid-19, yaitu: Pertama, menyembuhkan yang sakit atau terpapar Covid-19. Di dalam konteks ini, maka selain memperhatikan obat-obat yang dapat digunakan sesuai dengan arahan dokter, maka juga harus diperhatikan local wisdom. Rumah Sakit sudah over capacity dan sudah tidak ada tempat untuk pasien Covid-19, makanya yang masih berusia muda dan tidak memiliki penyakit bawaan maka dipersilahkan untuk isolasi mandiri. Bukankah pemerintah sudah membuat pedoman isolasi mandiri. Selain tetap berada di dalam pengawasan dokter, saya rasa akan juga baik jika menggunakan resep-resep kuno yang selama ini sudah mendapatkan pengabsahan dari beberapa ahli di bidang medis, yaitu menggunakan penguapan yang berisi kinyak kayu putih dan air mendidih. Isap melalui mulut atau hidung dan keluarkan kesebalikannya secara rutin, dan melalui pola ini maka uap panas akan sampai di tempat persembunyian virus corona, yaitu virus yang mendekam di rongga hidung. Tehnik ini tentu bisa membantu untuk penyembuhan. Melalui gabungan pendekatan medis dan non-medis ini diharapkan bahwa dampak negative masuknya virus ke paru atau jantung akan teratasi. Saya menjadi teringat di masa kecil dulu, tahun 1960-an, maka satu-satunya obat yang bisa diandalkan adalah minyak kayu putih. Sakit apa saja terapinya memakai minyak kayu putih. Inilah kearifan lokal yang saya kira perlu disosialisasikan oleh para guru, kiai, tokoh agama dan petugas kesehatan. Sudah tidak saatnya untuk menyatakan yang paling hebat adalah obat kimia. Tetapi kearifan lokal yang sudah teruji juga bisa bekerja bersama dengan obat-obatan dari para dokter . melalui dua pola pendekatan ini tentu akan bisa menjaga terhadap kematian penderita akibat Covid-19.
Kedua, untuk gerakan pencegahan, maka diperlukan edukasi kepada masyarakat secara lebih mendasar dengan berbagai media. Conten media sosial harus dipenuhi dengan program edukasi pencegahan Covid-19. Selain tetap mengandalkan vaksinasi untuk meningkatkan herd immunity, maka edukasi protokol kesehatan tetap sangat diperlukan. Dari konten WAG bahwa virus ini tidak hidup di benda mati, tidak berkeliaran di udara melebihi jarak kepastian (1-2 M), dah hanya hidup pada makhluk hidup (baca manusia), maka sebenarnya juga tetap ada potensi untuk melakukan pencegahan melalui protokol kesehatan yang tegas. Program 5 M: memakai masker secara benar, mencuci tangan dengan hand sanitizer, menjaga imunitas, menjaga dari kerumunan dan menjaga hidup sehat tentu menjadi persyaratan untuk hidup di tengah wabah seperti ini.
Jika semua sudah dilakukan maka kita bisa bersahabat dengan Covid-19. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah tetap menjaga relasi secara vertikal dengan Tuhan Sang Pencipta. Kita harus meyakini bahwa Covid-19 juga makhluk Tuhan yang akan bisa dilumpuhkan dengan kehendak Tuhan. Maka berusaha dan berdoa tetap wajib dilakukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.