Naharin Suroyya : Cumlaude Meneliti Prophetic Intelligent
InformasiHari Rabu, 23 Juli 2021 merupakan hari yang sangat membahagiakan bagi Naharin Suroyya, mahasiswa program doctor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung (UIN SATU), sebab pada hari itu, Naharin bisa mempertahankan disertasi yang berjudul "Kontribusi Psikhoterapi Islam dalam Mengembangkan Prophetic Intelligent Pada Eks Pecandu Narkoba, Studi Multisitus di Pondok Pesantren Al Ghazali Kediri dan Pondok Pesantren Sirajuth Tholibin Dua Saman Al Haddad Blitar". Naharin berhasil dengan gemilang mempertahankan disertasinya dan memperoleh gelar doctor Islamic Studies dengan predikat Cumlaude. Naharin Suroyya masih sangat muda sebab baru berusia 28 tahun. Naharin menyelesaikan program Pendidikan doktornya dalam tiga tahun.
Naharin diuji oleh sejumlah ahli ilmu keislaman, ahli ilmu sosial dan ahli ilmu Pendidikan. Yang menguji promovendus Naharin adalah Prof. Dr. Maftuhin, MAg, (Rektor UIN SATU) Prof. Dr. Ahya' (Direktur Program Pascasarjana UIN SATU), Prof. Dr. Nur Syam, MSi (guru besar Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya), Prof. Dr. Effi Muawanah, MPd., (Guru Besar UIN SATU), Prof. Dr. Sokib, MPd (Guru Besar UIN SATU), Dr. Rizqon Hamami, (Dosen PPS UIN SATU), Dr. Abad Badruzzaman, Lc, MAg, (Dosen PPS UIN SATU) dan Prof. Dr. Iffatin Noor, M.H.I (Dosen PPS UIN Satu). Ujian diselenggarakan via Zoom mulai jam 13.00 sampai 15.30 WIB.
Konsep Prophetic Intelligent
Dalam kesempatan ini, Prof. Nur Syam di dalam pertanyaannya menyatakan bahwa: "Antara konsep prophetic intelligent dan spiritual intelligent nyaris memiliki kesamaan. Mengapa saudara promovendus meneliti prophetic intelligent dan bukan spiritual intelligent?," tanya Prof Nur Syam.
Lebih lanjut ditanyakan oleh Prof Nur Syam bahwa sebagai akibat dari banyaknya fokus yang dikaji dari penelitian Naharin maka menyebabkan kajian ini kurang mendalam. Nur Syam pun menjelaskan bahwa jika yang dikaji spiritual intelligent saja maka dipastikan akan memperoleh kedalaman dan kerincian hasilnya.
Terhadap pertanyaan ini Naharin menjelaskan bahwa yang diikutinya adalah konsepsi Hamdani Bakran Adz Dzakiey tentang psikhoterapi Islam dan Prophetic intelligent, sehingga dia menggunakan semua konsep yang dikembangkannya sebagai basis di dalam penelitian ini.
Dia kembali menjelaskan bahwa kajian ini secara teoretis berupaya untuk mereview terhadap konsepsi Hamdani Bakran tentang prophetic intelligent, dan hasilnya memang terdapat perbedaan yaitu faktor pendisiplinan para pecandu narkoba untuk melakukan ha-hal yang baik sesuai dengan apa yang diajarkan oleh para gurunya di pondok pesantren.
"Sebagai terapi Islami, di dalam disertasi ini tidak terdapat gambaran secara utuh tentang bagaimana aplikasi ajaran Islam misalnya tentang doa-doa khusus atau wirid khusus yang digunakan di dalam pondok pesantren," terang Naharin.
Baca Juga : Televisi Digital dan Ekonomi
Nur Syam selaku penguji pun kembali menimpali Naharin dengan sebuah pertanyaan,"mestinya ada ciri khusus yang menjadi penanda bahwa ini merupakan spiritual therapy". Terhadap pertanyaan ini, Naharin menjelaskan bahwa memang di pesantren terdapat wirid khusus. "Misalnya shalawat Syifaiyah, tetapi memang tidak secara khusus dijelaskan," jawab Naharin.
Menanggapi jawaban ini, Prof. Nur Syam menyatakan: "oke kalau begitu, saya meminta agar nanti di dalam jurnal terindeks internasional dapat menjadikan ciri khas terapi Islam tersebut untuk menjadi tema pembahasan," pinta Nur Syam.
Prof. Syamsun Ni'am juga menyatakan bahwa semula terapi-terapi seperti ini adalah proses trial and error. Misalnya di Pesantren Suryalaya, Abah Anom, maka pecandu narkoba itu dimandikan tengah malam, diberikan terapi-terapi tertentu dan setelah mulai sadar kemudian diajak wiridan.
"Nah apakah di pesantren lokasi penelitian ini sesungguhnya sama dengan itu?," tanya Prof Syamsun.
Naharin menjelaskan, bahwa memang terdapat gradasi tingkat kecanduannya. Ada yang sudah lebih lima tahun dan sudah tidak bisa berpikir rasional, ada yang tiga tahun dan sudah tidak bisa berpikir rasional dan ada yang baru setahun yang masih bisa berpikir rasional.
"Di dalam kenyataan ini maka ada tingkatan-tingkatan juga di dalam model terapinya. Jika masih bisa berpikir, maka diajak diskusi dengan tema-tema keagamaan dan lainnya," jawab Naharin.
Naharin pun menjelaskan bahwa "konsep prophetic intelligent itu cakupannya lebih luas, sebab ada empat aspek yang dikaji yaitu rational intelligent, spiritual intelligent, emotional intelligent dan kesadaran berjuang. Di dalam disertasi ini empat hal ini yang dikaji sehingga digunakan konsep prophetic intelligent dan bukan spiritual intelligent".
Baca Juga : Menjaga Marwah Islam Wasathiyah
Jangan Bias Barat
Dr. Abad Badruzzaman mempertanyakan tentang teori yang digunakan sebagai alat basis penelitian Naharin. Kata Badrus, mengapa menggunakan teori-teori dari barat, sedangkan di dalam Islam banyak sekali terapi yang bersumber dari ajaran Islam.
"Seharusnya disertasi ini membahas bagaimana pandangan para pemikir dan praktisi Islam di dalam menanggulangi dan menterapi terhadap pecandu narkoba," jelasnya.
Naharin pun berupaya menjelaskan bahwa ada banyak konsep yang dijelaskan di dalam disertasi ini tentang bagaimana pandangan teoretisi Islam dalam mengeliminasi terhadap masalah kecanduan narkoba. "Misalnya konsep Imam Ghazali dan lain-lain," ujarnya.
Sementara itu dengan nada yang sama, Prof. Iffatin juga menanyakan mengapa yang dijadikan sebagai rujukan utama adalah Bakran, apa relevansi dan kekuatan teori yang dihasilkannya sehingga dijadikan sebagai referensi utama di dalam penelitian ini. Terhadap pertanyaan ini, Naharin menggambarkan bahwa Hamdani Bakran tidak hanya sekedar teoretisi tetapi juga praktisi di dalam penyembuhan berbasis prophetic intelligent. Sehingga dengan kekuatan ini, maka Naharin ingin mencoba untuk mereviewnya di lapangan, apakah konsepsinya relevan atau tidak dengan kenyataan empiris di pesantren.
"Ternyata memang berbeda, bahwa di dalam teoretisasi Hamdani Bakran tidak memasukkan proses kedisplinan sebagai kekuatan utama," jelasnya.
Pada akhir ujian, Prof. Nur Syam diminta untuk memberikan "wejangan" kepada promovendus. Maka ada tiga hal yang disampaikan, yaitu: pertama, ucapan selamat atas keberhasilan memperoleh gelar doctor ilmu keislaman apalagi dalam usia yang sangat muda, 28 tahun. Selamat kepada seluruh keluarga yang mendukung terhadap keberhasilan ini. Kedua, agar Dr. Naharin terus menulis.
"Jangan berhenti setelah menjadi doctor. Doctor itu permulaan. Jadi harus semakin produktif. Saya memiliki semboyan hidup verba volant scripta manen', diomongkan hilang, ditulis abadi. Ana aktub, ana mawjud," ucap Nur Syam.
Ketiga, Dr. Naharin harus menjadi doctor yang tuntas, artinya harus benar-benar menjadi ahli teori atau konsep terapi Islami atau prophetic intelligent.
"Makanya, harus dikaji betul siapa saja ahli yang sudah mengkajinya dan bagaimana perdebatannya. Jika saya ditanya orang siapa ahli ilmu keislaman yang mendalami tentang prophetic intelligent, maka jawaban saya ada di UIN Tulungagung, Namanya Dr. Naharin," pungkasnya.
Prof. Sokib juga menyarankan agar dari disertasi ini dapat dirumuskan beberapa judul penelitian yang mengangkat tema-tema khasanah Islam dalam terapi prophetic intelligent.