Politik Moral Dalam Naskah Khutbah Jum'at
InformasiMemang kerap kali kawasan abu-abu di dalam berbagai praksis kehidupan senantiasa terjadi. Demikian dunia tidak selamanya hitam putih. Ada kalanya abu-abu sebagai indikasi bahwa satu sisi memasuki kawasan putih dan satu sisi lainnya memasuki kawasan hitam. Lantas,di dalam kehidupan abu-abu juga perlu dicermati agar yang abu-abu jatuh menjadi hitam tetapi tetap berada di dalam kawasan putih. Sebagaimana terdapat konstruksi bahwa hitam adalah gelap, jelek, dan mengandung dimensi keburukan. Semantara, putih adalah melambangkan terang, kebaikan dan mengandung dimensi kebaikan. Meski konstruksi yang begini tidak selalu demikian, yakni hitam bisa jadi dikonstruksi sebagai kekuatan, keperkasaan, ketegasan, dan yang putih bisa melambangkan keceriaan, keikhlasan dan kebenaran.
Hal ini sebagaimana disampakain oleh Prof. Dr. Nur Syam di dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Ditjen Bimas Islam, Kemenag RI dalam paket acara 'Penyusunan Naskah Khutbah Jum'at' yang diselenggarakan oleh Sub-direktorat Dakwah dan HBI pada Ditjen Bimas Islam, Kemenag, 25/11/2020. Acara ini dilaksanakan melalui teknik luar jaringan dan dalam jaringan. Turut hadir beberapa narasumber melalui teknik luar jaringan, yaitu Prof. Dr. Nur Syam, Prof. Dr. Oman Fathurrohman, Plt. Dirjen PHU Kemenag RI, dan sekaligus penyusun buku "Moderasi Beragama" yang diterbitkan oleh Kemenag RI.
Tugas dan Fungsi Kemenag: Melayani Umat
Tugas dan fungsi lembaga pemerintah adalah memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat, seperti pelayanan Pendidikan Islam, pelayanan bimbingan agama-agama, pelayanan penyelenggaraan haji, penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta Pendidikan dan pelatihan dan pelayanan administrasi. Seperti yang disampaikan Nur Syam, ia mengatakan bahwa semua hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar masyarakat memiliki rasa kepuasan terhadap pelayanan.
"Dengan demikian, Ketika Ditjen Bimas Islam merumuskan Naskah Khutbah Jumat, maka sesungguhnya adalah perwujudan dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kemenag tersebut," tuturnya.
Nur Syam melanjutkan bahwa sudah semestinya bersyukur bahwa di Indonesia melalui Kemenag, dirumuskan naskah khutbah Jumat yang sifatnya voluntary dan bukan mandatory. Menurutnya, hal ini merupakan perwujudan dari tanggung jawab institusi pemerintah. Sedang, sisi yang lain memberikan pilihan naskah khutbah seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat Islam.
"Pilihan corak voluntary ini sangat penting sebab pemerintah tentu tidak ingin membatasi dakwah Islam terutama lewat khutbah jumat. Apalagi meminggirkan dan mendegradasi keinginan warga menjadi lebih sempit. Negara memberikan 'kebebasan' dalam penyampaian materi khutbah jumat dengan catatan sesuai dengan sistem sosial yang dianut di negeri ini, yaitu social responsibility system atau sistem pertanggungjawaban sosial," jelasnya.
"Siapa yang menyatakan maka dia yang bertanggung jawab. Kita semua tentu tidak ingin terdapat pembatasan dalam berdakwah melalui kewajiban atau keharusan menggunakan naskah khutbah jumat. Kita tidak seperti Malaysia yang memang menerapkan corak mandatory dalam isi khutbah jumat. Biarkan hal itu menjadi kebijakan di sana dan tidak perlu menjadi kebijakan di sini," tambahnya.
Baca Juga : Ad Social Scientific Rank: Perubahan Cepat Peringkat Dosen
Tantangan Islam Moderat
Di dunia internasional, Islam wasathiyah menghadapi semakin menguatnya Islamophobia. Di beberapa negara Barat, Islam dianggap sebagai ancaman. Seperti yang disampaikan Nur Syam, ia menyampaikan bahwa semakin besarnya jumlah umat Islam di negara-negara Barat, maka semakin mengkhawatirkan akan masa depan negaranya.
"Jumlah migran muslim di negara-negara barat yang semakin banyak dianggap mengkhawatirkan. Semakin menguatnya gerakan konservatisme, radikalisme dan ekstremisme membuat ketakutan bagi negara-negara barat," imbuhnya.
Demikian muncul beberapa kasus yang datang dari gerakan konservatisme, radikalisme, dan ekstremisme, seperti kasus bom bunuh diri dan serangan-serangan yang dilakukan oleh pelaku yang beragama Islam membuat semakin meningkatnya Islamophobia. Demikian disampaikan Nur Syam, ia mengatakan bahwa negara Barat yang menganut prinsip sekularisme dan kebebasan hak asasi manusia (HAM) seringkali berbenturan dengan umat Islam.
"Misalnya, Charly Hebdo dan S. Patty di Perancis adalah gambaran tetang kontradiksi tersebut," ucapnya.
Lebih lanjut Nur Syam menyatakan bahwa semakin reaktif umat Islam maka semakin besar potensi Islamophobia di negara-negara Barat. Hingga hal ini, kata Nur Syam, diperlukan kesepahaman antar negara dan antar umat warga bangsa untuk menjaga saling memahami prinsip-prinsip yang harus dihormati.
"Di tengah persoalan yang membelit berbagai bangsa (covid-19) negara-negara harus bergandengan tangan dan bukan saling menistakan, terutama keyakinan beragama," tegasnya.
Baca Juga : Pragmatisme dan Kesalehan Sosial Pemuda Muslim
Di dalam kesempatan ini, Nur Syam juga menyatakan, selain tantangan di dunia internasional, Indonesia yang menganut paham Islam wasathiyah juga sedang mengalami tantangan yang tidak kalah mendasar, yaitu sosialisme demokratik. Sosialisme demokratik merupakan gerakan sosialisme seakan tidak mengalami patah arang. Kata Nur Syam, gerakan ini terus berkembang seirama dengan kebebasan dan demokratisasi yang terus bergulir. Melalui keterbukaan, kebebasan dan demokrasi, maka mereka dapat memasuki semua bidang kehidupan, yaitu bisnis, pendidikan, birokrasi dan juga legislatif.
"Salah satu di antara yang paling ideal adalah dengan menjadi anggota legislatif sebab akan menentukan arah ke mana negara ini akan dibawa. Melalui kemampuan membuat peraturan perundang-undangan, maka mereka sangat menentukan terhadap arah kemana negara ke depan.Lalu, Pemikiran liberal merupakan turunan langsung dari modernisasi," imbuhnya.
Sementara, gerakan liberalisme yang mengusung prinsip keterbukaan, HAM dan demokrasi liberal telah menjadi bagian dari kehidupan sebagian masyarakat. Tidak hanya politik dan kebudayaan yang menjadi target dari gerakan ini tetapi juga agama. Seperti yang disampaikan Nur Syam, ia menyampaikan bahwa melalui gerakan liberalisme, maka agama pun dipertanyakan.
"Apakah agama itu benar adanya. Semua yang menjadi prinsip dasar agama dipertanyakan. Agama dianggap sebagaimana isme-isme lain yang bisa dipertanyakan dan diganti. Tantangan lainnya adalah fundamentalisme. Fundamentalisme agama lahir sebagai reaksi terhadap modernisme yang menghasilkan liberalisme dan kapitalisme," ujarnya.
"Fundamentalisme agama telah memasuki kehidupan masyarakat kita. Fundamentalisme agama juga memasuki birokrasi, militer, LSM dan juga legislatif. Mereka sadar betul bahwa kekuasaan merupakan instrumen untuk mengembangkan gerakan ini," tambahnya.
Mendakwahkan Politik
Sementara, salah satu narasumber lainnya yaitu Prof. Oman menyatakan bahwa di dalam berdakwah kerap menghadapi pilihan yang sulit, misalnya dakwah dalam kaitannya dengan politik. Menurutnya, yang disampaikan dalam dakwah adalah hubungan politik dan agama yang bercorak hubungan simbiosis bukan yang sekuler atau Islam politik yang menyatu.
"Misalnya di sejarah Islam terdapat fakta khilafah, maka seorang da'i harus menyampaikan apa adanya. Bahwa di dalam sejarah kebudayaan Islam pernah fakta khilafah pada zaman khulafaur rasyidin, masa Bani Umaiyah, Bani Abbasiyah bahkan sampai Turki Utsmani. Di Indonesia juga kita mengetahui ada kerajaan-kerajaan Islam baik di Sumatera maupun Jawa, Sulawesi bahkan di Maluku," lirihnya.
Lebih lanjut, Oman mengatakan bahwa sejarah sudah semestinya harus disampaikan apa adanya. Misalnya, sistem model musyawarah di zaman Khulafaur rasyidin sampai yang sistem kerajaan juga harus disampaikan. Sedangkan, menurutnya, yang tidak diperbolehkan adalah ketika memilih sistem khilafah menjadi pengganti terhadap NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945.
"Sebab ketika memilih khilafah sebagai bentuk negara, maka hancurlah Indonesia ini," ucapnya.
Selain itu, Oman juga menyatakan bahwa PPIM sudah menyusun naskah khutbah jumat yang terbit tahun 2018 dan juga banyak naskah khutbah lainnya. Hingga yang dirumuskan oleh Ditjen Bimas Islam memiliki perbedaannya agar tidak terjadi duplikasi atau pengulangan naskah khutbah yang sudah ada.
Senada dengan Oman, Nur Syam juga menyampaikan bahwa memilih Pancasila sebagai dasar negara dan bukan Islam adalah pilihan tepat yang dilakukan oleh Founding Fathers.
"Contoh sederhana, sebagaimana yang disampaikan oleh Kyai Kholil di Tuban, bahwa memilih pemimpin itu harus memenuhi tiga syarat, yaitu bisa menjadi teladan, memberikan pelayanan kepada umat dan punya rasa empati terhadap penderitaan orang lain. Inilah yang saya sebut mendakwahkan politik dalam tema kepemimpinan bangsa. Jadi bukan harus memilih si ini dan itu, tetapi basis moralitas politik itulah yang didakwahkan. Jadi berbicara tentang high politics dan bukan low politics," tegasnya.
Akhir penjelasannya, Nur Syam juga menyatakan pancasila bisa menjadi common platform yang bisa memayungi pluralitas dan multikulturalitas bangsa Indonesia. Hingga, menurutnya, dakwah harus berselaras dengan upaya membangun umat Islam Indonesia yang modern dengan memperkuat relasi keislaman, keindonesiaan dan kemoderenan.
"Dakwah harus memperkuat pemahaman dan pengamalan Islam yang berselaras dengan upaya membangun persatuan dan kesatuan bangsa. Peristiwa kehancuran USSR, 25 Desember 1991 terpecah menjadi 15 negara harus menjadi collective conscience bagi masyarakat Indonesia. Menjadikan pancasila sebagai common platform berbangsa dan bernegara merupakan prinsip dasar di dalam upaya membangun masyarakat Islam Indonesia yang modern," pungkasnya.