Prof. Irwan Abdullah ; Pentingnya Berinteraksi dan Belajar Pada Masyarakat
InformasiProf. Dr. H. Nur Syam, Msi selain telah menulis banyak karya tulis ilmiah, demikian telah banyak menulis buku. Tepat pada hari Jum'at 14 Agustus 2020, launching karya baru Nur Syam berjudul 'Perjalanan Etnografi Spiritual'. Demikian yang dilanjutkan dengan bedah buku tersebut. Acara bedah buku kali ini dibingkai dalam Launching Website Nur Syam Centre yang digelar melalui aplikasi meeting online Zoom dan Live YouTube, (14/08). Dalam bedah buku kali ini turut mengundang beberapa narasumber, yaitu Prof. Masdar Hilmy, Ph.D Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. FX. Eko Armada Riyanto Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang, dan Prof. Irwan Abdullah, Ph.D Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Bedah buku kali ini terbilang cukup ramai dengan diikuti puluhan peserta dari berbagai kalangan, mulai dari pejabat, birokrat, akademisi, ilmuwan, hingga mahasiswa. Tercatat terdiri sejumlah 90 peserta yang ikut serta dalam bedah buku 'Perjalanan Etnografi Spiritual' berdasar pada jumlah peserta yang tertera di room Zoom.
Meaning Interaktif Dengan Masyarakat
Dalam kesempatan kali ini, salah satu narasumber, yaitu Prof. Irwan Abdullah, Ph.D Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta memberi tanggapannya terkait buku baru yang ditulis oleh Nur Syam. Ia mengatakan dengan mengutip teori menurut Spradley, Etnografi adalah suatu proses belajar pada masyarakat. Misalnya, saat Nur Syam melakukan perjalanan ke Vatikan tak hanya menumbuhkan ide-ide, melainkan juga proses belajar pada masyarakat. Lalu, menjadi refleksi yang menjelaskan antara budaya barat yang sekuler dengan Timur Tengah.
"Melalui tulisan di dalam buku barunya dapat dilihat bahwa Nur Syam sedang dalam proses belajar pada masyarakat, seperti negara tetangga, Beijing, dan Vatikan," jelasnya.
Irwan pun kembali menyampaikan bahwa sejatinya masyarakat tidak hanya untuk diteliti. Melainkan, sebagai tempat untuk belajar agar dapat menjadi sebuah kearifan. Sedang, apa yang dipelajari pada masyarakat disebut kebudayaan. Sementara, kebudayaan suatu masyarakat menjadi penting sebagai proses belajar dan pembelajaran.
"Misalnya, belajar komitmen agama pada masyarakat atau tokoh agama dalam perkembangan agama di Italia. Menyediakan diri sumber belajar. Tidak hanya menjadikan masyarakat sebagai obyek yang perlu dianalisa. Melainkan, menjadi obyek dalam proses pembelajaran," ujarnya.
Mengutip Herbert Blumer, Irwan mengatakan bahwa kebudayaan adalah makna yang dilihat dan dikonstruksi dari perilaku dan tindakan. Sedang, menurutnya perilaku tersebut terbentuk dari sebuah medan makna. Sementara, seseorang dapat mencapai sebuah makna dapat dilakukan dengan cara berinteraksi.
Baca Juga : Mata Najwa 'Menanti Terawan' : Komunikasi Publik Jadi Tak Efektif Saat Pandemi
"Hal ini yang kemudian dilakukan oleh Prof Nur Syam yaitu meaning interaktif untuk mencapai sebuah makna. Misalnya, seperti yang ditulis dalam buku barunya ini, Prof Nur Syam berinteraksi dengan orang sekelilingnya, seperti mahasiswa di Turki dan tokoh-tokoh agama." tuturnya.
Sebuah Karya Enlightment Etnografi
Hingga buku Etnografi yang ditulis Nur Syam menjadi Enlightment Etnografi. Sebab, Nur Syam menggunakan tafsiran yang terbuka dalam menceritakan setiap perjalanan ke negara-negara yang dikunjungi. Demikian dikatakan oleh Irwan bahwa terdapat tiga hal dalam Etnografi, yaitu resepsi, produksi, dan interpretasi. Resepsi adalah membaca kode-kode budaya.
"Dalam buku ini Prof Nur Syam membaca kebudayaan asing, misalnya waktu yang berbeda, makanan yang berbeda, dan cara mengatasi masalah yang berbeda. Disana ada konstruksi oleh penulis atas experience atau pengalaman, yang kemudian menjadi experiencing dari perjalanan," ucapnya.
Sementara, kedua, produksi pengetahuan. Irwan menyampaikan bahwa dalam melakukan produksi pengetahuan dapat melalui keterlibatan dalam berbagai persoalan yang berguna untuk mencerahkan dan mencerdaskan banyak orang. Sedangkan, menurutnya Etnografi bisa jadi meaningful dan meaningless. Lalu, ketiga, yaitu interpretasi. Saat penulis membaca kode-kode budaya, maka setelahnya penulis melakukan interpretasi terhadap kode-kode tersebut. Hingga, membaca karya Nur Syam 'Perjalanan Etnografi Spiritual' tak dapat dibaca dalam sudut pandang koherensi linguistik, melainkan membacanya dengan kacamata Herbert Blumer.
"Untuk menemukan aura di balik tulisan tidak bisa dibaca dengan sudut pandang koherensi linguistik. Melainkan, dapat dibaca dengan kacamata interaksi simbolik. Setiap makna di balik simbol tentu tak lepas dari latar belakang Etnografi, seperti budaya dan historis," imbuhnya.
Spirit Moderasi Beragama
Kendati demikian, dalam buku ini juga menebar spirit tersendiri khususnya dalam moderasi beragama. Seperti halnya disampaikan Irwan bahwa dalam buku tersebut terdapat bahasa spiritualitas yang demikian menunjukkan spirit atau semangat dalam moderasi beragama. Bahkan, menjadi spirit pembelajaran yang melahirkan kearifan di tengah modernisasi dan universalisasi.
"Bahkan, spirit membawa pada harmoni. Serta, menjadi orchestra dalam pengetahuan dan pengalaman riset untuk dipelajari. Hingga, Prof Nur Syam ini dapat menjadi spirit agama yang berada di Perguruan Tinggi Islam yang produktif. Selain itu, tentunya dapat meneruskan pemikiran, seperti Azyumardi Azra atau Komaruddin Hidayat," pungkasnya. (Nin)