Raih Doktor, Meneliti Moderasi Beragama Masyarakat Inklusif Kota Batu
InformasiKota Batu dikenal sebagai kota wisata. Banyak wisatawan dalam dan luar negeri yang mendatangi Kota Batu sebagai tempat rekreasi. Di antara kelebihan wisata Kota Batu adalah menjadi kota inklusif dengan gerakan beragama yang moderat. Hingga, kota ini dikenal sebagai Kota Inklusif. Sebuah sebutan yang tidak hanya di atas kertas tetapi benar-benar menjadi realitas di masyarakat.
"Para tokoh agama bisa menyatu dalam memahami perannya di masyarakat yaitu sebagai tokoh agama yang harus menyuarakan keberagamaan yang moderat di dalam konsepsi Islam yang disebut Islam wasathiyah. Semua tokoh agama bisa saling bahu-membahu untuk bekerja sama dalam koridor kerukunan dan kedamaian umat," jelas Nawawi saat mempresentasikan disertasinya.
Nawawi kembali menyampaikan bahwa pemahaman, sikap, dan perilaku beragama yang moderat sangat dibutuhkan oleh pemerintah dan masyarakat sebagai bagian dari upaya untuk menggerakkan wisatawan di Kota Batu. Sebab, menurutnya kerukunan dan perdamaian menjadi kata kunci bagi pemerintah dan masyarakat dalam menyongsong keberagamaan yang moderat di Kota Batu.
"Misalnya dalam kasus mahasiswa Papua di Malang, meskipun banyak mahasiswa Papua yang bertempat tinggal di Kota Batu, akan tetapi sama sekali tidak terprovokasi untuk melakukan tindakan menyimpang," tuturnya di depan seluruh penguji kala itu.
Pada kesempatan kali ini, Dr. Nawawi promovendus ujian terbuka pada Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, 28/09/2020 melalui Zoom. Saat usai ujian terbuka, Nawawi resmi dinobatkan menjadi doktor yang ke 621 UIN Sunan Ampel. Adapun dalam ujian terbuka program doktor tersebut diuji dengan tim yang terdiri dari, yaitu Prof. Dr. Aswadi Syuhadak, Mag Direktur PPS UIN Sunan Ampel sebagai pimpinan sidang dan Dr. Rofhani sebagai sekretaris. Sementara, Prof. Dr. Nur Syam, MSi dan Prof. Masdar Hilmy Rektor UIN Sunan Ampel, PhD sebagai promotor. Selan itu, juga didampingi oleh Prof. Mas'ud Said, PhD, Direktur PPs UINSMA, Prof. Dr. Biyanto, dan Khoirun Ni'am, PhD sebagai penguji utama.
Meski ujian dilakukan melalui saluran Meeting Zoom, ujian terbuka kali ini justru tampak berbeda sebab dihadiri oleh berbagai tokoh umat beragama dari Kota Batu. Para tokoh agama tersebut hadir secara offline di ruang ujian, di Kantor Kementerian Agama Kota Batu. Sedang, Dr. Nawawi adalah Kepala Kantor Kemenag Kota Batu.
Masyarakat yang Inklusif
Dalam disertasi ini, Nawawi menggunakan pendekatan kualitatif dengan memanfaatkan perspektif fenomenologi, yaitu teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara mendalam dan pengamatan secara terlibat dalam penelitian pada masyarakat di Kota Batu. Teknik penelitian ini dapat dilakukan dengan mudah oleh peneliti sebab dirinya memiliki banyak jaringan yang kuat dan tokoh-tokoh agama di Kota Batu.
Baca Juga : Qurban dan Pandemi: Sebuah Nilai untuk Dekatkan Diri Pada Ilahi
Hal ini disampaikan Dr. Nawawi, ia mengatakan bahwa dalam jabatannya sebagai Kepala Kankemenag tentu memiliki kesempatan yang cukup banyak untuk bertemu dalam berbagai forum dengan para tokoh agama.
"Maka kita disuguhi tentang bagaimana pemilihan Kota Batu sebagai lokus penelitian, bagaimana wawancara dan observasi dilakukan dan bagaimana penggunaan metode kualitatif tersebut secara utuh. Ketika kita membaca pertanggungjawaban akademis maka kita merasakan bagaimana Nawawi berkutat dengan penelitian lapangannya," ujarnya.
Adapun teori yang digunakan oleh peneliti untuk membedah proses dan makna gerakan moderasi beragama pada masyarakat inklusif Kota Batu adalah teori Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Demikian disampaikan Dr. Nawawi, ia menyampaikan bahwa teori konstruksi sosial mengandaikan bahwa ada dialog antara subyek dan obyek. Ia juga menyampaikan berdasarkan jawaban dari peneliti bahwa masyarakat sebagai kenyataan obyektif dan sekaligus juga kenyataan subyektif.
"Ada tiga moment dialektika subyek-obyek tersebut, yaitu moment eksternalisasi atau proses penyesuaian diri dengan dunia sosial, lalu moment obyektivasi atau interaksi diri dengan dunia sosial, dan moment internalisasi atau moment identifikasi diri di dalam dunia sosial. Di dalam moment ini terdapat institusionalisasi, sosialisasi dan habitualisasi yang terjadi di dalam kehidupan diri di dalam masyarakat," jelasnya.
"Melalui moment eksternalisasi, maka individu menjadi kenyataan sosial, dan melalui obyektivasi maka masyarakat menjadi kenyataan obyektif, dan melalui internalisasi maka masyarakat menjadi kenyataan subyektif. Di sini terdapat dialektika antara obyektivitas dan subyektivitas atau antara individu dan masyarakat," tambahnya.
Moderasi Beragama Berciri Khas
Faktor penting yang mengikat kerukunan umat beragama adalah relasi antara agama dan budaya yang bercorak simbiosis. Seperti halnya disampaikan Dr. Nawawi, ia menuturkan bahwa relasi harmonis antar umat beragama tersebut dibingkai oleh relasi antara agama dan budaya, yaitu pemanfaatan tradisi masyarakat lokal yang bersubstansi agama.
Baca Juga : Mencermati Launching ADP: Tantangan Smart Campus Bagi Dosen PMII (Bagian Tiga)
"Di antara tradisi tersebut adalah tradisi wewehan atau tradisi saling memberi makanan antar umat beragama. Selain itu, juga ada tradisi sambatan yaitu kebiasaan masyarakat untuk saling menolong dalam membuat rumah, atau pelaksanaan upacara keagamaan. Tradisi anjangsana yaitu tradisi untuk saling berkunjung dan bertemu antara satu tokoh agama dengan lainnya. Tak hanya itu, juga terdapat tradisi pangrukti layon, bari'an, sayan, bersih desa dan bakti sosial," tutur Dr. Nawawi.
Saat memasuki sesi tanya-jawab, penguji pun melemparkan pertanyaan demi pertanyaan. Namun, tak dapat dipungkiri beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh penguji di luar isi disertasi. Meski, pertanyaan tersebut masih memiliki relevansi dengan isi disertasi. Salah satunya pertanyaan yang dilontarkan oleh Prof. Mas'ud Said. "Yaitu, apakah tradisi milik Kota Batu, seperti wewehan, sambatan, silaturrahmi hanya ada di Kota Batu atau juga ada di seluruh masyarakat di Jawa Timur?. Apakah yang khusus di Kota Batu?," lontar penguji.
Tak hanya itu, pertanyaan demi pertanyaan juga dilontarkan oleh penguji lainnya, yaitu Prof. Masdar Hilmy. "Apakah signifikansi sosial penelitian ini, apakah hasil penelitian ini relevan dengan kenyataan sosial di daerah lain?" tanya Masdar Hilmy. Demikian juga pertanyaan datang dari Prof. Biyanto. "Apa tanggapan promovendus terkait pernyataan Menag mengenai radikalisme di masjid?," tanya penguji saat itu.
Dalam sesi tanya-jawab, Dr. Nawawi pun tampak menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan sangat memuaskan. Saat itu, ia menyampaikan bahwa masyarakat inklusif Kota Batu memang memiliki ciri khas dalam tradisinya. Sementara, tradisi tersebut tidak hanya dilakukan oleh umat Islam tetapi juga oleh masyarakat beragama lain.
"Tradisi wewehan itu diberikan kepada pemeluk agama lain bukan hanya khusus dalam agama yang sama, demikian pula tradisi anjangsana juga terhadap pemeluk agama lain, bahkan di dalam sebuah rumah tangga bisa saja terdiri dari berbagai pemeluk agama," kata Nawawi.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa dalam penelitian kualitatif maka tidak ada upaya generalisasi. Adapun kesimpulan hanya berlaku untuk wilayah Batu, tapi bisa saja terdapat transferability pada daerah lain, misalnya di Jawa Tengah tetapi dengan setting sosial dan kultural yang nyaris sama. Sementara, menjawab pertanyaan mengenai pernyataan sikap terhadap ungkapan Menag tentang radikalisme di masjid, ia mengatakan bahwa ungkapan Menag berlaku pada hal khusus bukan berlaku secara umum.
"Jadi hanya khusus orang yang good looking tetapi yang mengajarkan radikalisme dan bukan untuk seluruh yang berbahasa Arab baik dan hafal al-Qur'an," imbuhnya.
Ia juga mengatakan bahwa penyangga moderasi beragama pada masyarakat inklusif Kota Batu tersebut didasari oleh tiga hal, yaitu persepsi, pemahaman dan kesadaran individu, budaya dan tradisi serta peran agen.
Baca Juga : Halal Bihalal Kelas Menengah Muslim: Antara Religiositas dan Strata Sosial
"Persepsi, pemahaman dan kesadaran individu yang bercorak moderat, kemudian budaya tradisi yang menjadi perekat di dalam pergaulan, serta keberadaan agen yang terus menerus membina kerukunan beragama, seperti kelompok Gusdurian, FKUB, para Tokoh Agama dan kebijakan publik yang mendukung terhadap terbentuknya masyarakat inklusif yang menghargai kerukunan dan harmoni merupakan fondasi bagi terlaksananya gerakan moderasi beragama," tambahnya.
Tiga Catatan Khusus
Terakhir, di dalam pidato pengukuhan doktor Nawawi, Prof. Nur Syam selaku promotor dalam ujian terbuka memberi tiga catatan, yaitu pertama, ucapan selamat kepada Dr. Nawawi karena telah memperoleh gelar doktor ilmu keislaman dengan disertasi yang baik. Ia mengucapkan selamat untuk keluarga dan seluruh koleganya yang terlibat di dalam penelitian disertasi ini.
Ia juga mengatakan, meskipun Dr. Nawawi bukan berasal dari program ilmu sosial, tetapi Dr. Nawawi berhasil menggambarkan analisisnya melalui teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckman dengan cukup memadai.
Kedua, ia juga menyampaikan bahwa hendaknya temuan disertasi tentu harus unik. Hal ini bisa dinyatakan dengan konsep relasi antara agama dan budaya, keterlibatan tokoh agama dan kebijakan publik yang bercorak kolaboratif-harmonistik dapat memperkuat upaya moderasi beragama.
"Yaitu relasi yang saling menunjang dan berkontribusi untuk mendukung kolaborasi dan harmoni sosial sebagai pilar Gerakan moderasi beragama. Dr. Nawawi harus terus menulis, jangan menjadikan disertasi sebagai karya terakhir," ucap Nur Syam.
Ketiga, Dr. Nawawi adalah birokrat yang doktor. Menurut Nur Syam, ia juga harus memiliki perbedaan antara birokrat yang doktor dan yang belum meraih gelar doktor. "Upayakan agar pelayanan birokrasi menjadi semakin baik sesuai dengan upaya reformasi birokrasi di Indonesia. Yang diharapkan adalah semakin banyak birokrat yang bergelar doktor akan semakin baik kualitas birokrasi di Indonesia," pungkasnya. (Ns/Nin)