Sisi Gelap Media Sosial : Memahami Cyberbullying di Tengah Generasi
InformasiEva Putriya Hasanah
Media sosial telah membawa dampak yang luar biasa dalam kehidupan kita. Ini telah membuka pintu untuk koneksi global, berbagi informasi dengan cepat, dan memungkinkan kita terhubung dengan teman-teman jauh. Namun, di balik semua manfaat ini, ada sisi gelap yang harus kita akui: cyberbullying. Fenomena ini telah menjadi tantangan serius dalam era digital, terutama bagi individu millennial dan Gen Z.
Statistik terkait dengan cyberbullying mengungkapkan masalah yang mendalam dan perlu mendapatkan perhatian kita. Menurut Riset Digital Civility Index yang dilakukan oleh Microsoft pada April-Mei 2020 di Indonesia, 54% millennial dan 47% Gen Z pernah mengalami cyberbullying. Angka ini mengejutkan dan mengkhawatirkan, mengingat jumlah yang signifikan dari generasi muda yang terkena dampak negatif perundungan siber ini.
Studi juga menunjukkan bahwa korban cyberbullying lebih mungkin mengalami kecemasan dan depresi. Efek psikologis ini dapat merusak kesehatan mental mereka dan mempengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan. Cyberbullying memiliki kekuatan untuk mengejutkan, mengintimidasi, dan merendahkan korban, yang dapat memberikan dampak jangka panjang yang merusak.
Korban cyberbullying dua kali lebih mungkin untuk mencoba bunuh diri. Dampak emosional yang parah dari perundungan siber ini tidak boleh diabaikan. Ini mengingatkan kita bahwa konsekuensi cyberbullying bukan hanya masalah sepele, tetapi dapat berujung pada akibat yang sangat serius dan bahkan berakibat fatal.
Namun, ada sesuatu yang lebih mengkhawatirkan lagi. Lebih dari 90% insiden cyberbullying tidak dilaporkan. Alasan di balik angka ini bisa bervariasi, termasuk rasa takut, malu, atau ketidakpercayaan terhadap sistem yang ada. Hal ini menggarisbawahi pentingnya menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi korban untuk melaporkan kejadian yang mereka alami.
Rentannya Millennial dan Gen Z terhadap Cyberbullying
Baca Juga : Mengkaji CSR Semen Indonesia Persero, Ali Syamsuri Raih Doktor
Salah satu alasan mengapa generasi millennial dan gen Z sangat rentan terhadap cyberbullying adalah karena jumlah waktu yang mereka habiskan di platform media sosial lebih lama ketimbang kelompok lain. Berdasarkan hasil survei pada 5 Mei–2 November 2022 rata-rata mereka menghabiskan 1-2 jam per hari di platform ini. Ini memberikan lebih banyak kesempatan bagi pelaku cyberbullying untuk menyerang dan merendahkan mereka. Semakin lama waktu yang dihabiskan di media sosial, semakin besar risiko mereka terhadap perundungan siber.
Bentuk-Bentuk Cyberbullying
1. Flaming: Tindakan memposting penghinaan, serangan, atau komentar yang merendahkan secara online, seringkali termasuk penggunaan kata-kata kasar atau bahasa yang ofensif.
2. Harassment: Perilaku berulang kali mengirimkan ancaman membahayakan atau pesan yang mengganggu secara online.
3. Denigration: Menyebarkan informasi palsu, rumor, atau gambar memalukan tentang seseorang di internet dengan tujuan merusak reputasi atau hubungan sosialnya.
4. Impersonation: Membuat akun palsu atau menyamar sebagai orang lain tanpa izin untuk menyebarkan informasi pribadi atau memalukan.
5. Outing and trickery: Melakukan \"outing\" atau mengungkapkan rahasia pribadi seseorang tanpa izin, atau menipu korban dengan cara curang untuk mendapatkan informasi pribadinya.
6. Exclusion: Secara sengaja mengecualikan seseorang dari grup online atau aktivitas jejaring sosial.
7. Cyber stalking: Menguntit seseorang secara berulang di internet dan mengirimkan pesan yang mengancam atau mengganggu.
Strategi Efektif untuk Mencegah Cyberbullying
Untuk melawan sisi gelap ini, langkah-langkah perlu diambil. Pertama-tama, penting bagi individu Gen Z untuk menyadari risiko yang terkait dengan media sosial dan cyberbullying. Mereka harus diberikan pendidikan tentang pentingnya etika digital, perlindungan privasi, dan cara menghadapi perundungan secara online. Kedua, orang tua perlu mengawasi aktivitas online anak-anak mereka dan melibatkan diri dalam kehidupan digital mereka. Mereka harus membangun komunikasi terbuka dengan anak-anak mereka dan memberikan panduan tentang perilaku online yang aman dan bertanggung jawab. Ketiga, sekolah dan lembaga pendidikan harus menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi siswa. Mereka dapat melibatkan kampanye anti-cyberbullying, menawarkan dukungan emosional, dan melibatkan siswa dalam pembuatan kebijakan sekolah yang melawan perundungan.
Keempat, jika seseorang menjadi korban cyberbullying, penting untuk melaporkan konten negatif kepada penyedia platform dan menghapusnya dari media sosial atau platform yang relevan. Kelima, Korban cyberbullying perlu mendapatkan dukungan dan bantuan dari keluarga, teman, atau profesional. Mereka harus didorong untuk berbicara tentang pengalaman mereka dan mencari bantuan jika perlu. Keenam, penyedia platform media sosial juga berperan penting dalam melawan cyberbullying. Mereka harus memiliki kebijakan yang ketat terhadap perundungan siber, memfasilitasi pelaporan mudah, dan mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku. Mereka juga dapat menyediakan sumber daya dan dukungan untuk korban cyberbullying.