Strategi Menekan Laju Penyebaran Covid-19 di Jatim
InformasiKasus Covid-19 di Jawa Timur kini tercatat melampaui akumulasi kasus di DKI Jakarta. Berdasarkan data dilansir Kompas.com, Sabtu (28/06/2020) secara total kasus Covid-19 di Jawa Timur adalah 11.178 dengan rincian kasus positif Covid-19 yaitu 3.619 pasien sembuh dan 813 pasien meninggal dunia. Hari ke hari kasus Covid-19 di Jawa Timur terus meningkat. Hal itu disebabkan salah satunya karena rendahnya disiplin masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan.
Dilansir Kompas.com, Kamis (25/06/20) Khofifah Indar Parawansa selaku Gubernur Jawa Timur menyatakan bahwa meningkatnya kasus Covid-19 di Jawa Timur, salah satunya karena rendahnya disiplin masyarakat. Adapun tercatat 81,7 persen tempat ibadah masih aktif, 70,6 persen tak mengenakan masker, 64,6 persen tak menjaga jarak. Sedang, di pasar tradisional terdapat 84,1 persen tak menggunakan masker.
Professor Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D Dekan Fakutas Ilmu Sosial dan Politik UIN Sunan Ampel Surabaya mengatakan, banyaknya masyarakat Jawa Timur yang tak menaati protokol kesehatan dari pemerintah, salah satunya disebabkan karena lemahnya literasi masyarakat terkait pandemi Covid-19. Lemahnya literasi masyarakat terkait pandemi Covid-19 akhirnya berdampak pada pengetahuan masyarakat yang tak memadai. Hingga juga berakibat pada rendahnya kesadaran masyarakat untuk menaati protokol kesehatan, seperti masyarakat tak menggunakan masker dan tak menjaga jarak.
Edukasi literasi Pandemi adalah Tugas Bersama
Banyaknya masyarakat yang tak menaati protokol kesehatan juga karena faktor arus informasi terkait pandemi Covid-19 yang tak terkontrol dan terkelola dengan baik. Hal ini disampaikan oleh Muzakki bahwa informasi saat ini bisa didapat dimana pun dan kapan pun oleh siapapun.
"Dulu sumber informasi tersaring hingga terproduksi gagasan dari sumber yang bisa diatur. Sementara, saat ini sumber informasi tidak bisa dikontrol, dikelola, dan diatur. Saat ini siapa pun dapat memproduksi gagasan apapun. Masyarakat dapat memproduksi gagasan apa saja dan sesuai seleranya. Lalu, yang muncul dalam ruang yang sama yaitu kesalah pahaman tentang pandemi dan kegagalan untuk bisa menyaring informasi 'Sakjane sing ndi sih informasi yang benar?. Kemudian hal itu yang dikuatkan betul oleh Tom Nichols dalam bukunya yang berjudul The Death Of Expertise yang artinya matinya kepakaran. Dimana saat yang ahli turut memberikan informasi kemudian dianggap alami-alami saja. Sebab, setiap orang merasa tidak perlu lagi membedakan mana yang ahli dan tidak," ucapnya saat diwawancara via telfon oleh crew Nur Syam Centre.
Sumber informasi yang tak terkontrol dan terkelola dengan baik akhirnya mengakibatkan informasi yang beredar pun berbeda-beda. Hingga juga berakibat pada banyaknya masyarakat memahami informasi terkait pandemi Covid-19 berbeda-beda pula. Salah satunya pemahaman masyarakat terkait penggunaan masker. Misalnya, sebagian masyarakat memahami bahwa hanya orang sakit yang harus menggunakan masker. Sedang, masyarakat lainnya memahami bahwa memakai masker sangat penting. Sebab, para dokter menjelaskan, saat masyarakat memakai masker maka 70% dapat memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
"Misal konkret lainnya yang membuktikan lemahnya literasi masyarakat akan pandemi Covid-19 yaitu saat PSBB tidak dilanjutkan, lalu banyak masyarakat yang berkerumunan. Masyarakat merasa Covid-19 selesai. Padahal, tidak dilanjutkannya PSBB karena persoalan ekonomi," ujarnya saat diwawancara via telfon pukul 20.00 WIB (28/06/20).
Baca Juga : Memahami Multikulturalisme dalam Fikih Tarawih
Perilaku masyarakat yang tak menaati protokol kesehatan tentu dapat berpengaruh terhadap perilaku masyarakat lainnya. Muzakki kembali menyampaikan bahwa secara otomatis perilaku tersebut dapat berpengaruh terhadap perilaku masyarakat lainnya, yang mana hal ini disebut ekosistem sosial. Sebab suatu sistem akan mengkait suatu sistem lainnya. Sedang, kebutuhan saat ini adalah perlunya melakukan edukasi kepada masyarakat dengan melibatkan semua kalangan.
"Tidak hanya tenaga kesehatan yang mengedukasi masyarakat terkait Covid-19. Tenaga kesehatan bukan lantas berjalan sendirian. Melainkan, seperti tokoh masyarakat, agamawan, aktivis, dan akademisi harus hadir bersama-sama untuk mengedukasi masyarakat terkait pandemi Covid-19. Kemudian menjadikan pandemi sebagai projek besar demi kemaslahatan bersama," ungkapnya.
Penanganan terhadap perilaku masyarakat yang tak menaati protokol kesehatan dengan penegakan hukum di tengah pandemi Covid-19 memang penting, tapi edukasi masyarakat menjadi salah satu strategi sangat penting sebagai upaya untuk menekan kasus penyebaran Covid-19. Sebab, faktor edukasi yang melibatkan semua kalangan dapat secara efektif menekan laju penyebaran Covid-19 secara berkelanjutan.
Bergerak Maju di Peradaban yang Baru
Rendahnya disiplin masyarakat, selain karena disebabkan karena lemahnya literasi terkait pandemi Covid-19 juga disebabkan karena menguatnya kebiasaan masyarakat, yaitu berkumpul. Muzakki demikian menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan berkumpul yang kuat dari pada lainnya. Misalnya, cangkruan, jagongan, dan nongkrong. Kebiasaan ini yang kemudian menjadi penyebab utama banyaknya masyarakat tak menaati protokol kesehatan.
"Kita punya kebiasaan berkumpul sejak lama. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir saya melihat kebiasaan berkumpul meningkat. Dengan mulai banyaknya warkop hampir di setiap sudut jalan. Sehingga saat fasilitas semakin kuat dan kebiasaan berkumpul semakin terfasilitasi. Akhirnya tidak mudah untuk merubah kebiasaan tersebut," jelasnya.
Kebiasaan berkumpul masyarakat tersebut menjadi kesulitan tersendiri bagi aparat keamanan untuk mengatur masyarakat khususnya di tempat-tempat yang biasa jadi tempat berkumpul, seperti warung kopi. Kendati demikian, jika pelanggaran tersebut tak segera ditangani, maka masyarakat berpotensi untuk melanggar protokol kesehatan lainnya.
Masyarakat sudah semestinya mulai menerapkan kebiasaan baru. Sebab tak dapat dipungkiri adanya pandemi Covid-19 menghadirkan situasi baru yang mengharuskan masyarakat untuk melakukan sebuah perubahan. Misalnya, masyarakat perlu untuk memulai kebiasaan yang baru, seperti menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan, dan tidak berkerumun.
"Maka perlu kita dorong bersama, yang mana sebuah proses bergerak maju tersebut kemudian dapat disertai dengan perubahan mindset, paradigma, dan cara berpikir baru masyarakat untuk bisa menjadi bagian dari perubahan. Sebab, jika tidak begitu akan beresiko besar terkena pengaruh buruk dari Covid-19. Dampaknya nanti pada kesiapan masyarakat akan semakin rendah. Hal itu yang kemudian mengakibatkan masyarakat berada jauh dari peradaban baru yang disebabkan oleh pandemi Covid-19," pungkasnya. (Nin)