Islam Kolaboratif: Tradisi Islam Lokal Pesisiran
Kelas AntropologiIslam kolaboratif itu menggenapi atas sekian banyak konsep Islam Indonesia atau yang sering juga disebut Islam Nusantara. Sudah ada banyak konsep tentang Islam Indonesia, misalnya Islam sinkretik (Geertz), Islam akulturatif (Woodward), Islam alternatif (Budiwanti), Islam konvergentif (Bartholomew), Islam Kampung (Ali), Islam popular (Steenbrink), Islam transformative (Abdurrahman), Islam kosmopolitan (Wahid), Islam ramah (Muzadi) dan sebagainya. Ada banyak ragam konsep yang disimbolkan kepada Islam Indonesia tergantung dari perpektif atau cara pandangnya.
Islam kolaboratif itu mucul seirama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nur Syam (2003) yang kemudian disajikan dalam bentuk buku oleh LKiS (2005) dengan judul Islam Pesisir. Sebuah buku yang menggambarkan bagaimana Islam Pesisiran yang merupakan produk dialektika jangka panjang antara Islam dengan tradisi local dalam wilayah pesisiran melalui ruang budaya yang dilakukan oleh penggolongan sosial keagamaan dan menghasilkan Islam yang khas yaitu tradisi Islam local khas pesisiran.
Kajian ini dilakukan untuk mereview terhadap konsep Islam sinkretik yang dihasilkan dalam studi Geertz di Mojokuto, yang menganggap bahwa Islam di Jawa merupakan sinkretisme antara Islam, Hindu, Budha, animism dan dinamisme yang menyatu menjadi satu kesatuan, sehingga sudah tidak lagi dikenal mana Islam tersebut. Kemudian juga untuk mereview pandangan Weber, bahwa pada masyarakat yang modern atau semi modern maka akan tercerabut dari ajaran agama atau spiritualitas. Konsep yang dikaji adalah The Disenchantment of the World atau keterputusan dunia modern dengan dunia spiritual.
Berdasarkan atas kajian terhadap Islam pesisiran, maka dua konsep yang diajukan oleh Geertz maupun Weber ternyata tidak sepenuhnya benar. Masyarakat pesisiran yang sedang berada di dalam area transformasi menuju masyarakat modern ternyata justru semakin tertarik dengan aura spiritualitas. Alih-alih membuang dunia spiritual, tetapi yang terjadi justru semakin menguat aura spiritualitasnya. Kunjungan ke makam keramat justru semakin menguat, demikian pula nuansa keberagamaan juga semakin semarak. Pengajian untuk memperdalam ajaran Islam dan juga ritual-ritual keagamaan semakin semarak. Kelompok kajian keagamaan juga semakin kencang dinamikanya.
Tradisi Islam lokal juga memperoleh momentum di dalam era yang menuju kepada modernitas. Melalui dialog jangka panjang antara penggolongan sosial (NU,Abangan dan Muhammadiyah) di dalam ruang budaya (sumur, kuburan dan masjid), maka menghasilkan Islam dalam coraknya yang khas. Islam yang berciri khas keindonesiaan, yaitu dengan mengkolaborasikan antara penggolongan sosial, ruang budaya dan Islam, maka kemudian menghasilkan tradisi Islam local. Antara orang NU dan Abangan bertemu di dalam tradisi local: nyadran dan sedekah bumi, keduanya berkolaborasi untuk saling memberi dan menerima. Ada yang dipertahankan, ada yang dibuang dan ada yang ditambahkan. Tradisi nyadran yang semula warisan leluhur berupa selamatan, kemudian melalui dinamika kolaborasi antara wong Abangan dan NU akhirnya tidak hanya sekedar selamatan, akan tetapi menjadi acara tahlilan, yasinan dan pengajian. Intinya adalah doa selamat dan kemudian dihias dengan tahlilan dan yasinan yang sesungguhnya menjadi medium untuk berdoa bagi para leluhur yang sudah meninggal di makam. Jika sebelumnya acara tersebut diisi dengan membuang nasi ke makam maka hal itu tidak dilakukan lagi. Jika sebelumnya terdapat pembakaran dupa, maka diganti dengan tabur bunga kepada leluhur. Jika sebelumnya di sumur dilakukan acara hiburan dengan tayuban atau sindiran, maka kemudian diubah dengan acara keagamaan.
Penggolongan sosial NU dan Abangan akhirnya bertemu di masjid untuk menjalankan syariat Islam yaitu shalat dan pengajian atau kegiatan keagamaan lainnya. Akhirnya NU, Abangan dan Muhammadiyah bersama-sama bertemu di masjid sebagai ekspressi keagamaan yang memang seharusnya dilakukan. Di dalam konteks ini, maka akhirnya banyak orang Abangan yang menjadi NU sebab telah terjadi kesamaan dalam ekspressi keagamaan, yang berupa menjalankan tradisi Islam lokal. Meskipun masih ada di antara orang Abangan yang belum menjadi Islam secara memadai, tetapi jika ada keluarganya yang meninggal maka tahlilan dan yasinan menjadi syaratnya.
Sebagaimana kajian yang menggunakan perspektif teori konstruksi sosial yang dikemukakan oleh Berger dan Luckman, maka ada tiga moment dialektika yang mendasar, yaitu moment eksternalisasi atau moment adaptasi diri dengan dunia teks religious atau teks sosial, moment obyektivasi atau moment interaksi diri dengan dunia sosial dan momen internalisasi atau moment identifikasi diri dalam dunia sosial, maka fenomena tradisi Islam local tersebut dapat dipahami.
Tradisi lokal yang berkolaborasi melalui pemahaman atas teks-teks suci, yang diekspresikan melalui tahlilan dan yasinan di dalam ruang budaya (makam atau sumur) dalam relasi penggolongan sosial (Abangan dan NU) maka dapat menghasilkan tradisi baru, yaitu tradisi Islam local. Dengan demikian, orang NU dapat beradaptasi dengan tradisi slametan dalam tradisi local, dan orang Abangan juga dapat beradaptasi dengan tradisi Islam, sehingga terdapat proses untuk memberi dan menerima. Tradisi local slametan diterima oleh orang NU dan tradisi tahlilan dan yasinan diterima oleh orang Abangan. Melalui dialog jangka panjang tersebut maka beberapa tokoh Abangan akhirnya menjadi NU dan kemudian bertemu di dalam masjid untuk ibadah. Akibat lebih lanjut adalah masuknya orang-orang Abangan menjadi Islam ala NU.
Islam kolaboratif, dengan demikian bukanlah Islam varian baru, akan tetapi Islam yang memiliki basis tafsir sesuai dengan penafsiran para ulama Islam ala ahlu sunnah wal jamaah, dengan memberikan peluang bagi tradisi Islam local untuk hidup dan berkembang. Islam khas Indonesia, yang ekspresinya bisa saja berbeda dengan Islam di Timur Tengah, tetapi secara substansi sebenarnya memiliki kesamaan, yaitu Islam yang bisa berkolaborasi dengan tradisi-tradisi dalam area yang luas tetapi tradisi tersebut sudah senafas dengan Islam yang benar.
Dengan demikian, dalam Islam kolaboratif terdapat beberapa konsep yang penting, yaitu: konsep dialog tradisi, penggolongan sosial, ruang budaya dan Islam tradisi lokal pesisiran. Bagi yang berminat melakukan penelitian lebih lanjut, maka bisa saja melakukannya dalam penelitian yang menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan mencari korelasi antar variabelnya, atau metode penelitian kualitatif yang berupaya memahami lebih mendalam konsep-konsep yang disajikan ini.
Sebuah karya yang baik bagi akademisi adalah kala konsep temuannya atau novelty kajiannya dikaji oleh banyak orang, baik yang merevisi, membenarkan atau bahkan yang menolaknya.
Wallahu a’lam bi al shawab.