Fenomenologi Sebagai Metode Penelitian Sosiologi (2)
Kelas Metode PenelitianOleh: Dr. Abdul Main. M. Hum.
Widyaiswara BDK Surabaya
Metode Fenomenologi dan Paradigma Sosiologi
Para peneliti sosiologi yang menggunakan metode fenomenologi, pertama-tama harus memilih paradigma sosiologi yang relevan dengan teori maupun metode fenomenologi. Sebab tidak semua paradigma sosiologi cocok diteliti dengan teori dan metode fenomenologi. Paradigma sosiologi sebagaimana dikenalkan oleh Ritzer dan Goodman (2011: 697-700) ada tiga, yaitu: paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Masing-masing padigma memiliki akar epistemologi dan ontologi yang berbeda. Oleh karena itu masing-masing paradigma hanya cocok dipasangkan dengan teori-teori tertentu saja, dan sebaliknya, tidak cocok dengan sembarang teori. Ibarat alat untuk mengukur panjang sebuah bidang menggunakan centimeter dan untuk mengukur volume air menggunakan mililiter. Demikian juga paradigma sosiologi, masing-masing memiliki pasangan yang relevan dengan teori-teori tertentu. Penegasan status paradigma ini penting untuk menentukan teori sosial mana yang akan dipakai. Hotman M. Siahaan (2011) menegaskan bahwa penggunaan teori haruslah mempertimbangkan relevansi dan kontekstualisasi.
Paradigma fakta sosial, mengikuti jalan pikiran Emile Durkheim, fokus pada domain ontologis struktur dan institusi sosial skala besar. Teori-teori yang cocok digunakan antara lain teori struktural fungsional, teori konflik dan teori sistem. Di pihak lain, paradigma definisi sosial fokus pada (domain ontologis) cara aktor mendefinisikan situasi sosial mereka dan efek definisi-definisi tersebut terhadap tindakan dan interaksi yang ditimbulkannya. Eksemplar yang dirujuk para definisionis adalah karya Weber tentang tindakan sosial. Teori-teori yang relevan digunakan para definisionis antara lain teori tindakan, interaksionisme simbolik, fenomenologi, etnometodologi, eksistensialisme, dan teori strukturasi. Sementara paradigma perilaku sosial fokus pada domain ontologis perilaku manusia. Tokoh yang dianut adalah B. F. Skinner. Sedangkan teori-teori yang relevan digunakan adalah teori sosiologi behavioral yang sangat dekat dengan behaviorisme psikologi dan teori pertukaran.
Abdul Main dalam karya editor Muhammad Farid (2016: 23-55), Fenomonologi dalam Penelitian Ilmu Sosial yang diterbitkan oleh Prenada Media, Jakarta, menjelaskan bahwa domain ontologis penelitian dengan metode fenomenologi umumnya berada di ranah mikro-subjektif dan berbasis studi kasus. Dengan mikro-subjektif memaksudkan bahwa ‘tingkatan realitas sosial’ yang diteliti merupakan bagian kecil saja dari kontinum sosial makro yang secara sengaja dibidik sebagai fokus penelitian dalam ranah terbatas. Sebagai konsekuensinya, studi fenomenologi tidak berambisi untuk menggeneralisasi realitas sosial secara makro, tetapi berusaha menafsirkan dan memahami realitas sosial yang dikonstruksi para aktor berhadapan dengan dunianya.
Metode verstehen dari Max Weber (1864-1920) adalah ancangan yang tepat untuk disandingkan dengan metode fenomenologi. Verstehen, istilah yang dipakai oleh filsuf sejarah Johann Gustav Droyesen (1838-1908) untuk menyerang pandangan positivis itu oleh Weber dipertegas sebagai bentuk pengetahuan kausal. Menurut Weber, penelitian sosiologi berusaha menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antarhubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal (Ritzer, 2010: 38). Karena itu metode Weber juga dikenal sebagai metode penafsiran dan pemahaman (verstehen) sebagai ancangan utama untuk memahami fenomena sosial mikro.
Kendatipun teori dan metode fenomenologi adalah khasnya sosiologi mikro, bukan tidak mungkin diintegrasikan dengan teori-teori sosiologi makro. Sebagaimana Ritzer dan Goodman (2004: 482-3) dua orang eksponen paradigma integratif mengusulkan integrasi mikro-makro yang mengandaikan bahwa realitas sosial merupakan suatu kontinum yang bergerak menuju suatu titik tertentu, bisa dari mikro ke makro atau dari makro ke mikro. Dalam kaitan ini karya Abraham Edel (1959), George Gurvitch (1964), Bosserman (1968), dan Smelser (1977) merupakan karya-karya yang dirujuk Ritzer untuk membangun eksemplar paradigma integratifnya. Karya-karya lain tentang penggunaan paradigma integratif ditunjukkan oleh Coleman (1986, 1987) yang menggunakan analisis Mikro-Makro dan karya Allen Liska (1990) tentang Makro-Mikro. Namun kedua pendekatan tersebut oleh Anthony Giddens (1984) dinilai kurang memadai.
Baca Juga : Dakwah Krisis Iklim
Giddens kemudian mengusulkan paradigma integratif yang berbeda dari model analisis Mikro-Makro dan Makro-Mikro. Giddens melihat analisis sosiologi maupun sejarah selalu menyangkut perhubungan antara tindakan agen dengan struktur, meski tak berarti bahwa struktur ‘menentukan’ tindakan agen atau sebaliknya (Ritzer dan Goodman, 2004: 507). Tujuan teori integrasi agen-struktur yang kemudian dinamai ‘teori strukturasi’ Giddens adalah untuk menjelaskan dialektika dan saling memengaruhi antara agen dan struktur. Agen dan struktur tidak dapat dipahami dalam keadaan saling terpisah satu sama lain, agen dan struktur adalah dwi-rangkap ibarat dua sisi mata uang. Seluruh tindakan sosial memerlukan struktur dan seluruh struktur memerlukan tindakan sosial (Ritzer dan Goodman, 2004:508).
Teori strukturasi boleh jadi merupakan contoh paradigma integratif paling maju di jajaran teori-teori sosial modern. Namun demikian tidak ada klaim kebenaran yang adekuat. Benar saja apa yang dikatakan Sanderson (2011: 18), bahwa “masing-masing pendekatan memberikan pemahaman terhadap realitas yang valid secara parsial, dan apabila pendekatan-pendekatan yang ada dikombinasi, maka pemahaman yang lebih lengkap akan tercapai”. Atas argumen itu maka sebuah analisis dalam penelitian hendaknya tidak kaku karena fenomena yang diteliti bukanlah hitam-putih. Seorang peneliti harus berani membuka diri untuk tidak terkungkung di dalam satu cara pandang terhadap realitas sosial. Sebab ‘tingkatan realitas sosial’ yang diteliti merupakan kesatuan sosial yang kompleks dan saling berhubungan sehingga akan lebih memadai jika analisis dialektik-eklektif dilakukan.
Sebagai konsekuensinya, sangatlah mungkin sebuah penelitian akan melahirkan paradigma baru (selain teori baru tentunya). Memang peneliti harus berani menciptakan suatu paradigma baru jika kompleksitas fenomena yang ditemukan dalam penelitian menuntut demikian. Seperti dikatakan Kuhn (2008: 52-53) ketika berbicara tentang anomali dan munculnya penemuan sains, bahwa “...riset yang mengikuti paradigma harus merupakan cara yang betul-betul efektif untuk mendorong perubahan paradigma... penemuan diawali dari kesadaran akan anomali, yakni dengan pengakuan bahwa alam, (penulis tambahkan, realitas sosial) telah berjalan di luar dari paradigma yang menguasai sains yang normal”. Suatu paradigma dan juga teori bukanlah diktum yang mati, melainkan senyawa yang hidup dan dapat berdialog dengan realitas sosial dalam kontinum pengetahuan sepanjang masa.
Penerapan Metode Fenomenologi
Sebagai sebuah metode penelitian, fenomenologi akan terasa cukup rumit bagi yang belum terbiasa bekerja di alam filsafat. Para peneliti pada umumnya akan terkendala pada bagaimana “membumikan” derajat filosofis kepada implementasi praktis metodologis. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa alam pikiran filsafat fenomenologi yang sangat ‘mengawang’ harus ditransformasi ke alam pikiran praktis-metodologis. Karena di dalam dan dengan fenomenologi, peneliti akan menelusuri dunia nyata fenomena yang being tanpa prasangka dan pada saat yang sama peneliti harus mampu membuat tipifikasi atau penggambaran mental keseharian subjek. Tipifikasi dilakukan dengan mengolah fakta, data, dan informasi ke dalam deskripsi tekstural dan struktural melalui reduksi transendental hingga sampai kepada kesadaran transendental. Inilah yang saya maksud dengan ‘membumikan’ derajat filosofis filsafat fenomenologi yang sangat tinggi ke tataran praktis-metodologis.
Fenomenologi sosiologi konsen pada cara aktor menginterpretasi dunia sosialnya dengan membentuk sense-data ke dalam tipifikasi atau penggambaran mental (Waters, 1994: 8). Dalam ruang terbatas ini, penulis akan coba mengonstruksi metode fenomenologi Husserlian yang sangat filosofis menjadi metode yang teknis-aplikatif (tentu bukan bermaksud mendistorsi). Dan dalam beberapa hal juga akan mengonvergensi dengan fenomenologi Schutzian, terutama konsepnya mengenai ‘ada’ sebagai pintu masuk (access point) ke makna-makna intersubjektif, sehingga menjadi metode yang bernada Husserlian-Schutzian. Lalu secara teknis-aplikatif, penulis akan menurunkan derajat filosofis ke derajat teknis-aplikatif dengan mengadopsi Moustakas (1994) terutama tentang cara dia membangun deskripsi tekstural dan struktural. Cara berpikir ini sekilas terkesan reduksionis, tetapi metode menggapai kebenaran secara fenomenologis memang haruslah dilalui dengan keberanian melakukan transformasi metodik seperti ini.
Dengan ikhitiar tersebut penulis berharap para pembaca sekaligus peminat motode fenomenologi memperoleh gambaran aplikatif bagaimana cara menggapai kebenaran yang maknawi: merasakan jadi bagian dari fenomena, menyadari keberadaan fenomena, memotret dan mengonstruksi narasi fenomena yang dirasakan-diamati-diteliti. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah menyajikan hasil penelitian fenomenologis dalam bentuk narasi yang hidup, metaforis dan menumental.
Berikut adalah langkah-langkah metodis Husserlian-Schutzian yang penulis mix dan rekonstruksi:
Baca Juga : Peran Pendakwah dalam Mempertahankan Eksistensi Tradisi Islam Lokal
1. Peneliti harus bertendensi untuk mengungkap makna intersubjektif suatu fenomena yang ‘being’. Karena di dalam ‘being’ itu terdapat makna yang tampak dari pergumulan pengalaman antar-subjek. Karena makna tidak dapat dipisahkan dari subjektivitas dan dari inter-subjektivitas yang mencapai kesatuannya melalui konvergensi pengalaman masa lampau dan pengalaman masa kini para subjek. Jadi, makna intersubjektif tidak lain adalah makna yang disadari dan diproduksi bersama antar-subjek di dalam ‘being’ sepanjang lintasan ruang dan waktu.
2. Di tengah situasi pergumulan makna semacam itu, peneliti masuk (tune in) dengan dorongan kuat untuk mencari kebenaran ilmiah tanpa prasangka melalui apa yang oleh Husserl disebut
3. Peneliti harus mampu mendeskripsi secara fenomenologis melalui tiga fase sebagaimana penafsiran Spiegelberg (Misiax dan Sexton, 2005: 7) terhadap Husserl, yaitu: mengintuisi, menganalisis dan menjabarkan. Mengintuisi berarti merenungkan fenomena secara intens; menganalisis berarti menemukan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena dan pertaliannya; sedangkan menjabarkan adalah menguraikan fenomena yang telah diintuisi dan dianalisis sehingga fenomena itu bisa dipahami oleh orang lain.
4. Peneliti harus mampu melakukan reduksi fenomenologis; yaitu menyaring pengalaman subjek sehingga yang tampak hanyalah fenomena yang wujud fenomena yang terang benderang semurni-murninya. Sebagaimana diktum Husserl “Nach den Sachen selbst”, kembali pada esensinya sendiri (Driyarkara, 2006: 1323).
5. Setelah kembali pada esensinya sendiri, pada tahapan berikutnya peneliti melakukan ideation atau membuat idea melalui proses reduksi eidetic untuk menemukan eidos, yaitu hakekat yang diteliti sampai yang sejatinya, atau sampai Wessen-nya kata Husserl. Artinya di sini kita melihat hakekat yang niscaya dari sesuatu yang diteliti.
6. Di tengah keniscayaan esensi fenomena (Wessen-nya) peneliti melakukan reduksi transendental dalam rangka memperoleh kesadaran transendental. Menurut Husserl di depan kesadaran transendental itu dunia terentang dengan kejernihan tanpa tirai penghalang apa pun sehingga dunia dijiwai sepenuhnya oleh serangkaian apersepsi (apperzeption) yang menjadi tugas peneliti untuk merekonstruksinya dengan berpangkal pada tujuan penelitian yang hendak dicapai.
Melalui beberapa langkah metodologis Husserlian-Schutzian tersebut maka cara menggapai kebenaran ilmiah, atau lebih jauh lagi, metode penciptaan ilmu pengetahuan baru, sesungguhnya mengalami purifikasi yang sangat mendasar. Karena cara memperoleh kebenaran dilakukan tanpa prasangka, dengan cara kembali kepada fenomenanya sendiri sejernih-jernihnya, hingga fenomena mengada sebagai dirinya sendiri.
Dengan cara pandang fenomenologis, maka penelitian diharapkan: (1) mampu menggali because motive dan in order to motive dari fenomena; (2) berhati-hati dalam mengonstruksi makna-makna dari fenomena yang diamati; konstruksi makna realitas harus dilakukan setelah melalui proses reduksi. Dengan reduksi, ada upaya menunda proses penyimpulan dari setiap prasangka terhadap realitas; sehingga makna-makna yang terkonstruksi dalam pemahaman adalah benar-benar jernih (3) mampu menggali dunia subjektif yang unik, aktif dan khas secara interpretatif; (4) mampu menyajikan makna-makna yang berkembang di luar makna umum; (5) mampu membangun dialektika antara individu dan lingkungan hingga mencapai keseimbangan dalam memahami fenomena sosial; (6) mampu memahami aktivitas manusia sebagai sesuatu yang bermakna bagi aktor dalam masyarakat. (bersambung).