Islam di Indonesia: Sejarah dan Ajaran (2)
Kelas Metode PenelitianOleh: Prof. Dr. Nur Syam, M.Si
Sejarah kehidupan manusia dengan agamanya tidak selalu mulus bak putri raja. Selalu ada bercak-bercak bekas jerawat atau bahkan bisul-bisul dan juga bopeng-bopeng yang menghiasi wajah tersebut. Sama halnya dengan sejaran agama yang juga memiliki bopeng-bopeng sebagai akibat perseteruan, rivalitas dan bahkan konflik di antara penganut ajaran agama dimaksud. Itulah sebabnya kita tidak bisa mengidolakan sejarah tetapi juga tidak bisa meninggalkan sejarah. Sejarah tetap wajib dipelajari untuk memahami dinamika dan perjalanan kehidupan suatu masyarakat di masa lalu dan menjadikannya sebagai penduan untuk merenda masa depan.
Sejarah Islam dan sejarah agama lain juga tidak semulus yang kita bayangkan. Ada juga bercak-bercak yang tertinggal sebagai akibat konflik yang terjadi. Konflik adalah sejarah kemanusiaan meskipun juga tentu ada sejarah keteraturan social. Semuanya merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses dan dinamika kehidupan yang memang terjadi di dalam sejarah perjalanan kehidupan manusia. Tetapi satu hal yang pasti bahwa proses Islamisasi di Nusantara tidak separah yang dibayangkan oleh Sebagian masyarakat, bahwa Islam disiarkan dengan pedang. Terutama oleh para orientalis yang menyatakan bahwa Islam itu hadir di dalam suatu wilayah dilakukan dengan pertumpahan darah. Di Nusantara Islam disebarkan dengan damai dan tenang.
Berdasarkan teori datangnya Islam di Indonesia, maka terdapat beberapa catatan, yaitu: Pertama, Islam disebarkan melalui sumber aslinya, yaitu Arab Saudi. Ada beberapa catatan bahwa Islam yang datang ke Indonesia itu adalah Islam sebagaimana yang dilakukan di Arab Saudi. Pada masa Sayyidina Usman menjadi khalifah sudah asa utusan Khalifah yang datang ke Indonesia. Kedua, Islam datang dari Gujarat atau India Selatan. Waktu itu kerajaan-kerajaan di Gujarat sudah memeluk Islam sehingga peluang untuk menyebarkan Islam di Nusantara sangat terbuka. Teori ini banyak yang menolak sebab ada perbedaan madzab antara Islam Nusantara dengan Islam Gujarat. Ketiga, Islam datang dari Hadramut. Teori ini banyak yang mendukung sebab memang ada kesamaan antara Islam Nusantara dengan Islam Hadramut. Juga terbukti banyak Habib-Habib yang kemudian menjadi cikal bakal bagi Islam di Nusantara. Keempat, teori Islam datang persia. Teori ini juga dianggap lemah sebab bukti-bukti bahwa Islam di Indonesia tidak sama dengan Islam di Persia. Meskipun ada juga beberapa kesamaan di antara keduanya. Misalnya mengenai upacara tabut dan perayaan Asyura.
Terlepas dari kekuatan dan kelemahan masing-masing teori tersebut, tetapi yang jelas ada beberapa hal yang dipastikan bahwa Islam datang ke Indonesia dalam coraknya yang esoteris, sehingga teori Islam sufi atau Islam tasawuf menjadi penting untuk dipahami. Di dalam konteks ini, maka ada yang berlaku sebagai pedagang dan ada yang memang secara sengaja menjadi pendakwah untuk masyarakat Nusantara. Itulah sebabnya Islam di Indonesia hingga sekarang lebih bercorak esoteris dibandingkan dengan corak lainnya. Adapun kemudian terdapat aliran modern dalam Islam, sebagaimana diusung oleh Muhammadiyah pada tahun 1950-1970-an, hal itu adalah pengaruh relasi antara organisasi ini dengan pusat pemerintahan di Arab Saudi.
Baca Juga : Hiruk Pikuk MUI
Islam di Nusantara mengalami proses berkelanjutan. Pertama, proses dakwah secara individual, baik melalui perdagangan atau Gerakan dakwah kaum tasawuf, adalah untuk mengislamkan masyarakat Nusantara melalui dakwah perseorangan. Misalnya, kehadiran Fathimah Binti Maimun di Gresik, atau Syekh Datuk Kahfi di Banten adalah dakwah yang dilakukan secara perseorangan. Kedua, dakwah melalui komunitas, yaitu dakwah yang dilakukan dalam komunitas-komunitas Islam yang sudah terdapat di Nusantara. Di Tuban, Gresik, Jepara, Kudus, Semarang dan sebagainya sudah terdapat komunitas Muslim dan kemudian para pendakwah tersebut berdakwah di dalamnya. Ketiga, berdakwah melalui system pemerintahan, yaitu di saat umat Islam di dalam komunitas tersebut sudah kuat, maka kemudian dengan berbagai dukungan dari ulama atau waliyullah, maka para pemimpin umat Islam mendirikan negara, misalnya munculnya Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Demak, Kerajaan Pereulak, Kerajaan Palembang dan sebagainya.
Islam kemudian terus berkembang di Nusantara menggantikan agama Hindu dan Buddha dan bahkan Islam menjadi agama mayoritas bagi masyarakat Indonesia. Meskipun hadir juga agama Kristen dan Katolik bersamaan dengan kaum penjajah dan terakhir Konghucu, namun kehadiran agama-agama besar di dunia tersebut tidak mempengaruhi terhadap komposisi kemayorisatasan Islam di Indonesia. Penjajahan Belanda dengan membawa kaum Misionaris tidak mampun untuk menjadikan Islam menjadi melemah dan mengecil akan tetapi justru semakin menguat.
Di antara yang tetap bertahan adalah Islam ala ahli sunnah wal jamaah dengan pendekatan tasawuf, sehingga kekuatan penjajah tidak menggerus kepenganutan Islam di Indonesia. Pengamalan Islam yang bercorak esoteris bersesuaian dengan cita rasa beragama masyarakat Indonesia yang di masa lalu beragama Hindu dan Buddha. Kehadiran Islam di Bumi Nusantara tidak dianggap sebagai musuh masyarakat tetapi dianggap sebagai penyempurnaan atas agama mereka. Itulah sebabnya penerimaan atas ajaran Islam yang dikembangkan oleh para waliyullah tidak vis a vis terhadap keyakinan mereka sebelumnya.
Akomodasi yang dikembangkan oleh para wali dengan mengadaptasi tradisi dan kebudayaannya menjadi faktor penentu atas Islamisasi Nusantara. Penggunaan wayang, gending jawa, tradisi Islam yang diakomodasikan dengan milik masyarakat akhirnya menjadi penentu atas hasil Islamisasi di Nusantara. Memang di mana-mana selalu terdapat rivalitas dan pertentangan dalam kehidupan masyarakat termasuk juga mengenai paham agama di kalangan masyarakat Islam. Makanya, kemudian dikenal ada corak paham keagamaan ahli sunnah wal jamaah, Syiah, ahli sunnah dan paham keagamaan yang non mainstream. Di dalam khazanah Islam Indonesia, salah satu yang menarik bahwa perbedaan paham keagamaan tersebut tidak menyebabkan terjadinya disharmoni social akan tetapi justru menimbulkan integrasi spesifik. Misalnya bagaimana NU dan Muhammadiyah yang semula berbeda pendapat dan akhirnya bisa secara ideologis mengembangkan Islam wasathiyah, tetapi di sisi lain juga menimbulkan Islam ahli sunnah yang secara diametral berbeda dengan Islam ahli Sunnah wal jamaah.
Perkembangan ini menarik untuk ditelusuri dalam konteks kajian ilmu social, ilmu agama, atau bahkan politik. Semua akan memberikan gambaran bahwa di Indonesia itu kaya akan label atau symbol keberagamaan yang unik dan menarik.
Wallahu a’lam bi al shawab.