(Sumber : liputan6.com)

Islam Inklusif : Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama

Kelas Sosiologi

Zuhrotul Maryam 

UIN Sunan Ampel Surabaya

  

Artikel ini adalah resume buku dari karya tokoh studi Islam terkemuka di Indonesia yakni Alwi Shihab, yang berjudul Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Buku ini adalah salah satu karya fenomental yang menguak nilai esensi dan paradigma agama islam yang sangat komprehensif. Buku yang ditulis oleh Alwi Shihab ini bisa dikatakan adalah buku terbaik pada zamannya dan masih sangat relevan sebagai pandangan nalar berfikir hingga saat ini. Bayangkan saja, buku ini pertama kali diterbitkan oleh Mizan pada 1997 dan konten isi nya masih sangat serat nilai untuk singgungan studi agama hingga saat ini. Melalui 233 halaman, buku ini akan mengulas terkait 5 topik yakni: membangun landasan dialog antar agama, dialog antar agama serumpun, agama dan tantangan etika global, problematika internal umat dan Islam di indonesia. 

  

Dalam membahas Islam Inklusif, Alwi Shihab memulai dengan pembahasam dialog antar umat beragama. Alwi Shihab menguatkan, bahwa untuk membangun moderasi beragama, maka diperlukan metode untuk dialog antar umat beragama, metode monolog tidak lagi relevan dengan konteks masyarakat saat ini. Pasalnya, metode monolog hanya terpaku pada superioritas agama yang satu dan mendiskreditkan agama yang lain nya. Tentu hal ini, menjadi gesekan sosial masyarakat yang dapat mempengaruhi peradaban kemanusiaan. 

  

Dialog antar agama harus dilandasi oleh dua aspek yakni toleransi dan pluralisme. Dua sikap tersebut, memiliki hubungan timbal balik, yakni untuk beranjak pada pluralisme maka diperlukan sikap toleransi beragama. Alwi syihab menekankan, bahwa yang dimaksud pluralisme disini, bukan termasuk 4 hal, diantaranya: Pertama, pluralisme bukan hanya menyatakan kemajemukan tetapi tidak turut andil aktif berperan di dalamnya. Kedua, pluralisme bukan hanya sekedar gaya kosmopolitanisme, yang hanya hidup dalam suatu kawasan dan menyadari kemajemukan. Ketiga, pluralisme bukan juga termasuk nalar pikir relativisme, yang menyadari kemajemukan berdasarkan kerangka berfikir semata. Keempat, pluralisme bukan termasuk sinkretisme –yakni bentuk menggabungkan dua, atau lebih ajaran agama menjadi agama baru. Seperti halnya, Manichaesme yang lahir pada abad ke 3 yang menyatukan antara agama zoroaster, Buhdha dan Kristen. New Age Religion yang lahir pada abad 20 yang menyatukan Yoga Hindu, Meditasi Budha, Tasawuf Islam dan Mistik Kristen. Bukan juga seperti Bahaisme yang lahir abad pertengahan 19 di Iran yang menyatukan Yahudi, Kristen dan Islam. Tentu yang dimaksud pluralisme agama bukanlah hal yang demikian. Pluralisme agama adalah sikap mengakui kemajemukan, serta turut aktif dalam singgungan kemajemukan, tetapi tidak mencampur nilai ajaran yang satu dengan ajaran agama yang lain. 

  

Dalam pendekatan studi, Alwi Shihab memaparkan bagaimana singgungan antara dua agama dan lebih. Pada mulanya, model studi dalam perkara tersebut terbagi menjadi dua yakni, metode deskriptif dan metode naratif. Metode deskriptif adalah pemaparan komprehensif terkait struktur, doktrin dan elemen sejarah yang terlibat tanpa memberikan pemaparan nilai (value judgment) –dalam tahap metode ini, agama bukan berarti hanya tingkat imani dan hakiki dengan memaparkan ajaran semata namun menempatkan agama pada sasaran pemikiran,. Sedangkan model normatif adalah upaya pemaparan kebenaran suatu doktrin, otentitas teks dan fleksibilitas ajarannya. Dengan demikian model normatif cendrung mendiskreditkan agama yang satu dan mengunggulkan agama yang lain. Pada tahap dua metode ini, agama hanya berkelindan kaku hanya berkisar bagaimana agama tersebut dapat dijelaskan secara studi serta bagaimana mencari celah suatu ajaran beragama. Dengan demikian, agama pada masa mulanya terpisah dari studi ilmu sosial yang dapat dikaji.  

  

Pada paruh terakhir ini, agama muncul dalam bentuk kajian studi yang unik dan dapat diteliti tidak hanya melalui deskriptif atau normatif semata. Hal tersebut, dikarenakan pada akhir abad ke 19 ini, agama ditempatkan sebagai objek salah satu disiplin ilmu yang disebut Science of Religions (ilmu agama-agama). Studi ini diprakarsai oleh Max Muller yang memiliki spirit gerakan bahwa sebelum membandingkan agama maka diperlukan pengetahuan terhadap agama tersebut secara mendalam. Agama sebagai suatu bentuk yang memiliki nilai absolut tidak dapat dibandingkan atara nilai agama yang satu dan yang lainnya, tetapi yang dapat dibandingkan adalah bagaimana perbandingan penganut antar agamanya. Dengan demikian, maka diperlukan intstrumen ilmu lain terhadap agama. Sejak itulah  mulai muncul psikologi agama, fenomenologi agama, sosiologi agama dan dialog antar agama. 

  

Perkembangan studi terhadap agama juga turut menggeser paradigma dan misi dari agama-agama saat ini. Masing-masing agama tidak lagi memiliki misi untuk memberikan pengaruh dokrin. Tetapi lebih terhadap, menghadirkan harmoni kemanusiaan, memberikan rasa kedamaian dan ketenangan. Dengan hal tersebut, pergeseran paradigma misi ini, patut juga merubah pola pikir dan sikap beragama yang eklusif menjadi inklusif. Sifat inklusif dalam beragama adalah bentuk keterbukaan terhadap aspek plural yang tidak memiliki motivasi untuk mencampur adukkan. Tetapi, sifat inklusif beragama justru menguatkan keimanan antar pemeluk agama terhadap agamanya sendiri. Seperti halnya Islam, ketika berdialog dan inklusif terhadap Yahudi dan Nasrani, menjadi sarana untuk menguatkan keimanannya kepada Musa a.s dan Isa a.s. Begitupula sebaliknya, Yahudi dan Nasrani dapat semakin kaut dan yakin atas imannya yang memiliki harmoni kemaslahatan yang serupa dengan Islam.

  

Dalam dialog harmoni kemanusiaan antara agama, muncul wacana kegelisahan baru yang berawal dari kelompok postmodernisme yang menyatakan kekecewaan terhadap  misi modernisme yang telah  merusak etika global dan tatanan alam semesta. Dalam menghadapi ini, Parkes –salah satu tokoh yang disebutkan dalam buku ini menyatakan sebuah teori bahwa pada dasarnya agama dan ideologi timur adalah salah satu solusi mengatasi problematika pencemaran lingkungan yang terjadi. Seperti halnya agama Sinto, Budha, Hindu dan Konfusius menempatkan alam sebagai bagian kekuatan Tuhan yang memiliki nilai sakral. Dengan demikian, menurut Parkes agama adalah jawaban untuk menjaga stabilitas laju modernisme. 

  

Hal yang diuangkapkan Parkes, pada nyatanya tidak terlalu terbukti, Jepang yang mayoritas berkeyakinan pada agama Sinto yang mepercayai kesucian gunung Fuji, tetap terjadi pencemaran di dalamnya. Dengan demikian, menurut Alwi Shihab, ide agama dan idiologi timur bukan menjadi akar jawaban atas pengkondisian etika moral saat ini. Kendati, semua agama sepakat, bahwa pelestarian lingkungan dan etika moral kemanusiaan adalah salah satu misi ide agama. Namun, menurut Alwi Shihab tantangan nya terletak pada mentalitas pencerahan –yakni mentalitas manusia sebagai salah satu makhluk yang mengaktualisasikan keinginannya sebagai pengelola alam. Alwi Shihab menyayangkan dan mengkritik jika mentalitas pencerahan yang manusia lakukan tidak didasarkan terhadap kearifan universal. Seperti halnya, memahami “tidak memperlakukan pihak lain dengan hal-hal yang tidak engkau senangi” hanya dikhususkan pada hubungan antara manusia dan manusia. Padahal hubungan manusia kepada hewan, tumbuhan dan kesatuan alam ini adalah entisitas yang memiliki keteraturan yang sama pentingnya dari pada hubungan manusia semata. 

  

Disamping tantangan etika global, Islam juga dihadapkan pada tantangan problematika internal umat seperti halnya konservativisme di tengah masyarakat yang plural, ekstrimisme dan radikalisme. Hal ihwal tersebut terpicu dari sikap penganut islam yang tidak bersifat inklusif terhadap masyarakat yang plural. Dampaknya, penganut islam akan menggiring posisi dirinya yang termarjinalkan dari kelompok masyarakat yang heterogen. Hal ini sangat disayangkan oleh Alwi Shihab, sepatutnya Islam mengedepankan sikap inklusif menuju sikap keterbukaan dialog dengan agama lain. Dalam maksud, misi dialog antar agama tidak memberhentikan peran dakwah, justru sebaliknya, sebagai pilar untuk memahami, memelihara dan menciptakan citra islam melalui dakwah islam yang inklusif. 

  

Semangat dakwah islam inklusif tidak menghambat misi dakwah islam secara hakikatnya, justru dalam perkembangan media sosial yang masif saat ini, metode dakwah yang inklusif justru mendapat perhatian yang lebih besar dari umat seperti halnya gus Baha, habib Husein Ja’far, gus Iqdam, gus Miftah dan lain sebagainya. Bahkan tidak jarang, non-muslim juga turut tertarik dan menyatakan iman nya pada Islam melalui metode dakwah yang inklusif. Dengan demikian, Islam inklusif patut menjadi basis nalar mentalitas bersikap dalam beragama, tidak hanya Islam semata, bahkan seluruh agama yang ada.